Thursday, December 6, 2012

[Motivasi Malaka] Komersialisasi Kota Tua (1)



SAYA PENASARAN  dengan cerita beberapa teman tentang kota Malaka. Katanya, di sana menyenangkan. Memang bukan sebagai kota besar. Tapi kota yang menjual ketuaannya sebagai destinasi wisata selain destinasi kota tujuan wisata kesehatan bagi orang-orang yang sakit.

Beberapa waktu kemarin, kebetulan ada undangan mengunjungi kota itu. Maskapai Sky Aviation membuka penerbangan perdana ke Malaka via Tanjung Pinang. Karena undangannya hari jumat dan saya sedang punya waktu agak luang, saya putuskan berangkat saja.


Cholil Wahyudi, Distric Manager Sky Aviation di Kepri mengatakan, penerbangan perdana ini cuma memakan waktu tidak sampai sehari.

“Kita berangkat pagi dari Batam, mampir sebentar di Tanjung Pinang trus langsung terbang ke Malaka. Jumatan sebentar di sana, keliling-keliling, sorenya pulang. Gak perlu nginep kok” katanya.

Saya berangkat bareng pak Chappy Hakim yang dalam struktur maskapai Sky Aviation menjabat sebagai penasehat airlines. Pesawat yg kami gunakan foker 50, berjenis baling-baling turboprop. Saya mengestimasi perjalanan tidak akan lebih dari 30 menit karena menghitung jarak Tanjung Pinang – Malaka hampir sama saja dengan jarak Batam – Medan. Tapi rupanya salah. Jenis pesawat ternyata juga menentukan kecepatan terbangnya. Penerbangan Tanjung Pinang – Malaka akhirnya ditempuh dalam waktu sekitar 60 menit.


____________________________________________

LETAK BANDARA  internasional Malaka (orang di Malaka menyebutnya Pelabuhan Udara Antarabangsa Malaka, pen) membuat saya sedikit takjub. Panjang runwaynya mungkin kurang lebih sama dengan bandara Raja Haji Fisabilillah (dulu bernama bandara Kijang, pen) Tanjung Pinang. Bangunannya memang lebih modern dg arsitektur yg rada nyentrik. Dinding-dinding bagian luarnya dibuat miring 45 derajat dan berwarna polos abu-abu gelap.

Tapi bukan itu yang membuat saya takjub. Bandara internasional Malaka terletak di tengah kota. Di sisi-sisi runway, kita bisa melihat lalu lalang kendaraan-kendaraan yang cuma dipisahkan dengan pagar kawat. Tiang-tiang penyangga kawatnya terbuat dari beton yang dicor membentuk huruf L terbalik.

Saya ingat sekali, tiang-tiang seperti itu adalah tiang-tiang yang lazim digunakan juga di bandara-bandara di Indonesia hingga era  90-an dulu. Sekarang, mungkin hanya sedikit bandara yang masih menggunakan tiang-tiang seperti itu karena sudah banyak yang dipugar jadi lebih modern. Kesimpulan saya, pengelola bandara ini sangat perhatian sekali dalam merawat fasilitas penunjang bandaranya walaupun sudah puluhan tahun.

Jarak approach zone di ujung-ujung runway bandara ini, juga tidak bisa dibilang jauh dari bangunan-bangunan umum milik warga setempat. Sekitar 20 – 50 meter dari ujung runway, kita sudah bisa melihat pemukiman warga yang lumayan padat.

Ini mirip dengan bandara Polonia di Medan. Cuma bedanya, traffic penerbangannya lebih sepi saja. Satu lagi yang beda, proses landing di bandara ini terasa lebih mulus kendati harus melintasi rumah-rumah penduduk karena letaknya di tengah kota. Saya jadi membandingkan dengan Polonia di Medan yang harus sport jantung setiap kali akan landing atau take off dari sana.

Oh ya, sepanjang kedatangan kami yang langsung disambut oleh menteri wilayah Malaka, Datuk Sri Haji Muhammad Ali bin Muhammad Rustam, cuma satu pesawat saja yang singgah, ya pesawat yang kami tumpangi itu :)

Di sini, walau menjadi destinasi tujuan wisata, kebanyakan wisatawan datang ke kota ini menggunakan jalur darat dari Kuala Lumpur. Kata Sammy, pemandu wisata saya selama di Malaka, kebanyakan wisman adalah orang Indonesia. Dan rata-rata wisatawannya adalah orang-orang yang sakit.

“Ya, kebanyakan pelancong memang berasal dari  Indonesia. Mereka berubat ke sini. Tapi jangan khawatir, Malaka juga punya tawaran lain iaitu wisata sejarah” kata Sammy yg kemudian sudah dengan fasih menjelaskan tentang kota kebanggaannya itu.

Mulai dari sejarah nama Malaka yang katanya berasal dari penyebutan buah khas daerah ini oleh bangsawan nusantara asal Sriwijaya bernama Prameswara ratusan tahun silam. atau, tentang kebijakan politis saat kota ini dulu dikuasai Portugis, Inggris dan Belanda.

Bandara internasional Malaka memang tidak memiliki traffic penerbangan yang ramai. Tapi tidak membuatnya jadi mati. Ada sekolah penerbangan bernama Malaysia Flying Academy di salah satu bagian komplek bandara yang punya aktifitas tetap. Mencetak penerbang-penerbang andal Malaysia. Sama seperti di Curug, Tangerang, pesawat latih yang digunakan adalah sejenis cassa.

Sekolah untuk para calon penerbang komersil itu, mulai dibangun tahun 1982 silam dan beroperasi mulai tahun 1987. Di sini, dididik para kadet penerbang yang nantinya disiapkan menjadi penerbang komersil di maskapai-maskapai seperti Malaysia Air System. Pengelolanya bahkan mengklaim, lulusan sekolah penerbang mereka sudah banyak yang merintis karier, tidak hanya di maskapai nasional. Tapi juga internasional.

Terminal di bandara internasional Malaka,  tidak seramai terminal-terminal bandara yang ada di kota-kota besar Indonesia. Hanya beberapa unit taksi saja yang kelihatan mangkal di sisi luar bandara. Selebihnya, sepi.

Iseng-iseng sambil menunggu kendaraan, saya mencari tempat untuk merokok. Sedari tiba, saya memang tidak melihat ada orang merokok di lingkungan bandara ini.

“Dimana saya bisa merokok di sekitar tempat ini”, tanya saya kepada seorang pria Malaysia dengan coba menyesuaikan logat bicara seperti mereka.

“Di sana boleh,” katanya sambil menunjuk sebuah tempat parkir beberapa bus wisata. Jaraknya sekitar 10 meteran dari teras terminal kedatangan bandara itu.

Benar saja, saya menemukan beberapa kursi panjang dengan ujung-ujungnya yang diberi asbak rokok besar ukuran bulat. Sembari merokok, saya memperhatikan sekeliling bandara itu. Sentuhan kemajuan sepertinya cuma terlihat pada bangunan terminal bandaranya. Kata seorang petugas custom (bea dan cukai, pen) di sini, bangunan bandara itu baru saja dipugar menjadi lebih modern beberapa tahun lalu.

Taksi yang ada di sini menggunakan merk lokal proton. Tapi jangan dibayangkan seperti taksi-taksi bandara besar Indonesia pada umumnya yang menggunakan kendaraan-kendaraan sedan buatan tahun 2005 ke atas. Di sini taksi yang dioperasikan masih rakitan tahun lama. Mungkin awal 90-an hingga akhir.

____________________________________________
SEPINTAS JALAN  memasuki waktu shalat Jumat, seperti umumnya kota-kota lain di Indonesia, masyarakatnya berbondong-bondong menuju masjid-masjid terdekat. Ada yang berjalan kaki,menggunakan sepeda motor atau mobil.

Tapi, saya jarang menemui warga yang menggunakan kendaraan keluaran baru. Yang menggunakan sepeda motor, sepeda motornya kebanyakan keluaran tahun 1990-an. Begitu juga dengan mobil. selain Proton Saga keluaran tahun lama, masih banyak warga yang menggunakan Toyota Corolla buatan tahun 1986.
Untul kendaraan tahun keluaran lebih muda, kebanyakan menggunakan merk Perodua, kendaraan merk lokal juga. Hanya beberapa saja yang menggunakan kendaraan keluaran baru built up.

Karena penasaran, saya sempat bertanya kepada seorang rekan yang merupakan orang lokal di kota ini.
“Di sini kami terbiasa menggunakan kendaraan sesuai fungsinya sahaja. Kalau masih baik, mengapa harus membeli yang baru?” Katanya malah balik bertanya ke saya.

Saya jadi membandingkan dengan kota Batam yang masyarakatnya banyak yang jadi korban iklan kendaraan bermotor baru. Yang selalu tertarik membeli bila ada produk baru yang diluncurkan ke pasar. Bukan karena kebutuhan, tapi saya yakin cuma sekedar  ingin dan mengikuti trend saja.  walaupun untuk itu, (maaf, pen) mereka harus melakukannya dengan cara berhutang atau kredit.

Untuk tahun 2012 ini, pendapatan per kapita di Malaysia seperti dilansir dari berita semasa di negara itu, sudah mencapai US$9700. Di Indonesia rata-rata US$3542,9 sesuai perhitungan BPS untuk tahun 2012 ini. Kalau dihitung secara kasar, mereka tentu lebih makmur dibanding masyarakat Indonesia. Tapi untuk soal konsumtif, masyarakat di Indonesia mungkin  lebih konsumtif dibanding masyarakat di Malaysia. (***)

No comments: