Thursday, December 6, 2012

[Motivasi Malaka] Komersialisasi Kota Tua (2)



HEY, ITU bendera Malaysia, kan” kata saya pada Sammy, rekan pemandu saya selama di Malaka.
Kenapa dipasang sembarangan? Jadi umbul-umbul? Jadi spanduk di toko-toko?
“Kami bangga dengan bendera negara, oleh kerana itu, banyak kami pasang di merata tempat”, jawab Sammy.

Saya diam. Mungkin ini cuma cara penghormatannya saja yang berbeda. Kalau di Indonesia, hampir tidak ada yang memasangnya dengan cara seperti itu, karena mengganggap merah putih harus dihormati dengan cara menempatkannya di tempat yang tepat. Ya, di tiang bendera.


Tapi beberapa tahun terakhir, saya malah sudah jarang melihat ada warga di kota-kota di Indonesia yang bisa seantusias di Malaysia ini dalam memaknai benderanya. Tentunya dalam versi penghormatan yang lumrah di Indonesia.

Pada hari-hari biasa, kita paling bisa melihat ada bendera merah putih di kantor – kantor milik instansi pemerintah. Sementara pada perayaan hari besar nasional dimana ada anjuran bagi warga negaranya untuk mengibarkan bendera merah putih, juga tidak begitu diindahkan lagi. Banyak yang mulai enggan mengibarkannya.

Rasa-rasanya, doktrin kebangsaan di Indonesia sudah lama berangsur luntur. Sejak era reformasi, apapun program dan kebijakan zaman orde baru sepertinya dianggap buruk dan harus ditinggalkan. Termasuk program doktrin kebangsaan melalui pemahaman dan pengamalan pancasila serta program penataran P4, misalnya.

Dalam sebuah buku (kalau saya tidak salah di Untold Story pak Harto, pen) mantan PM Malaysia Mahathir Mohammad mengakui bahwa ia mempelajari upaya mantan presiden RI, alm. Soeharto dalam mempertahankan UUD 45 dan Pancasila sebagai ideologi bangsa saat menjabat sebagai presiden. Malaysia mengikutinya dengan rukun negara.

Melalui rukun negaranya itulah, pemerintah Malaysia mendoktrin warganya tentang kebangsaan dan secara estafet, kebijakan itu tetap diteruskan  pada zaman PM yang sekarang.

Rasa kebangsaan yang sudah tercipta kuat itu, akhirnya memudahkan pemerintah Malaysia dalam mensosialisasikan program-program kerja mereka dan mendapat dukungan penuh dari rakyatnya.

_______________________________________

MENURUT SAYA kota Malaka itu kota yang sadar pada kelebihannya. Sebagai kota yang punya histori masa lalu yang hebat, mereka merawat peninggalan-peninggalannya  dengan baik dan cermat.

Saat melintas di sebuah highway dua arah di dalam kota, saya melihat sebuah lokasi yang sebenarnya sangat berpotensi dan punya nilai ekonomis tinggi jika dimanfaatkan sebagai kawasan ekonomi seperti pusat perbelanjaan atau pertokoan. Tapi di lokasi seluas hampir 750 m2 itu, justru dibiarkan apa adanya. Cuma, memang terawat dengan baik.

Ada sebuah rumah panggung tua khas Melayu yang sudah tidak dihuni lagi. Di depan rumah panggung itu, ada sebuah (maaf) jamban yang letaknya persis di pinggir jalan besar. Kondisinya sekarang sudah benar-benar terbuka. Saya yakin, tidak akan ada orang yang mau memanfaatkan jamban itu sesuai fungsinya saat ini. Kecuali yang bersangkutan rela onderdil dalamnya terlihat oleh setiap orang yang melintas di ruas jalan itu :-)

“Pemiliknya sengaja membiarkannya begitu. Tidak dijual. Itu dimaksudkan sebagai salah satu peninggalan rumah khas Melayu zaman dahulu. Kerajaan ikut memeliharanya” kata Sammy, rekan pemandu saya.
“Wah hebat, ada warga yang mau dengan sukarela menyumbangkan rumah dan lahannya untuk ikut mendukung program wisata sejarah Malaka.” Ujar saya dalam hati.

Malaka masih mempertahankan gaya menata kota dari para penguasa kota ini sebelumnya. Misalnya, di sebuah ruas jalan menuju The Stadthuys atau gedung merah peninggalan Belanda, kita hampir tidak melihat ada trotoar kaki limanya. Jalan yang membelah bangunan di kiri dan kanannya, langsung dipaskan dengan batas bangunan.

“Belanda tidak suka dengan kaki lima, maka dari itu jalan diantara dua bangunan, biasanya dipaskan dengan bangunannya. Dan itu sudah kami pertahankan selama beratus-ratus tahun”, kata Sammy.

Di kawasan lain (saya lupa namanya, pen), Sammy menjelaskannya sebagai kawasan Pekan (pasar, pen) yang dibangun oleh pemerintahan Inggris. Kawasan itu masih tetap tertata dengan baik. Beberapa sudut pekan yang kelihatan tidak bisa dipertahankan karena memang sudah termakan usia, dibuatkan replikanya yang persis seperti aslinya.

Soal bangun membangun replika peninggalan sejarah, Pengelola kota Malaka ini menurut saya cukup pintar memanfaatkan nilai histori. Di sebuah ruas jalan Jalan Quayside dekat sungai Malaka, mereka membangun sebuah Galleon (kapal perang abad pertengahan, pen). Mereka menyebutnya sebagai Galleon Flor de Lamar. Kapal legendaris milik Portugis pada abad pertengahan yang sempat melanglang berbagai lautan dan samudera. Dari name plate yang saya baca, berat kapal ini mencapai 400 ton. Menurut sejarahnya,  kapal Flor de Lamar dibangun di kota Lisbon, Portugal pada tahun 1502.

Kapal Flor de Lamar sampai ke Malaka dengan dinakhodai oleh Alfonso de Alburquerque pada tahun 1511. Rakyat Malaka merasa memiliki hubungan historis yang kuat dengan kapal ini karena menurut cerita, Alfonso de alburquerque menjarah harta rakyat malaka yang terdiri dari emas dan tembikar untuk dibawa ke Portugis dengan kapal ini. Namun, Flor de Lamar tidak pernah sampai kembali ke kota Lisbon karena tenggelam di sekitar perairan Sabang, Indonesia.

“Kapal ini memuat berton-ton emas dan tembikar dari kerajaan kami. Kedudukan bangkai kapal masih terus menjadi kontroversi sehingga ke hari ini. Ada pihak yang menuding jari mengatakan bangkai kapal dan segala isinya termasuk limpahan hartanya masih tetap milik Portugis. Ada pula mengatakan milik Malaysia kerana apabila kapal itu datang ke Melaka, ia kosong. Rekod menunjukkan segala muatan kapal dan limpahan harta karun yang limpah ruah adalah milik kerajaan negeri Melaka yang dirampas Portugis. Indonesia pula mendakwa, laporan sejarah kapal karam menyatakan kedudukan relatif kapal karam itu jelas berada di perairan negaranya” jelas Sammy panjang lebar.

Dengan Galleon megah yang dibangun pada tahun 1990 dan diresmikan 4 tahun kemudian itu, pengelola kota Malaka sekarang bisa menceritakan tentang bagaimana kayanya mereka pada zaman dahulu. Galleon ini seakan juga mengklaim bahwa harta yang karam bersama karamnya kapal Flor de Lamar, sejatinya adalah milik mereka. Dan satu lagi yang jelas, replika kapal Galleon ini, sekarang menjadi salah satu tujuan favorit para wisatawan yang datang ke Malaka dan tentunya, ini juga mendatangkan pendapatan tersendiri bagi mereka. (***)


No comments: