Friday, February 20, 2009

Di Bunga Setangkai Kehidupan Tak Seindah Namanya…

Kaum Urban Penghuni Bangunan Terbengkalai

BANGUNAN-BANGUNAN itu dulunya mungkin disiapkan sebagai karya arsitektur berdaya seni tinggi yang bisa menjadi salah satu penggerak roda ekonomi di Batam. Tapi, pengerjaannya tidak pernah benar-benar selesai. Pembangunannya mangkrak kemudian terbengkalai karena lilitan kredit yang macet. Sekarang, jadi tempat tinggal kaum urban kelas bawah. Namanya indah ; Komplek Bunga Setangkai. Tapi kehidupan di sana ternyata tidak benar-benar indah…

Bangunan Rumah Gadang itu sudah tidak utuh lagi. Tapi melihat bentuknya, dulu pasti merupakan bangunan yang megah. Pilar-pilar penyangga masih kokoh berdiri. Kerangka atap yang membentuk lekukan tanduk kerbau juga masih bisa dilihat jelas. Namun sekarang, atap-atapnya sudah banyak yang bolong. Sementara dindingnya hampir tidak bersisa, habis dimakan usia atau dibongkar paksa untuk dijadikan material bangunan lainnya.

Di beberapa sudut bangunan Rumah Gadang yang besar, ada beberapa pondokan atau rumah kecil ukuran 3 x 4 atau 4 x 4 meter yang dibangun sembarangan saja. Bentuknya menyerupai bangunan rumah liar yang banyak terdapat di Batam. Di beberapa bagian dalam Rumah Gadang, ada juga tumpukan sampah-sampah yang akan didaur ulang. Sebuah ruangan kecil terbuat dari kaca fiberglass seperti ruang ATM, menjadi penanda tentang siapa pemilik bangunan megah tapi terbengkalai itu, dulunya...

Dulu, bangunan megah itu milik grup Anrico Bank. Sebuah grup perusahaan perbankan yang dimiliki kelompok pribumi keturunan Minang. Sekarang sudah dilikuidasi oleh Badan Penyehatan Perbankan Nasional atau BPPN sekitar tahun 1998. Gedung berbentuk rumah adat itu, awalnya dibangun oleh salah satu anak perusahaan Anrico Bank, PT Bunga Setangkai. Nama Bunga Setangkai itulah yang kini jadi penanda nama lokasi ini; Komplek Bunga Setangkai.

Tapi kehidupan di komplek Bunga Setangkai ternyata tidak seindah namanya. Anda yang belum pernah ke lokasi ini jangan membayangkannya sebagai perumahan elit sekelas Dutamas atau Bukit Indah Sukajadi. Komplek bunga setangkai hanyalah beberapa bangunan terbengkalai yang saat ini diisi sekitar 76 kepala keluarga. Mereka mendiami bangunan-bangunan yang terbengkalai itu dengan cara membuat sekat-sekat sebagai pembatas ”rumah” yang satu dengan yang lainnya.

Selain Rumah Gadang yang merupakan asset dari grup Anrico Bank, ada 8 bangunan lain yang masuk dalam komplek Bunga Setangkai. Jaraknya hanya 20 meteran saja dari bangunan berbentuk rumah adat itu. 8 bangunan tersebut dulunya milik grup Thites Plaza sebelum diakuisi oleh Badan Penyehatan Perbankan Nasional atau BPPN karena masalah kredit yang macet. Saat Tithes Plaza diambil alih oleh grup Harmoni saat ini, delapan bangunan itu ternyata tidak ikut diambil alih.

Komplek Bunga Setangkai yang dikenal warga saat ini, terdiri dari dua lokasi proyek pembangunan yang berbeda. Masing-masing proyek bangunan milik Anrico Grup yang berbentuk rumah adat Sumatera Barat berikut bulevard dan taman pinggir pantainya yang masih tersisa serta proyek restoran milik grup Tithes plaza dengan delapan bangunan di dalam areanya. Kedua lokasi bangunan itu dulunya berada persis di pinggir laut. Melihat lokasi dan perencanaannya, pantai menjadi salah satu daya jual bagi para pengunjung kedua lokasi itu jika keduanya selesai dibangun dan jadi dioperasikan. Tapi, seiring dengan perubahan perencanaan, pantai yang dulu berada persis dekat dengan kedua lokasi, jadi semakin menjauh karena terus direklamasi..

***

Dua puluh meter dari bangunan Rumah Gadang, sekelompok ibu-ibu tampak sibuk memilah-milah barang dari sebuah gerobak pedagang kelontong. Beberapa diantaranya sedang menawar harga barang yang diminati pada pedagang yang menjualnya. Sementara yang lain, sibuk membanding-bandingkan barang yang satu dengan yang lain sebelum menetapkan pilihan. Anak-anak mereka asyik bermain sendiri di aspal yang panas siang itu.

”Ini berapa harganya, tidak bisa kurang?” Tanya seorang ibu yang bernama Suryani. Rupanya ia tertarik membeli sebuah ember ukuran tanggung. Ia menoleh saat Batam Pos coba menyapanya.

Suryani adalah salah satu penghuni di komplek Bunga Setangkai. Belakangan diketahui, ia dan keluarga menempati satu bagian ruang yang disekat menggunakan triplek di bangunan induk bekas restoran milik grup Tithes Plaza. Wanita ini agak bingung saat Batam Pos menyampaikan maksud kedatangan untuk bertemu dengan sesepuh atau orang yang paling lama tinggal di bangunan terbengkalai itu. Masalahnya, penghuni di sini sudah silih berganti sejak bangunannya ditelantarkan sekitar tahun 1992 silam.

”Oh, sama pak Edi saja. Dia sekarang yang paling lama tinggal di sini,” ujar Suryani. Belum sempat wanita itu memanggil pria yang disebut pak Edi, seorang pria berusia sekitar 45 tahun keluar dari sebuah musala kecil ukuran 4 x 5 meter berdinding triplek. Pria itulah yang sering disapa warga di sana sebagai pak Edi. Nama lengkapnya Junaidi. Ia keturunan Lombok-Nusa Tenggara Barat. Sudah 5 tahun pak Edi tinggal di lokasi ini.

Setelah dikenalkan, pak Edi kemudian mengajak Batam Pos untuk berbincang-bincang di sebuah pondok kecil seperti pos untuk siskamling yang terletak di bagian depan bangunan musala. Lokasi tempat didirikan pondok kecil dan musala, dulunya disiapkan untuk tempat parkir kendaraaan roda empat tamu-tamu restoran yang tidak kunjung beroperasi tersebut. Itu bisa dilihat dari paving-paving blok yang masih tertata rapi. Sekarang area parkiran dan halaman ini menjadi tempat untuk menjemur pakaian warga yang tinggal di sana.

”Saya kerja di proyek Tithes, tapi sekarang sedang stop,” kata pak Edi memulai perbincangan dengan Batam Pos. Pria ini tinggal di komplek Bunga Setangkai bersama istrinya Nur Intan (23) dan anak bungsunya Elfiansyah yang masih berusia 1,3 tahun. Lima anaknya yang lain ada di kampung halamannya, Lombok. Pak Edi ternyata sudah cukup lama tinggal di Batam. Sebelum menetap di lokasi ini, ia sempat tinggal beberapa lama di daerah Tiban.

Keputusannya untuk tinggal di Bunga Setangkai adalah karena pertimbangan lokasi kerja yang berada di Batam Centre. Bertahun-tahun tinggal di Batam, ia memang selalu bekerja dari satu proyek bangunan ke proyek bangunan lainnya di daerah Batam Centre.

Tinggal di bangunan terlantar seperti di komplek Bunga Setangkai ini menurutnya bukan pilihan, tapi keterpaksaan. Keterbatasan ekonomi adalah alasan utama. Rata-rata penghuni yang tinggal di sini memang berasal dari kaum urban kelas bawah yang punya mata pencaharian sebagai buruh bangunan, pedagang keliling atau pendaur ulang sampah dan barang bekas. Tinggal di Bunga Setangkai, mereka tidak perlu lagi memikirkan uang untuk tempat tinggal. Menurut pak Edi, sekarang sudah lebih nyaman karena aliran listrik sudah masuk, walau hanya satu meteran yang dibagi-bagi untuk 76 kepala keluarga. ”Yang penting kalau malam tidak gelap, sekedar untuk penerangan,” lanjut pria ini.

Untuk kebutuhan air bersih, para penghuni di komplek bunga setangkai tidak terlalu sulit mendapatkannya. Aliran air ATB memang tidak masuk ke lokasi mereka. Sebagai gantinya, warga memanfaatkan sebuah kolam besar yang terletak persis di depan gedung bekas restoran Bebek Bali untuk pemanfaatan MCK (mandi cuci dan kakus, red) termasuk juga untuk berwudhu. Air di kolam itu memang cukup berlimpah. ”Kolamnya memang tidak ada saluran buangannya. Jadi air hujannya jadi tertampung di sana,’’ kata Edi.

Kegiatan cuci mandi dan kakus tidak langsung berada di atas kolam. Warga Bunga Setangkai memilih menggunakan air dari kolam dengan cara memompanya pakai mesin. Lalu dengan selang yang panjangnya ratusan meter, air dari kolam disalurkan ke bak-bak penampungan warga di komplek Bunga Setangkai. ”Untuk segala keperluan kami ambil air dari sana. Air dari kolam juga untuk minum,’’ ujar Suryani. Menurut Suryani, air di kolam itu lumayan bersih dan tidak berlimbah, masih bisa untuk diminum.

Sekitar 76 kepala keluarga yang tinggal di sana sebagian besar merupakan kuli bangunan, dan ada juga pedagang kaki lima dengan gerobak di Batam Centre. Untuk buruh bangunan, rata-rata mereka dibayar Rp40 ribu-Rp50 ribu per hari. Untuk sistemnya ada yang dibayar harian dan ada juga yang dibayar kalau pekerjaan selesai. Mereka yang dibayar harian, maka siap-siap saja kalau sakit atau izin tidak masuk kerja, tidak mendapat bayaran.

Akibatnya sang istri harus pandai-pandai mencari cara untuk bisa tetap bertahan hidup. Ibu-ibu rumah tangga di komplek itupun jadi sering cash bond ke warung kecil yang juga terdapat di Komplek Bunga Setangkai itu.

”Kami suka utang dulu ke warung. Nanti bayarnya pas suami kasih uang. Saya tiap bulan dikasih Rp1 jutaan,’’ kata Suryani. Uang pemberian dari suaminya, memang diatur dan dicukup-cukupin oleh suryani untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Apalagi, Suryani masih punya tiga anak yang masih kecil. Suryani harus menyisihkan uangnya untuk beli susu ke tiga anaknya, yaitu Windi (1), Rizal (2) dan Rahmat (5).

Punya penghasilan yang minim, warga di sana coba berusaha mencari penghasilan tambahan. Ada yang membuka warung di bangunan itu, ada juga yang memilih memanfaatkan lahan di belakang bangunan terbengkalai itu. Disana terlihat ada deretan pohon singkong. Tapi karena lahannya kurang bagus, pohon singkong itu tumbuh kerdil.

***

Komplek Bunga Setangkai, mulai ditempati kaum urban kelas bawah sejak lebih 15 tahun lalu. Cerita orang-orang di sini, penghuni awal bangunan-bangunan terbengkalai di sini adalah para buruh bangunan yang mengerjakan bangunan itu sendiri. Keputusan menempati bangunan di sini terpaksa diambil karena proyek yang dikerjakan mangkrak dan penghasilan mereka tidak dibayarkan. Untuk menghemat pengeluaran, sebagian dari buruh pekerja tersebut memilih tinggal di lokasi bangunan-bangunan yang terbengkalai tersebut.

Dulunya hanya beberapa kepala keluarga saja. Namun, seiring tahun jumlah kepala keluarga yang tinggal di sini semakin bertambah. Mereka yang menempati lokasi ini silih berganti. Yang tidak kuat menjalani kerasnya kehidupan di Batam, banyak yang memilih pulang kampung. Atau, ada juga yang sudah berhasil memiliki tempat tinggal sendiri di lokasi yang lain. Orang-orang yang masuk belakangan, menempati ruang dan sekat-sekat yang sudah dibuat atau membuat sekat-sekat baru di ruangan yang tersisa. Saat ini, .Etnis yang tinggal juga semakin beragam.

“Penghuni yang tinggal di sini, ada yang membangun sendiri sekat-sekat ruangnya untuk tempat tinggal. Tapi sekarang sudah penuh” ujarnya.

Menurut pak Edi, Jumlah kepala keluarga yang tinggal di komplek bunga setangkai saat ini sudah mencapai 76 KK. Berdasarkan kesepakatan bersama, mereka akhirnya menutup peluang bagi warga lain yang ingin bergabung di komplek bangunan terbengkalai itu saat ini.

Bangunan utama Bebek Bali itu cukup besar. Disanalah Suryani dan tiga anaknya tinggal. Ruang tempat tinggal Suryani hanya berukuran 3×2 meter persegi. Lokasinya persis dipojok, di bagian depan sebelah kiri menghadap ke halaman. Karena lokasinya berada di bagian pinggir di bangunan itu, Suryani dan suaminya membuat pintu yang langsung menghadap ke luar. Ruang tempat tinggal Suryani dengan yang lainnya hanya dibatasi triplek.Demikian juga keluarga lain di dalam bangunan itu.

Selain Suryani ada sebelas kepala keluarga yang tinggal di bangunan itu. Mereka sebagian besar mendapat jatah di bagian dalam bangunan itu. Satu gedung utama itu dihuni 12 kepala keluarga. Batam Pos-pun masuk ke dalam bangunan utama itu. Untuk masuk ke dalam bangunan itu ada sebuah pintu tanpa daun pintu. Begitu masuk, yang terlihat hanyalah lorong dengan lebar 1 meteran. Kondisi sekitarnya gelap karena penerangan seadanya dan sumpek. Sepanjang lorong itu di kiri dan kanannya triplek dengan potongan yang tidak beraturan. Di kiri dan kanannya itu ada banyak pintu. Pintu-pintu itulah yang menjadi jalan untuk keluar masuk keluarga yang tinggal di dalam bangunan itu. Setiap satu pintu, di situlah satu keluarga tinggal.

Terpanggil, Dirikan Musala

Lokasinya yang tidak jauh dari gedung-gedung dan ruko yang sedang dibangun, membuat komplek Bunga Setangkai jadi tempat singgah para buruh bangunan yang sedang bekerja membangun gedung dan ruko di Batam Centre. Para buruh bangunan itu datang ke komplek ini ada yang menumpang mandi, dan paling sering singgah untuk menumpang shalat.

Karena waktu itu belum ada musalla, Edi -pun dengan suka hati membuka pintu rumahnya. Dia mempersilahkan orang-orang itu untuk shalat di rumahnya. Hampir setiap hari ada yang menumpang salat di rumahnya. Karena itu, melihat banyak orang yang numpang shalat di komplek Bunga Setangkai, Edipun jadi terpanggil untuk mendirikan musalla. Ia -pun mendirikan musalla yang ala kadarnya dari triplek dengan dana pribadi. ‘’Kebetulan saya ada rezeki setelah mengerjakan proyek. Jadi saya bangun musala dari dana pribadi. Ya kebetulan saya dibukakan hati,’’ katanya.

Soal mendirikan Musala bukan hal sulit bagi warga di sana. Pasalnya sebagian besar warga di sana merupakan buruh bangunan. Musala yang dibangun oleh Edipun kini telah berusia dua tahun. Keberadaan musala di komplek itu cukup membantu para buruh bangunan yang bekerja di sekitar komplek Bunga Setangkai.

Musala jadi satu-satunya fasilitas umum yang ada di sana. Warga di sana juga merasa senang dengan keberadaan musalla, khususnya yang beragama muslim. Mereka jadi bisa shalat berjamaah. Bagi mereka Komplek Bunga Setangkai, adalah tempat tinggal yang nyaman bagi mereka sekarang. Meski tempat tinggal mereka bocor di sana sini. Tapi itulah satu-satunya tempat tinggal yang super murah. Apalagi masa sekarang dengan kondisi ekonomi yang kian menghimpit. Tinggal di Komplek Bunga Setangkai jadi satu-satunya jalan untuk menghemat pengeluaran. Mereka tidak perlu bayar seperti warga Batam lainnya yang tinggal di rumah kontrak atau kos-kosan. Setiap bulannya, mereka hanya mengeluarkan untuk biaya listrik Rp1,5 juta per bulan. Itupun ditanggung ramai-ramai.

Meski cukup murah tinggal di Komplek Bunga Setangkai, tapi warga sadar mereka suatu saat akan digusur. ‘’Kami tinggal disini, sampai tempat ini belum digusur,’’ kata Edi yang juga diiyakan oleh Suryani.

Kabag Humas Dokumentasi Pemerintah Kota Batam, Rudi Panjaitan mengatakan di Batam ada beberapa bangunan terbengkalai. Dari sisi keindahan kota, bangunan terbengkalai memang mengurangi keindahan Kota Batam. Kendati demikian, bangunan-bangunan itu tidak bisa langsung dirobohkan. Sebab ada kaitannya langsung dengan Izin Mendirikan Bangunan. Rata-rata bangunan mangkrak itu IMB yang lama. ‘’Untuk bangunan mangkrak, tentu ada masalah-masalah, dan tidak akan mangkrak ketika masalah itu sudah selesai,’’ ujarnya. (andriani susilawati)

Thursday, February 5, 2009

Harus Pandai Membuat Sayuran Terasa Daging

Antoni, Koki Makanan Vegetarian di Maha Vihara Duta Maitreya

ANTONI MERACIK dan memasak makanan vegetarian di Restoran Vegetarian Maha Vihara Duta Maitreya Batam Centre. Bukan karena sebatas hobi, tapi ingin lebih memasyarakatkan makanan vegetarian di Batam.

Pagi itu, tanggal 26 Januari 2009 sejumlah koki masakan vegetarian berkumpul di dapur di bagian belakang Restoran Vegetarian di Maha Vihara Duta Maitreya. Mereka-pun berbagi tugas untuk memasak puluhan menu vegetarian.

Hari itu adalah merupakan hari tersibuk buat Antoni dan para koki makanan vegetarian serta relawan vihara. Sebab saat itu adalah perayaan Imlek. Seperti tradisi pada perayaan Imlek di Vihara Maitreya, semua orang bisa makan gratis. Tak terbatas umat Budha, tapi siapapun yang datang ke Maha Vihara Duta Maitreya bisa makan bebas sesuka hati termasuk para turis.

Mereka yang datang jumlahnya tidak dibatasi, demikian juga porsi makanan vegetarian yang mau disantap. Lima belasan ribu orang datang ke vihara di hari Imlek, maka lima belas ribu porsi makanan vegetarian itulah yang harus disiapkan oleh Antoni bersama teman-temannya.

Memasak belasan ribu prosi, Antoni-pun jadi seharian penuh berada di dapur sejak pagi buta hingga sore hari. Ia spesialis memasak kari kentang daging kambing dan lohan cai. ”Karena kalau masak banyak kurang enak, maka saya masaknya sedikit sedikit. Makanya seharian terus memasak di dapur” katanya.

Ia menyebut menu lohan cai yang dipasaknya berasal dari China. Lohan Cai adalah satu menu wajib yang harus dihidangkan saat perayaan Imlek. Terdiri dari 18 macam bahan, mulai dari kol, jamur kuping, sohun, kembang tahu, daging vegetarian dan lainnya, Lohan Cai punya makna sebagai makanan yang sederajat dengan orang-orang suci.

Menu lainnya yang dimasak Antoni adalah kari kentang daging kambing. Daging kambing ala vegetarian ini didatangkan dari Singapura. Sebenarnya ia bersama teman-temannya pernah meracik makanan vegetarian seperti daging kambing, daging sapi, chicken nugget, ikan, kepiting, sotong dan lainnya.
Untuk bahannya terbuat dari jamur, rumput laut, kacang, dan ampas tahu. Bahan bahan itu lalu diracik dengan ditambah tepung dan perasa khusus. Sehingga daging kambing ala vegetarian jadi terasa mirip dengan daging kambing sungguhan. Begitu juga dengan kepiting dan chicken nugget rasanya benar-benar mirip aslinya.

Tapi ternyata setelah dibandingkan dari segi ekonomis tidak berbeda jauh dengan impor dari Singapura. Bahkan dari segi waktu meracik sendiri malah cenderung boros dan kurang efisien . Atas pertimbangan itu akhirnya semua bahan makanan berbau daging atau ikan ala vegetarian jadi didatangkan dari Singapura. Makanan vegetarian diolah jadi aneka masakan seperti ikan sarden, rendangm ikan teri medan, ikan sambal petai, sate, asam manis, ayam masak kecap jahe, iga tahu dan lainnya.

Selama enam tahun Antoni, menjadi koki di Restoran Maha Vihara Duta Maitreya. Selain memasak di hari besar Imlek, ia dalam keseharian menjadi koki di Restoran Vegetarian di Maha vihara Duta Maitreya. Banyak suka duka yang dirasakan Antoni selama menjalani profesinya sebagai koki.

”Kita begitu bangun pagi-pagi langsung megang kuali di dapur, masak, kalau orang lain rapi kan pakai baju rapi di hari Imlek,” ujarnya. Duka lainnya yang dirasakan adalah ketika makanan yang disajikan sempat kehabisan. ”Saya jadi seperti punya hutang kepada mereka,” katanya.
Bahagia tidak terkira ia rasakan ketika masakan vegetariannya habis disantap banyak orang. Seperti pada perayaan Imlek lalu, sekitar 15 ribuan antusias menyantap masakan vegetarian hasil olahannya bersama teman-temannya. Itu artinya hari itu ada lima belas ribu orang tidak menyantap daging. Seperti ajaran yang selama ini ia anut yaitu ajaran Budha yang tidak memperkanankan makan daging. Antoni bukan koki biasa, ia juga salah satu relawan di Vihara yang dengan tulus mengabdi di vihara dengan penuh jiwa kasih. Pastinya sebagai koki di vihara, ini berbeda dengan koki hotel berbintang, baginya pendapatan adalah nomor terakhir. (andriani susilawati)

Dari Tari Yapong Sampai Jaipong …

USIANYA MASIH sangat belia, baru dua belas (12) tahun. Tapi rasa kecintaannya akan budaya nusantara begitu lekat dihatinya. Bidadari, siswi Sekolah Global Indo Asia terlanjur jatuh hati dengan tari-tari tradisional dari Nusantara.

Belasan tari-tari tradisional dikuasainya. Mulai dari tari yapong asal Jawa Tengah dengan karakter lemah lembut hingga berbagai tari Bali dengan gerak bola mata yang unik. Ia juga pintar membawakan tari Panji Semirang, tari kebyar, tari kupu-kupu dan tari betawi. Tidak ketinggalan, tari Jaipong asal Jawa Barat juga ia kuasai.

Gadis kelahiran Jogjakarta, 30 Mei 1996 ini juga lihai membawakan tari melayu, mulai dari tari persembahan, tari japin hingga tari kreasi melayu. ‘’Saya suka dengan tari tradisional,’’ ujar Bidadari Mahardika Respaty.

Kebisaan yang ia miliki sekarang tidak didapatnya dengan mudah. Tapi melalui proses panjang hampir selama enam tahun. Memiliki kepandaian menari perlu ketekunan, dan keinginan kuat untuk terus berlatih. Tapi yang terpenting adalah rasa hobi dan cinta untuk dengan budaya sendiri. Meski sibuk dan banyak tugas sekolah, ia menyempatkan diri untuk tetap latihan tari.

Untuk menguasai satu jenis tarian membutuhkan waktu yang relative bervariasi.Itu tergantung jenis tariannya. Tarian yang memiliki gerak yang cenderung sulit akan membutuhkan waktu yang lebih lama ketimbang dengan jenis tarian dengan gerakan mudah. ‘’Kalau tari yapong, cukup beberapa kali saja latihan sudah bisa,’’ ujarnya.

Sementara itu, saat mempelajari tari Jaipong dan Bali lebih membutuhkan waktu yang lama. Soalnya gerakannya lebih rumit. Karena itu, latihan taripun perlu ketekunnan khusus. Seorang penari juga tidak hanya perlu menguasai satu tarian, mereka juga harus punya mental saat akan menari di hadapan para tamu.

Sebut saja ketika akan membawakan tari persembahan di acara tertentu dengan dihadiri pejabat. Ia bertutur perlu keberanian tersendiri meski menari bersama beberapa penari lainnya. Keberanian semakin dibutuhkan saat ia membawakan tariannya seorang diri. Salah satunya saat membawakan tari bali. ‘’Waktu pertama nari deg-degan juga, sekarang nggak lagi,’’ katanya.

Tradisi adanya tari persembahan dalam membuka acara di Kota Batam khususnya dan Provinsi Kepulauan Riau pada umumnya membuat Bidadari bersama teman-temannya sering diundang. Ia-pun Sering tampil, di sekolah pernah, di pusat perbelanjaan hingga di acara –acara tertentu yang dihadiri oleh pejabat.

Dari sekian banyak kebisaan membawakan tarian, selama penampilan di hadapan umum, paling sering Bidadari membawakan tari persembahan. Sementara menari Jaipong, Bali, Kupu-kupu hanya sesekali saja.

Saat diundang untuk membawakan tarian, Bidadari juga mendapatkan upah. Tapi itu bukanlah tujuan utamanya. Menurutnya, melalui tari tradisional yang ia tekuni secara tidak langsung ikut melestarikan budaya sendiri. ‘’Kita harus bangga dengan budaya sendiri. Saya juga senang jadi punya banyak teman,,’’ ujarnya.

Ketertarikan Bidadari pada tari tarian tradisional tidak terlepas dari dorongan kedua orangtuanya yaitu Rekaveny dan Suryo Respatyono. Kala itu, Bidadari masih berusia 6 tahun. ‘’Saya lihat, ini anak kok pemalu. Tapi di depan kelas berani menari-nari sendiri,’’ ujar Rekaveny., yang ikut mendampingi Bidadari saat itu.

Lama memikirkan karakter anaknya yang cenderung pemalu, akhirnya ia mencari ide untuk membuat sebuah sanggar sendratari. Dinamailah Sanggar Sendratari Bidadari. Nama sanggarnya sengaja diambil dari nama anaknya. ‘’Saya dirikan sanggar sendratari tahun 2004,’’ujarnya.

Ia berharap dengan memiliki kemampuan menari, anaknya akan menjadi lebih brani dan lebih supel. Jauh sebelum Bidadari tidak punya teman. Sekarang, seiring dengan berjalannya waktu, cita-cita membuat anaknya jadi lebih berani terwujud.

Di sanggar sendratari itulah, Bidadari menimba ilmu tentang segala tari-tarian tradisional. Ia belajar dari seorang guru tari yang biasa dipanggil Pakde Demprong. Pakde Demprong, punya keahlian menari segala tari tradisional di Nusantara. Mulai dari tari di Sumatera, Pulau Jawa, Bali dan tari daerah lainnya di Indonesia.

Meski awalnya diarahkan oleh ibunya, Bidadari mengaku saat ini ia merasakan banyak manfaatnya. Lewat tarian kini jadi punya banyak teman. Alasan lain yang membuat Bidadari tertarik menggeluti tari tradisional adalah karena sifatnya fleksibel.

Itu sangat berbeda dengan tari balet. Hanya di acara-acara tertentu di kota Batam tari balet bisa tampil. Kebanyakan penarinya juga anak-anak. Sedangkan kalau tari tradisional, meski kita remaja dan dewasa kita bisa tetap membawakannya.

Rekaveny menambahkan pendirian sanggar sendratari Bidadari tidak semata-mata untuk menyalurkan bakat anaknya bisa tersalurkan. Tapi juga diharapkan bisa menjadi tempat untuk menampung bakat anak-anak Batam yang hobi menari. Dengan adanya sanggar sendratari khusus untuk mempelajari tari tradisional, ia berharap tari-tarian tradisional bisa terus lestari di Batam.

Jika itu sudah terwujud akan membuka peluang kota Batam sebagai tempat tujuan pariwisata dengan andalan seni budaya. Tengok saja di Bali, punya daya tarik luar biasa sebagai kota dengan budayanya yang kental. Anak-anak, remaja hingga dewasa ramai-ramai menguasai tari. ‘’Kalau anak-anak sebenarnya tergantung orang tuanya. Disini banyak yang anaknya suka tari. Tapi orang tuanya kurang mendukung. Saat jadwal latihan menari, mereka enggak mengantarnya,’’ ujar Rekaveny, yang juga caleg DPRD Kota Bata mini.

Ingin menghidupkan rasa cinta budaya pada anak-anak Batam, Rekaveny dan guru tari di sanggarnya tidak mematok biaya yang mahal. Biayanya cuma Rp50 ribu per 8 kali pertemuan. Disana anak-anak tidak hanya belajar aneka tari tradisional, tapi juga belajar gamelan, sebuah seni budaya jawa yang sudah sangat jarang ditemui di saat sekarang.

Rekaveny berharap semua pihak terutama pengelola tempat wisata bisa bekerjasama memberi tempat untuk memberi kesempatan pelajar Sanggar Sendratari Bidadari dan sanggar sendratari lainnya di Batam menampilkan kebolehannya. ‘’Sangat bagus sekali, kalau saat ada kunjungan wisatawan, anak-anak diundang untuk tampil menghibur para wisatawab dengan tari tradisional,’’ ujarnya. (andriani susilawati)

catatan : tari piring dari sumatera barat, tari merak jawa barat, tari jaipong dari Jawa Barat, tari Yapong dari Jawa Tengah, tari Ngeremo asal Jawa Timur, Tari Srimpi, tari kebyar kreasi dari Tari Bali, Tari Merak, Tari Kupu-kupu

Tampil Lima Belas Hari Tanpa Henti

Grup ‘Persaudaraan Barongsai’ Menuai Berkah Imlek

IMLEK MEMBAWA berkah tersendiri bagi para pemain Barongsai. Mereka yang biasanya sepi order, kini kebanjiran order. Salah satunya, pemain barongsai yang tergabung di kelompok ‘Persaudaraan Barongsai’. Mereka sudah tampil di berbagai tempat di Batam.

Pada perayaan Imlek tahun kali ini, grup Persaudaraan Barongsai tampil setiap hari. ”Kami main selama lima belas hari, mulai mainnya di hari pertama Imlek, 26 Januari,” ujar Santoso, salah satu pemain di Persaudaraan Barongsai.

Ada banyak pihak yang mengundang mereka, mulai dari vihara, sekolah, peresmian usaha, pusat perbelanjaan dan lainnya. Berbeda dengan hari biasanya. Mereka hanya tampil sesekali saja. Itupun sebatas kalau ada acara peresmian usaha. Meski begitu, para pemain barongsai sudah sangat senang, karena sekarang mereka sudah bisa bebas bermain barongsai.

Tahun 2009, mereka genap 10 tahun sudah bermain barongsai di Batam. ”Kami mulai main barongsai tahun 1999. Itulah waktu ada Gus Dur,” kata A Ku, pimpinan sekaligus pelatih ‘Persaudaraan Baronsai’.

Sebelum tahun 1999, atraksi barongsai memang tidak pernah bermain di Batam. Alhasil, pemain barongsai asal Batam memilih bermain barongsai di Singapura. Itujugalah yang dilakukan A Ku, sebelum ia menjadi pimpinan grup Persaudaraan Barongsai. ”Saya jadi pemain barongsai 20 tahun,” kata A Ku.

Setelah puas menjadi pemain barongsai, iapun beralih profesi menjadi pelatih pemain barongsai. Mereka memilih tempat berlatih di Tua Pek Kong. Waktu pertama kali dibentuk, ada 30 anak yang berminat bermain barongsai rata-rata berusia 10-12 tahun. Tapi semakin kesini, mereka banyak yang mengundurkan diri. Sekarang anggota Persaudaraan Barongsai hanya tersisa 10 pemain saja.

Para pemain barongsai yang berhenti ada banyak alasan, ada yang malu bermain barongsai karena sudah remaja, ada juga karena sibuk bekerja dan merasa capek. ”Kalau kami bisa bertahan karena kami hobi. Kami juga kerja, tapi karena senang, kami tidak merasa capek meski seharian sudah bekerja dan capek,” kata Bobby, salah satu pemain barongsai.

Menjadi pemain barongsai terutama menjadi pemegang kepala atau ekor barongsai syarat utamanya badannya kuat. Mereka juga harus berlatih. Seperti Santoso dan teman-temannya mereka rutin berlatih hari Senin, Rabu dan Jumat. Tapi belakangan ini hanya sesekali saja mereka berlatih, disamping karena sudah lihai setelah 10 tahun bermain barongsai, mereka juga mulai disibukan dengan pekerjaan. ”Sekarang agak susah cari waktu untuk latihan, soalnya kadang ada yang kerja,” katanya.

Syarat pemain barongsai lainnya adalah tidak boleh merokok. Tapi meski begitu kata A Ku tetap saja ada anggotanya yang suka bandel tetap merokok. Tapi dimaklum saja, soalnya pemain barongsai sebagian besar anak muda. ”Badannya harus kuat, itu yang utama,” kata Aku.

Seperti Santoso, sebagai pemain yang memegang kepala barongsai. Saat bermain barongsai, ia tidak hanya melompat ke depan, tapi juga melakukan lompatan ke atas dengan ketinggian 1,5 meter- 2 meter lebih. Ia juga harus menguasai trik-trik khusus. Terutama jika bermain dengan tantangan khusus. Salah satunya bermain barongsai melewati besi di atas ketinggian 1,5 meteran. ”Saya pernah tergelincir dari besi, untungnya tidak apa-apa,” ujarnya.

Di antara para pemain barongsai yang melakukan aksinya dengan tantangan ekstrim, bahkan ada yang celaka saat main barongsai. Bahkan kata A Ku, ada pemain barongsai yang sampai mengalami patah tulang karena terjatuh dari ketinggian saat bermain barongsai.
Dari sekian banyak aksinya di daerah Batam, Tanjung Pinang, Tanjung Balai Karimun, Singapura, Moro, Tanjung Uban dan daerah Kepri lainnya. Anggota Persaudaraan Barongsai, paling terkesan saat ikut bertanding bermain barongsai. Di saat bertanding, kesulitan bermainnya lebih tinggi. Karena itu, saban ada undangan untuk pertandingan barongsai, grup Persaudaraan Barongsai selalu hadir. Sayang belum ada tropi yang diraih. Meski begitu mereka mengaku senang bisa bermain barongsai bebas di Kepri. ”Kami bangga bisa mengembangkan budaya Tionghoa di Batam, Barongsai ini salah satu budaya kita yang harus dilestarikan,” ujar Bobby. (andriani susilawati)

Dilarang Makan Sebelum Izin dari Suhu

PANTANG HIO bekas sembahyang dibuang ke tong sampah, menyapu harus ke dalam, dan sederet aturan lainnya sudah sangat dipahami oleh Arif (35), penjaga Vihara Viriya Pala di Batam Centre. ternyata ia seorang muslim yang berasal dari Flores.

Menjaga Vihara Viriya Pala di Batam Centre, bagi Arif adalah pekerjaan untuk bisa hidup di Batam. Pria asal Flores ini mengaku sudah 7 tahun bekerja sebagai penjaga vihara. Iapun menerima upah UMK. Saban hari ia bekerja dengan senang hati mulai pukul 09.00 WIB hingga sore menjelang. ”Hari-hari biasanya, selain menjaga Vihara, saya membungkus hio untuk sembahyang,” ujarnya.

Arif pun bercerita awal mula ia bisa bekerja di Vihara. Ia bekerja di Vihara berkat informasi dari temennya. Tidak mudah menjadi penjaga di Vihara. Selain harus jujur, juga harus memahami seabreg aturan yang ditetapkan. ”Kerja disini syaratnya harus jujur. Satu kali bohong, mereka akan sangat sulit percaya lagi,” ujarnya.

Kejujuran memang jadi nomor satu bagi seorang petugas Vihara. Maklum di Vihara Viriya Pala banyak uang sumbangan dari para donatur yang datang setiap kali sembahyang. Di Vihara Viriya Pala juga ada sepeda motor, laptop dan barang elektronik lainnya yang harus dijaga oleh Arif.

Sepeda motor, laptop dan barang elektronik tersebut merupakan hadiah undian yang siap dibagi-bagikan pada umat yang datang pada perayaan Imlek dan Ulang Tahun Dewa Rejeki di Vihara Viriya Pala yang akan berlangsung pada 25 dan 30 Januari 2009.

”Disini, kita tidak boleh makan sembarangan, sebelum ada izin dari Suhu, kita tidak boleh makan (makanan sesaji-red),” ujar Arif menyebut salah satu aturan yang harus ditaati. Ada lagi pantangan tidak boleh membuang hio bekas sembahyang ke tong sampah. Hio bekas sembahyang haruslah dibuang ke tungku pembakaran.

Begitupun kalau menyapu tidak boleh keluar tapi harus ke dalam. ”Menyapu ke dalam itu lambang rejeki. Rejeki harus dikumpulkan ke dalam. Tidak hanya di vihara saja. Saat Imlek, tradisinya menyapu harus ke dalam. Bahkan tidak boleh menyapu dan mencuci,” kata Siha, Ketua Yayasan Vihara Viriya Pala.

Meski banyak aturan, karena terbiasa, Arif mengaku tidak ada kesulitan. Ia malah merasa bangga karena sudah 7 tahun menjadi penjaga di Vihara Viriya Pala Batam Centre. ”Walaupun hanya petugas, saya bangga kerja disini, Saya disini sejak vihara ini masih kecil hingga sekarang menjadi besar dan megah,” ujarnya.

Sebenarnya, kata Arif menjelang perayaan Imlek kesibukan petugas Vihara bukan hanya memasang lampion dan mendekor panggung untuk acara. Tapi juga menyiapkan acara perayaan Imlek. ”Saya ikut kumpul bersama yang lain untuk menyiapkan acara perayaan Imlek,” ujarnya. Seperti tahun-tahun sebelumnya. (andriani susilawati)

Tuesday, February 3, 2009

Makin Banyak Ditanya, Makin Banyak Minumnya

BAGI SUHU Huang Huat, seorang suhu (guru, pen) di vihara Viriya Pala Batam Centre, tiada hari tanpa minum arak. Kuantitas minumnya bahkan bisa lebih banyak jika banyak pengunjung yang datang dan bertanya padanya. Pertanyaannya bisa apa saja. Bisa karir, keluarga, kesehatan hingga asmara dan perjodohan. Suhu Huang Huat yang sudah mengabdi di beberapa vihara selama 7 tahun itu, ternyata mantan preman dan warga kelahiran Batam asli.

Beberapa hari lalu saya berkunjung ke Vihara Viriya Pala. Vihara ini lokasinya di komplek Limindo Trade Centre. Beberapa ratus meter dari Simpang Kara Batam Centre. Begitu tiba di Vihara Viriya Pala, saya melihat ada dua orang sedang duduk di teras vihara dan sedang asyik berbincang. Di samping kiri vihara , terlihat ada tiga orang yang sedang mendekorasi panggung yang berwarna merah. Panggung itulah yang dijadikan tempat untuk acara perayaan Imlek malam ini 25 Januari 2009 lalu.

Bermaksud ingin bertemu penjaga vihara, Saya pun bergegas berjalan mendekat ke dalam vihara. Saat itu ada seorang pria tinggi kekar berbadan besar ke luar dari dalam bangunan Vihara Viriya Pala. Ia memakai kaos tanpa lengan, Kedua lengan atas kiri kanannya dipenuhi tattoo, termasuk di bagian punggung telapak tangannya. Ternyata pria itu Suhu di Vihara Viriya Pala. Namanya Suhu Huang Huat. Dialah yang menjaga vihara, memimpin ritual dan membantu orang-orang yang datang ke Vihara dan bertanya tentang apapun berkaitan nasib, jodoh, bisnis, kesehatan termasuk soal asmara. Suhu Huang Huat jugalah yang malam ini (25/1) akan meminpin ritual perayaan Imlek.

Saya pun jadi teringat dengan perayaan Imlek di Vihara Viriya Pala tahun lalu. Malam itu, empat ribuan orang ramai-ramai datang ke vihara itu. Mereka melakukan ritual lilin dipimpin oleh Suhu Huang Huat. Dilanjutkan pesta kembang api, lalu ada pembagian angpao oleh Dewa Rejeki.

Sebelum pembagian angpao oleh Dewa Rejeki, ada ritual khusus lainnya yang dilakukan oleh Suhu Huang Huat. Suhu Huang Huat meminum arak dan tidak lama setelah itu Suhu Huang Huat jadi dirasuki oleh Dewa Rejeki. Disaat dirasuki Dewa Rejeki itulah Suhu Huang Huat membagi-bagikan ribuan angpao. Setiap pengunjung baik tua renta, dewasa dan anak-anak rela berjubel, berdesak-desakkan untuk antri melewati gerbang keberuntungan, lalu menerima sebuah angpao dari Dewa Rejeki dan berharap akan mendapat hoki setelah malam perayaan Imlek itu .

Kala itu, Suhu Huang Huat yang sedang dirasuki Dewa Rejeki, tentu saja berpenampilan rapi dan berpakaian seperti Dewa Rejeki. Penampilannya jauh berbeda saat saya berjumpa dengannya siang itu. Ia hanya mengenakan T-shirt warna biru tanpa lengan terkesan santai. Saya bahkan hampir tidak mengenalnya, karena penampilannya benar-benar berbeda.

Untuk memulai awal percakapan dengan suhu Huang Huat, ternyata agak sulit juga. Bukan karena sang guru yang satu ini tertutup. Masalahnya, suhu Huang tidak begitu fasih berbahasa Indonesia. Pembicaraan baru bisa berjalan lancar setelah seorang adik iparnya yang kebetulan ada di lokasi, ikut membantu sebagai penerjemah.

Sayapun memperhatikan dan bertanya tentang tatto di tubuhnya. Ternyata tatto itu bukan sembarang tattoo. ‘’Ini tanda yin yang dan ini swastika (sambil menunjuk tanda di telapak punggung telapak tangan). Kalau yang ini (tato di lengan atas kiri dan kanan, red) cuma main-main,’’ ujar Suhu Huang Huat sambil tersenyum.

Dulunya Suhu Huang Huat ternyata nakal/bandel. Tubuhnyapun banyak ditatto. Di kedua lengan kiri dan kanannya ditatto, termasuk di bagian dada. Suhu Huang Huat ini, ternyata merupakan penduduk asli batam. Ia lahir dan besar di pulau ini.

Saat batam masih lebih banyak hutan daripada perumahan, Suhu Huang bersama orang tua dan sepuluh orang saudaranya, sudah tinggal di daerah Baloi. Persisnya di Baloi Polisi sekarang ini. Di sana, mereka sempat punya kebun. Mulai kebun buah-buahan hingga pohon karet. Tapi sekarang ia tinggal di Centre Park. Dari sekian banyak saudaranya, hanya dia satu-satunya yang akhirnya memilih jalan hidup sebagai seorang Suhu atau Guru. Sedangkan saudara-saudaranya kebanyakan memilih bekerja atau berbisnis di Batam dan Singapura. Saat ini Suhu Huang Huat juga punya keluarga.

‘’Ada tingkatannya, kalau Suhu dengan tingkatan siu tao itu boleh berkeluarga. Beda dengan bikhu, tidak boleh berkeluarga,’’ ujarnya.

Suhu Huang Huat yang kini berusia 36 tahun ini sudah menjadi Suhu di Vihara Viriya Pala sejak empat tahun lalu. Sebelumnya, ia juga sempat menjadi Suhu di sebuah vihara lain di centre park, cikal bakal vihara viriya pala sekarang ini selama 3 tahun. Untuk menjadi seorang Suhu, ia belajar ilmu pada seorang guru selama sepuluh tahun. Sayapun menanyakan siapa nama gurunya. Tapi Suhu Huang Huat tidak mau menyebut nama gurunya. Ia mengajak saya untuk menghampiri sebuah lukisan bergambar seorang pria berumur dengan janggut panjang menjuntai hingga melewati leher yang tertempel di dinding dalam Vihara Viriya Pala.

Di tengah berbincang-bincang, Suhu Huang Huat pamit sebentar meninggalkan saya. Beberapa menit kemudian, dia sudah kembali sambil memegang botol terbuat keramik yang di dalamnya berisi arak, lalu meminumnya.

‘’Ini untuk power. Kalau tidak minum, saya tidak ada power, ‘’ ujar Suhu Huang Huat.

Power yang ia maksud adalah kekuatan untuk meramal apapun, nasib, masa depan, jodoh, bisnis, kesehatan dan lainnya. Setiap kali ada orang yang bertanya ramalan atau konsultasi masalah lainnya, maka setiap itupula Suhu Huang Huat harus minum.

‘’Semua boleh saya minum, arak putih, beer, atau lainnya asal bisa membuat mabuk,’’ ujarnya.

Semakin banyak orang bertanya ramalan atau konsultasi, berarti semakin banyak suhu Huang harus minum. Untuk setiap ramalan, Suhu Huang Huat tidak tahu pasti jumlah volume arak yang harus diminum. Hanya saja ia punya patokan sendiri. Patokannya sampai menjadi mabuk 80 persen dan kesadaran tinggal 20 persen.

Dalam keseharian selalu ada saja orang yang konsultasi pada Suhu Huang Huat. Mereka yang ingin diramalkan suka datang langsung ke vihara. Ada juga yang memilih telepon terlebih dulu untuk membuat janji supaya saat orang tersebut ketika datang ke Vihara Viriya Pala, Suhu Huang Huat ada ditempat.

Selain meramal segala hal, Suhu Huang Huat juga menjaga vihara dan memandu ritual dalam keseharian di Vihara Viriya Pala ataupun pada hari besar seperti malam perayaan Imlek tahun ini yang jatuh pada Minggu (25/1) dan Ulang Tahun Dewa Rejeki yang jatuh pada Jumat (30/1).

Di Vihara Viriya Pala ada 10 Dewa yang dipuja oleh para pengunjungnya. Tidak heran, setiap hari Vihara Viriya Pala banyak dikunjungi umatnya. Mereka datang untuk ritual ataupun berkonsultasi dengan Suhu Huang Huat. Bahkan di Vihara Viriya Pala ini ada yang datang untuk melakukan sembahyang pada Dewa Pian Cai Shen untuk memohon keberuntungan supaya memenangkan siji.

Vihara Viriya Pala berdiri megah. Disana, tepatnya dibagian luar, tampak ada Dewa Tie Kong. ‘’Tie Kong ini Dewa paling besar dibanding Dewa Dewa yang ada. Kalau ibarat di pemerintahan, Tie Kong ini Presiden dan Dewa-Dewa yang lainnya adalah mentri-mentrinya,’’ ujar Siha Ketua Yayasan Vihara Viriya Pala.

Beberapa Dewa lainnya terletak di dalam bangunan utama Vihara Viriya Pala. Salah satunya Dewa Zhan Tian Shi, ini adalah Dewa yang melindungi manusia dari arwah-arwah jahat. Di belakang Dewa Zhan Tian Shi terlihat gambar-gambar yang menakutkan seperti kepala manusia tanpa tubuh. ”Gambar-gambar yang menakutkan ini menggambarkan kalau Dewa ini (Dewa Zhan Tian Shi) menangkap arwah-arwah/roh-roh jahat, supaya tidak mengganggu manusia,” ujarnya.

Disisi lainnya ada Dewa Zheng Cai Shen yang merupakan Dewa Rejeki. Kepada Dewa Rejeki, para pengunjung melakukan permohonan agar usaha dan bisnis jadi lancar. Dengan bisnis lancar, rejekipun datang mengalir. Di Vihara Viriya Pala juga ada Dewa Yue Lao, Dewa inilah yang dipuja saat pengunjung ingin memohon jodoh atau segala hal yang berkaitan dengan jodoh, termasuk keluarga hubungan pasangan suami istri.

Ada juga Dewa Pian Cai Shen. Kalau Dewa Pian Cai Shen ini untuk orang-orang yang mau minta petunjuk tentang siji. Pengunjung yang akan memasang siji biasanya rajin melakukan ritual pada Dewa Pian Cai Shen. ”Banyak orang yang mau pasang dan ingin menang terlebih dulu melakukan persembahan pada Dewa Pian Cai Shen,” tambahnya.

Selain di bangunan utama, di Vihara Viriya Pala yang memiliki luas 2500 meter persegi ada sebuah bangunan lain yang lebih kecil dan juga untuk sembahyang. Di bangunan itu ddalamnya terdapat Dewa 12 Shio, terdiri dari Shio tikus, kerbau, macan, kelinci, naga, shio ular, kuda, kambing, monyet, ayam, anjing, dan shio babi. Ada juga yang disebut Datuk. ‘’Kalau Datuk ini arwah leluhur yang dulunya tinggal disini,’’ ujar Siha, Ketua Yayasan Viriya Pala.

Kata Siha, Datuk ini semasa hidupnya pantang menyantap daging babi. Karena itu ritual kepada datuk punya aturan tersendiri yang berbeda dengan ritual pada Dewa-Dewa di Vihara Viriya Pala. Khusus untuk Datuk, tidak semua pengunjung Vihara Viriya Pala bisa melakukan persembahan pada Datuk. Mereka yang melakukan ritual pada Datuk hanyalah orang-orang yang tidak menyantap daging babi. Kalau sehari-hari menyantap daging babi, itu artinya tidak diperbolehkan.

Selain memandu ritual atau konsultasi ramalan setiap hari, Suhu Huang Huat juga akan meminpin ritual pada perayaan Imlek malam ini(25/1) dan meminpin ritual Ulang Tahun Dewa Rejeki pada 30 Januari 2009 mulai pukul 12.00 WIB. Pada perayaan Imlek di Vihara Viriya Pala (25/1) acara dimulai dengan Puak Bi Tang, lalu ritual lilin. Tepat pukul 00.00 WIB akan ada pesta kembang api lalu pembagian angpao oleh Dewa Rejeki dan terakhir Phai Nien. Sementara pada tanggal 30 Januari adalah Hari Ultah Chai Shen ( Dewa Rezeki ). Acara ini dilakukan pada siang hari mulai pukul 12.00 WIB. Nantinya akan ada ritual lilin, pembagian angpao, barongsai dan acrobat. Sebagai acara penutup adalah mengenal dekat Dewa Rejeki.

Vihara Viriya Pala juga dilengkapi dengan taman untuk tempat santai dan duduk-duduk di samping kirinya. Tepat di bagian halaman Vihara Viriya Pala ada tunggu pembakaran yang biasanya digunakan untuk membakar kertas kuning, yang diyakini simbol uang untuk memperoleh rejeki yang banyak. Makin banyak membakar kertas kuning, makin banyak rejekinya.

Ngomong-ngomong soal tahun kerbau yang akan segera tiba, suhu Huang punya pendapat hampir sama dengan prediksi banyak kalangan. Menurut Suhu Huang, Tahun Kerbau ini tergolong masa yang akan banyak masalah. Itu akan terjadi dan tidak bisa dihindari. ‘’Untuk berbisnis agak susah,’’ ujarnya. (andriani susilawati)