Thursday, August 19, 2010

Indonesia Saja


“Masalah suku ras, agama, antar golongan, kadang membuat kita jadi terkotak-kotak. Membuat kita yang seharusnya satu sebagai orang Indonesia jadi seperti asing satu sama lainnya…

SAYA DILAHIRKAN sebagai anak kedua dari lima bersaudara. Bapak Jawa tulen yang kental dengan budaya Kromo Inggil asal Kudus - Jawa Tengah. Kakek dari bapak adalah seorang tentara angkatan darat yang hidup berpindah-pindah pada zamannya. Dari satu Kodam ke Kodam lainnya sesuai penugasan. Bapak dibesarkan secara sederhana oleh nenek buyut saya.

Ibu sebenarnya juga Jawa tulen. Tapi menghabiskan masa kecil hingga dewasa di Jakarta. Pakem budaya Jawa-nya sudah pudar. Hidupnya lebih metropolis daripada bapak. Kakek dari ibu juga seorang tentara dari angkatan udara. Tugasnya sebagai Navigator pesawat kepresidenan zaman Bung Karno. Kakek selalu mendampingi tugas-tugas kenegaraan presiden Soekarno. Baik saat bepergian ke daerah-daerah di Indonesia, maupun keluar negeri dalam kunjungan kenegaraan.

Walau dari keluarga besar yang berada dalam lingkar kekuasaan, keluarga kecil kami adalah keluarga sederhana. Tidak kaya, tidak juga kekurangan. Bapak adalah lulusan Akademi Penerbangan Indonesia (API) Curuq (sekarang jadi Sekolah Tinggi Penerbangan Indonesia, pen) yang bekerja sebagai PNS dari Direktorat Perhubungan Udara. Hidupnya lurus dan punya prinsip mandiri.

Beliau memilih untuk bersekolah di Curug bukan untuk gagah-gagahan. Tapi karena biayanya yang gratis. Tidak perlu bayar, tapi begitu lulus langsung bisa dipekerjakan sesuai penempatan. Sementara ibu, hanya seorang mahasiswi abadi IKIP Jakarta yang tidak pernah menyelesaikan kuliahnya karena ikut suami bertugas di daerah. Ibu saya hanya jadi ibu rumah tangga biasa sampai meninggal tahun 1998 lalu. Kami tinggal terpisah dari lingkaran keluarga besar.

Abang saya dilahirkan di Jakarta saat bapak bertugas di sana. Sementara dua adik dilahirkan di Tanjung Pinang saat penugasan bapak di kota itu. Yang paling bungsu dilahirkan di Batam saat bapak dipindahkan ke Batam.

Masa kecil saya bersama abang dan adik-adik lebih banyak dihabiskan di Tanjung Pinang dalam suasana sederhana dan damai. Kami juga tinggal di rumah dinas bandara Kijang bersama lebih dari puluhan pegawai lain yang berasal dari berbagai suku dan daerah. Kami adik beradik berlima, memang bertempat tinggal dalam heterogenitas budaya nusantara.

Karena tinggal jauh di perantauan, kami sekeluarga juga jadi punya saudara-saudara baru. Saya jadi punya pakde angkat yang orang Jawa. paman yang orang Ambon, Batak, Melayu, Sunda dan Padang. Secara tidak langsung kami mengikat tali persaudaraan karena kesamaan nasib. Sama-sama orang perantauan. Persetan dengan suku dan keyakinan kepercayaan. Itu masalah privasi yang tidak perlu membuat kami sampai jadi terpecah. Rasanya juga tidak perlu dibesar-besarkan…..

---------------------------

Saat bersekolah di SD Negeri 030 Tanjung Pinang, teman-teman saya juga berasal dari berbagai suku dan daerah, termasuk juga guru-guru yang mengajar. Soal suku, memang tidak pernah muncul sebagai sebuah perbedaan yang membuat jurang pemisah antara yang satu dengan lainnya. Kami berbicara dengan bahasa Indonesia, belajar dengan bahasa Indonesia dan bermain dengan permainan khas anak-anak Indonesia ; main gundu, lompat jangkit, petak umpet atau tam-tam buku.

Tahun 1986, kami sekeluarga pindah ke Batam karena bapak dapat penugasan baru di bandara Hang Nadim. Sedih karena harus meninggalkan komunitas tempat tinggal lama kami yang sudah menyatu. Harus juga meninggalkan “saudara-saudara”, meninggalkan sekolah lama kami.

Di Batam yang masih sepi, saya, abang dan adik disekolahkan bapak di SD Negeri 002 Batu Besar. Sekolahnya berjarak 10-an kilo meter dari tempat tinggal saya di perumahan pengairan DAM Nongsa. Lokasi sekolah kami berada di perkampungan tradisional yang sebagian penduduknya memiliki mata pencaharian sebagai nelayan di laut. Tapi, itulah sekolah yang terdekat dengan rumah. Bapak memilihkan sekolah tersebut untuk kami karena pertimbangan praktis dan ekonomis.

Tapi kendala baru muncul. Dari kediaman kami menuju sekolah, hampir tidak ada angkutan yang bisa digunakan sebagai sarana transportasi. Saat itu, jalanan Batam walaupun sudah beraspal mulus, tapi benar-benar sepi. Sesekali memang ada melintas mobil pribadi. Tapi lagi-lagi, jumlahnya bisa dihitung dengan jari.

Untuk transportasi, bapak sebenarnya pernah mengambil sebuah mobil kuno merk Holden tahun 1964 yang digeletakkan begitu saja bersama kendaraan-kendaraan sejenis dari Singapura. Tahun-tahun segitu, Batam memang sering dimanfaatkan sebagai tempat buangan barang-barang yang dianggap sampah dan tidak digunakan lagi oleh negara itu. Dengan sistem kanibal sana – sini dan dibantu beberapa teman yang mengerti mesin, sedan Holden tua itu akhirnya bisa jalan. Kendaraan itu digunakan sebagai sarana transportasi bapak dan rekan-rekan sekerjanya untuk berangkat ke kantor di bandara Hang Nadim yang berjarak tempuh 15 kilometer. Kendaraan itu juga-lah yang awalnya jadi sarana transportasi untuk mengantar kami adik beradik ke sekolah.

Tapi itu tidak lama. Dengan modal hasil penjualan Vespa Super bapak di Tanjung Pinang dan ditambah pinjaman bank, keluarga kami akhirnya bisa memiliki sebuah sedan sendiri dengan cara membeli. Saya ingat, itulah mobil pertama keluarga kami. Merk-nya Toyota Corolla buatan tahun 1973.

Situasi di sekolah baru SD Negeri 002 Batu Besar, benar-benar berbeda. Awalnya saya senang karena letak sekolah yang sangat berdekatan dengan laut. Ya, saya memang selalu suka dengan laut. Di halaman sekolah, juga ada banyak pohon kelapa. Di sini, teman-teman baru saya punya latar belakang keluarga yang rata-rata hampir seragam, anak nelayan. Aturan sekolahnya juga tidak terlalu ketat. Murid-muridnya boleh datang ke sekolah tanpa baju seragam jika tidak punya. Ada juga yang bersekolah menggunakan sandal jepit atau bahkan tanpa alas kaki. Yang lain datang ke sekolah menggunakan sarung untuk mengaji!! Ah, tapi saya tidak perduli. Saya senang punya teman-teman baru lagi.

Perbedaan lain lagi, teman-teman baru saya di sini rata-rata berasal dari dua suku saja ; Melayu dan Bugis Selayar. Bahasa Indonesia hanya digunakan di dalam kelas saat belajar. Di luar kelas, teman-teman menggunakan bahasa ibu masing-masing. Pada awal-awalnya, saya merasa asing. Ada perbedaan yang selama ini tidak pernah saya rasakan. Saat itu, saya baru menyadari bahwa nama saya yang terlalu banyak “O” memang berbeda dengan nama teman-teman baru saya. Sesuatu yang sebelumnya tidak pernah terpikirkan. Tapi yang terjadi kemudian jadi lucu. Saya bisa berbicara dengan logat Melayu dan sedikit-sedikit mengerti bahasa Bugis Selayar.

------------------------------

Saat mulai kuliah di Institut teknologi Nasional Malang Jawa Timur, kondisi hampir serupa juga saya alami lagi. Walau nama saya banyak menggunakan “O”, tapi saya dianggap bukan orang Jawa. Saya tidak bisa menyalahkan karena memang tidak bisa berbahasa Jawa apalagi mengerti adat istiadat Jawa. Teman-teman kuliah menyebut saya sebagai “Orang Mbatam”.

Lagi-lagi saya merasa sebagai orang asing. Tapi, pengalaman dan waktu memang jadi guru yang baik untuk belajar. Lima tahun di Malang, selain dapat ijazah “Tukang Insinyur”, saya juga sudah fasih berbahasa Jawa Timuran dan mengenal sedikit sedikit budaya Jawa secara umum.

Saya mulai kenal dunia kerja saat situasi negeri sudah berubah. Saya pulang ke Batam dan sudah berada di era otonomi daerah. Semangat kedaerahan begitu bergolak seperti juga yang terjadi di banyak daerah lain di Indonesia. Otonomi daerah sebenarnya bagus karena bisa cepat mengkatrol perkembangan suatu daerah yang selama ini jauh tertinggal dari pusat.

Reformasi ini sebenarnya berkah buat daerah. Dengan otonomi daerah, kita menggeser kebijakan yang sebelumnya sentralistik menjadi pro daerah. Itu sebenarnya kebijakan bagus karena bisa mendekatkan keputusan pada tingkat yang lebih lokal. Intinya yang bisa saya simpulkan mungkin akan ada peningkatan pelayanan kepada masyarakat yang pada akhirnya bisa membangun sistem yang lebih demokrasi yang lebih pro rakyat.

Misalnya saja, daerah bisa lebih leluasa menyelenggarakan pemerintahan karena mereka yang lebih tahu masyarakatnya daripada pemerintah kita di pusat sana. Pemerintah daerah juga bisa melakukan inovasi-inovasi yang bersifat lokal untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakatnya. Iklim demokrasi jadi lebih terasa. Sejak era reformasi, masyarakat di daerah juga sudah bisa menentukan siapa yang layak untuk memimpin daerahnya sendiri melalui pemilihan kepala daerah.

Tapi prakteknya tidak mulus. Ada semangat lokal sempit yang muncul ke permukaan, pengkotak-kotakkan kesukuan serta euphoria “katak dalam tempurung”. Belum lagi munculnya raja-raja kecil di daerah. Di sisi lain, kelompok suku yang selama ini seperti terpinggirkan mulai meminta “tempat”. Clue kesukuan jadi jurus ampuh.

Beberapa kelompok orang yang mengatasnamakan kesukuan atau mereka yang mengaku-aku bagian dari salah satu suku, bisa terkatrol mendadak status sosial maupun ekonominya. Tapi sebenarnya, masih banyak kelompok suku tersebut yang cuma dijadikan senjata atau bumper untuk mencapai tujuan pribadi atau kelompok dari “orang-orang” tersebut. Tingkat status sosial dan ekonomi mereka tetap saja jalan di tempat, ironis.

Imbas lain, sering terjadi penafsiran berlebihan terhadap otonomi daerah. Seakan-akan kita bisa melakukan apa saja. Banyak aturan-aturan yang diterbitkan di daerah ternyata tidak punya sangkutan ke atasnya dan ternyata sudah dijalankan. Misalnya dalam bentuk Perda. Kesalahan pemahaman seperti itu sering menimbulkan ketidakharmonisan hubungan antara pemeritah daerah dengan pemerintah pusat. Yang lain, kedekatan hubungan membuat praktek KKN kini sudah menyebar lebih luas di masyarakat. Tidak saja di kalangan terbatas seperti zaman orde baru dulu.

Saya ada di mana? Sejujurnya, saya tidak merasa ada dalam lingkaran-lingkaran seperti itu. Saya pilih jadi orang biasa, jadi orang Indonesia saja. (***)

Friday, August 13, 2010

Penjual Rokok versus Pedagang Obat


BEBERAPA WAKTU kemarin, saya bertemu sahabat lama. Kami sudah bersama sejak sebelum mengenyam bangku sekolah, kemudian bersama-sama saat di TK, SD hingga SMP. Kami baru berbeda sekolah saat SMA dan baru-benar-benar berpisah saat kuliah.

Dia lebih memilih teknik Arsitektur di sebuah perguruan tinggi di Jogja. Saya memilih teknik Elektro Sistem Tenaga di kota Malang. Hanya sekali-sekali kami bertemu. Malah beberapa tahun terakhir, kami sudah tidak bertemu lagi karena kesibukan kerja masing-masing.

Suatu siang menjelang sore di bulan Juli kemarin, saya melihatnya sedang merokok santai di koridor keberangkatan salah satu terminal domestik bandara Soekarno-Hatta Jakarta. Itu sebenarnya daerah bebas asap rokok. Ia tidak merokok di ruang yang telah disediakan. Hanya satu tangannya saja yang dimasukkan ke sisi pintu ruang smoking area. Itu juga sebenarnya lebih berfungsi untuk menopang badannya saja agar tidak terlalu lelah berdiri. Sementara badan dan tentu saja asap rokoknya, berkeliaran bebas di koridor yang menghubungkan ke ruang tunggu keberangkatan domestik.

“ Inilah penyakit kebanyakan perokok”, begitu pikir saya. Mau bebas merokok, tapi tidak mau terbelenggu dengan asap yang dihembuskannya.

“Mas, tolong kalau mau merokok di dalam saja. Kasihan penumpang yang lain”, tegur saya dari belakang sambil bergaya seperti satpam bandara.

Teman saya spontan menoleh dan kaget melihat saya. Ini jelas bukan pertemuan yang disangka-sangka sejak hampir tiga tahun kami putus kontak. Ia kemudian tertawa dan mendorong salah satu bagian dada saya. Sementara, di ujung tangannya yang lain masih terselip sebatang rokok menthol putih.

“Aku nggak tahan di dalam, asap semua!”, katanya santai sambil menghembuskan kembali asap rokoknya ke udara. Karena ada teman, saya juga mulai mengeluarkan sebungkus rokok dari dalam saku baju, mengambil sebatang dan menyalakannya.

“Lho, rokokmu ganti ya? Kok nggak samsu kretek lagi?’” tanyanya heran.

“Aku sudah setahun lebih pindah ke filter ini. Nggak tau, kalau ngisap samsu rasanya pahit”, kata saya sambil tersenyum.

Kami kemudian terlibat dalam pembicaraan tentang rokok. Tanpa sadar, aksi kami berdua menarik perhatian para penumpang lain untuk melakukan hal yang sama, merokok di koridor bebas asap rokok tersebut.

———-O———-

“Mohon maaf bapak-bapak. Kalau mau merokok silahkan di dalam ruang smoking area saja. Asap bapak-bapak sudah mengganggu penumpang yang lain”. Teguran seorang wanita manis berseragam keamanan bandara mengejutkan kami. Termasuk penumpang-penumpang lain yang melakukan hal yang sama.

“Aduh mbak, kami kan sudah berdiri dekat smoking area. Asapnya masuk ke dalam kok”, jawab teman saya sambil tersenyum.

“Tetap mengganggu, bapak. Silahkan ke dalam saja”, kata si petugas dengan nada tegas.

“Saya nggak kuat asapnya, tuh banyak orang di dalam. Saya matikan saja ya’, kata sahabat saya sambil kemudian mematikan puntung api rokoknya.

“Baik, pak. Tapi tolong kalau mau merokok lagi di dalam saja ya”, jawab si petugas kemudian bergegas meninggalkan kami.

“Mau merokok saja sekarang susah ya”, kata seorang penumpang pria yang sedari tadi berada di dekat kami. Ia juga terpaksa mematikan puntung api rokoknya karena enggan masuk ke ruang smoking area.

“Bayangkan, bandara semegah ini masak hanya menyediakan satu ruang smoking area di sepanjang koridor ini”, lanjutnya lagi.

Saya pikir, sedari tadi ia memang menyimak pembicaraan kami berdua tentang rokok. Ia kemudian sudah asyik berbicara tentang rokok bersama kami berdua. Katanya, ia pesimis dengan Perda larangan merokok di tempat umum yang diterapkan pemerintah DKI baru-baru ini…

———-O———-

Teringat soal Perda larangan merokok di tempat umum tersebut, saya jadi ingat dengan seorang CSR PT Djarum Tbk, Gabriel Mahal. Sehari sebelumnya, kami bertemu dalam sebuah acara di Jakarta.

Dia orang Nusa Tenggara. Badannya tinggi besar dengan kepala plontos. Tapi, kulitnya tidak hitam dan logat bicaranya juga sudah banyak dipengaruhi dialek Inggris. Salah satu kesenangannya, tentu saja merokok.

Saat itu, ia bercerita panjang lebar tentang masa depan industri rokok nasional, nasib petani tembakau kita dan juga para buruh pabrik rokoknya sendiri. Kata Gabriel, mereka sebenarnya jadi korban kampanye global “terselubung” anti tembakau yang sedang gencar dilakukan dengan motornya adalah organisasi kesehatan dunia WHO.

Gabriel juga mengkritisi sikap pemerintah kita yang seakan memusuhi rokok, tapi di sisi lain justru menikmati pajak paling besar dari bisnis tembakau ini melalui cukai tembakaunya. Ia menyebutkan kampanye terselubung dengan mengungkap data-data yang dianggap valid. Menurut Gabriel, terlepas dari masalah rokok dan kesehatan, kampanye global anti tembakau faktanya dibiayai oleh perusahaan-perusahaan besar farmasi dunia yang punya tujuan bisnis memasarkan produk obat-obatan anti nikotin.

Untuk menjelaskan lebih dalam, ia memberikan sebuah buku hasil riset dan tulisan Wanda Hamilton, seorang jurnalis sekaligus akademisi di 3 perguruan tinggi di AS. Judulnya, Nicotine War ; Perang Nikotin vs Pedagang Obat.

Buku itu adalah hasil risetnya selama sembilan tahun menjadi periset independen yang menulis isu-isu ilmu pengetahuan dan kebijakan publik yang berhubungan dengan merokok dan hak-hak para perokok.

Di sana ia memaparkan tentang peranan pemain industri farmasi dalam pembuatan produk-produk “penghenti merokok”. Contohnya Glaxo Smith Kline (GSK). Itu sebenarnya merupakan dua perusahaan raksasa bidang farmasi, Glaxo Wellcome dan Smith Kline yang melakukan merger pada 27 Desember 2007 lalu.

Hasil riset Wanda, GSK merupakan anggota pendiri koalisi hari anti tembakaau sedunia. Sebuah organisasi nirlaba yang ditujukan untuk meningkatkan pengetahuan tentang Hari tanpa tembakau di Dunia. Saat ini GSK tercatat sebagai salah satu perusahaan farmasi terbesar di dunia berdasarkan penjualannya. Produk anti nikotin produsi GSk dan memiliki pasar besar diantaranya Zyban (buproprien), koyok nikatin bermerk Nicoderm CQ dan permen karet Nicorette.

Dalam bukunya, Wanda juga mengupas peran industri farmasi dalam pembatasan peredaran tembakau melalui aturan. Misalnya aturan tentang pengurangan kandungan tar yang signifikan pada rokok serta penerapan harga tinggi pada rokok industri. Tembakau dalam hal ini nikotin akan diposisikan seperti emas yang punya harga melambung. Pada akhirnya nanti, tembakau akan seperti emas. Tidak setiap orang bisa membelinya. Walaupun misalnya, ia adalah seorang perokok.

Solusi yang diharapkan dari kondisi itu ; akan banyak perokok yang terpaksa melepas ketergantungannya pada nikotin dengan mengkonsumsi produk-produk kesehatan anti nikotin yang harganya jauh lebih murah dari tembakau….

———-O———-

Gabriel jelas pro nikotin. Ia membawa misi dari perusahaannya agar industri rokok bisa terus eksis. Tapi, tantangan besar memang sedang menghadang industri rokok saat ini dalam bentuk kampanye global anti tembakau.

Menurutnya, ketika para penggiat anti tembakau masih sibuk mengkampanyekan bahaya-bahaya tembakau dan ngotot menekan pemerintah untuk membuat regulasi pengontrolan yang ketat terhadap tembakau, korporasi-korporasi besar yang mendapat keuntungan dari agenda ini justru sibuk menghitung peluang-peluang meraup keuntungan dari bisnis anti nikotin tersebut.

Free tobacco addictif, Gabriel menyebutkan sebagai proyek Haliburton. Sebuah proyek besar dengan agenda inti pengontrolan terhadap tembakau yang mulai digulirkan sejak 1998. Di balik agenda itu, ada kepentingan-kepentingan bisnis dari perusahaan-perusahaan farmasi dunia.

Di Indonesia dan banyak negara lainnya, sosialiasi seperti itu dilakukan dengan melekatkannya dalam regulasi-regulasi yang diterbitkan pemerintah. Baik melalui anjuran internasional badan kesehatan dunia WHO, maupun dalam bentuk regulasi-regulasi titipan di peraturan-peraturan daerah.

“Saya mengatakan ini bukan berarti menganjurkan orang untuk merokok. Itu (merokok, pen) merupakan pilihan. Tapi, katakanlah dengan jujur”, kata Gabriel tentang agenda anti tembakau yang dianggap kampanye terselubung dari perusahaan-perusahaan farmasi dunia.

———-O———-

Sudah hampir tiga jam saya, sahabat saya dan teman baru saya berada di koridor keberangkatan bandara dan berbicara tentang rokok. Pesawat yang akan membawa kami pulang ke Batam ternyata mengalami penundaan keberangkatan.

“Saya pernah ditawari produk anti rokok yang bentuknya mirip rokok. Ya dibakar.. ya dihisap dan ada asapnya juga, persis rokok. Cuma, kalau sudah mencoba sebungkus, kita jadi ketagihan dan tidak ingin lagi mencoba rokok yang biasa kita gunakan”, kata teman baru saya. Ia menyebut sebuah produk anti nikotin yang bentuknya mirip rokok.

Teman baru saya itu ternyata pernah punya niat berhenti merokok. Ia menggunakan produk yang tadi disebutkannya. Cuma yang jadi masalah, produk itu ternyata tidak dijual bebas. Tapi menggunakan sistem Multi Level Marketing (MLM). Alhasil, ia juga sempat bergabung menjadi salah satu downline produk tersebut. Masalah lain ternyata timbul. Ia jadi punya ketergantungan baru terhadap produk anti tembakau yang bentuknya mirip rokok tersebut.

“Saya putuskan berhenti karena bikin repot. Kita nggak bisa beli di warung-warung. Harus pesan dulu. Parahnya kalau pas habis malam-malam, mau cari kemana? Akhirnya ya kembali lagi. Saya paksa saja menghisap lagi rokok yang sebelumnya”, kata si teman baru saya ini sambil tertawa. (***)

Just Declare about Him


SAYA BARU kenal namanya saat masih kuliah dulu. Waktu itu krismon, kondisi tidak menentu. Kurs rupiah terdepresiasi rendah sekali. Sementara, harga barang-barang melambung tinggi.

Namanya memang sudah melekat dalam label Jawa Pos, koran yang saya langgani tiap bulan berpatungan dengan teman-teman satu kost. Gara-gara krismon itu juga, harga Koran langganan kami itu naik. Dari Rp. 29 ribu per bulan jadi Rp. 32 ribu per bulan. Cuma Rp 3 ribu. Tapi zaman saya dulu, itu berarti sama dengan dua bungkus nasi ayam penyet atau jatah makan satu hari.

Kenapa harus Jawa Pos? Terus terang, ini memang berhubungan dengan isi kantong kami, maklum anak kost. Pertimbangan lain, informasi yang disajikan dalam koran itu juga sudah lumayan mencakup informasi yang ingin kami dapatkan. Ada berita Nasionalnya, berita daerah Jawa Timurnya (tempat saya tinggal selama kuliah, pen) lumayan lengkap. Berita sepak bolanya juga tidak ketinggalan. Satu lagi, penyajian gaya bahasa dalam berita-beritanya mudah dicerna. Tidak berat, begitu kami sering menyebutnya.

Japos menciut, ya opo iki rek? Iwan, teman satu kost saya teriak di suatu pagi tahun 1998. Ia kaget, lebar halaman Jawa Pos berubah jadi seperti tabloid mingguan. Suatu hal yang tak lazim dilakukan oleh koran yang terbit harian. Di halaman depannya ada pengantar redaksi yang menjelaskan kenapa koran itu menciut. Intinya begini :

Krisis yang berkepanjangan berimbas ke banyak sektor. Yang paling terasa oleh Jawa Pos adalah kenaikan yang tinggi terhadap kertas yang merupakan bahan baku koran. Untuk mensiasati agar tetap bisa terbit, mau tak mau Jawa Pos harus berubah. Salah satu perubahannya adalah pada tampilan lebar halamannya yang kini menjadi 7 kolom…

Walau berusaha jujur terhadap pembaca dalam menyikapi kondisi yang ada, Jawa Pos juga menyampaikan alasan pembenaran terhadap perubahan yang dilakukannya. Isinya kira-kira begini :

…. Dengan perubahan itu, membuat Jawa Pos jadi satu-satunya koran harian di Indonesia yang memiliki format halaman 7 kolom, tidak lagi 9 kolom seperti koran harian konvensional lainnya. Dengan format begitu, Jawa Pos jadi lebih ringkas dan mudah dibaca dimana saja. Membuka 2 halaman koran Jawa Pos sekaligus, sekarang tidak perlu membentangkan tangan lebar-lebar lagi. Cukup setengah atau tiga perempat bentangan. Itu bisa dilakukan pembaca di rumah, di halte bus yang sedang ramai penumpang dan berdesakan atau di dalam kabin bus kelas ekonomi yang memiliki kursi 3 berjejer…

Menurut saya analisisnya narsis, tapi sangat masuk akal. Pun begitu, alasan itu tetap tidak bisa mempertahankan saya dan teman-teman satu kost untuk tetap berlangganan koran tersebut. Masalahnya, perubahan itu juga diikuti oleh kenaikan harga langganan. Kalau saya tidak salah ingat, naiknya dari Rp 29 ribu menjadi Rp 32 ribu per bulan. Bagi kami yang cuma mengharapkan “belas kasihan” orang tua masing-masing, ini jelas memberatkan.

Pilihan kemudian jatuh pada koran lain asal Surabaya yang terbit sore hari. Alternatif ini dipilih karena loper langganan kami bilang harga langganannya jauh lebih murah, hanya Rp 25 ribu per bulan. Tapi, pilihan baru itu ternyata tidak berlangsung lama, hanya sebulan. Kami tidak mendapatkan informasi seperti yang pernah kami peroleh dari Jawa Pos. Walau agak terpaksa karena harus menaikkan iuran koran bulanan, kami berlangganan Jawa Pos lagi.

Saya pikir, sejak dulu Dahlan Iskan memang sudah senang menuliskan catatannya untuk kemudian diterbitkan dalam korannya. Kalau tidak salah ingat, saya pernah membaca tulisannya tentang langkah efisiensi yang coba dilakukan untuk menghadapi badai krisis moneter.

Selain menciutkan halaman jadi 7 kolom (10 tahun kemudian, format koran seperti Jawa Pos akhirnya diikuti hampir seluruh media cetak harian di Indonesia, pen), ia juga pernah mewajibkan para karyawan termasuk kru redaksi untuk merangkap tugas sebagai tenaga pemasaran koran. Saya lupa berapa persisnya. Tapi, setiap hari seluruh karyawan punya kewajiban tambahan untuk menjual beberapa eksemplar koran yang baru terbit. Semua harus habis terjual karena tidak ada istilah retour atau koran kembali karena tidak laku. Kalau ada retour, itu berarti tanggung jawab si karyawan.

Dengan langkah-langkah efisiensi yang dilakukan, Jawa Pos memang berhasil lolos dari lubang maut krisis moneter. Malah menurut penilaian saya, krisis moneter yang terjadi justru jadi tonggak sejarah kemajuan pesat Jawa Pos hingga mengakar ke berbagai daerah seperti sekarang. Menjelang tahun 2000 saja, koran itu bahkan sudah bisa “menyabangi” beberapa kota dalam bentuk suplemen Radar-nya. Suplemen Radar itu kemudian berkembang jadi koran sendiri di bawah JPNN.

———-0———-

TAHUN 2003, saya sudah jadi bagian dar ribuan karyawan dalam grup Jawa Pos. Saya bertugas di Batam. Awalnya bekerja sebagai reporter di salah satu koran metro lokal dalam salah satu kapal induk Jawa Pos (terus terang, ini meminjam istilah dalam buku “Jawa Pos Koran kita”, pen) di Riau Pos Grup. Kemudian ditarik pindah ke perusahaan televisi masih dalam grup yang sama.

Itu merupakan tahun pertama saya bertugas di perusahaan televisi tersebut. Lokasi kerja kami masih satu atap dengan hotel Nagoya Plaza di lantai 8. Sementara bangunan yang kami tempati, sebenarnya bukan bangunan yang menyatu dengan bangunan hotel. Itu adalah ruang-ruang yang didirikan di atas puncak gedung. Di sana juga berkantor manajemen hotel yang masih masuk dalam grup usaha Jawa Pos saat itu.

Namanya stasiun televisi baru yang berkonten lokal, ruang kontrol studio kami saat itu juga masih menumpang di salah satu ruangan lantai dua hotel. Sementara menara pemancar, kami tempatkan di puncak gedung. Berdekatan dengan ruang kantor. Daya pancar siarannya juga masih terbatas, hanya 500 watt.

Suatu sore menjelang magrib, seperti biasa saya baru saja selesai melaksanakan aktifitas kerja. Tidak langsung pulang, saya beristirahat sebentar di teras terbuka puncak gedung sambil memandangi kota Nagoya saat senja. Saat itu hari sudah hampir gelap. Saya duduk dekat menara pemancar sambil menghisap rokok kretek.

Tiba-tiba, menara pemancar yang hanya bertopang pada beberapa sling baja itu bergoyang keras. Ada yang menggoyangnya. Saya melihat ada seorang pria setengah baya yang menggoyang-goyang menara itu.

“Wah wah wah, kalau roboh bagaimana ini? Siapa orang itu?” pikir saya.

Karena samar dan tidak jelas, saya dekati pria dengan setelan hem putih lengan panjang yang kedua ujungnya dilipat itu. Ia mengenakan celana kain warna gelap dan bersepatu kets putih.Yang bisa terlihat jelas dari wajahnya, ia berkacamata.

Saya ingin menegur agar jangan menggoyang-goyang menara karena efeknya bisa fatal. Menara itu bisa roboh karena hanya ditopang beberapa utas sling baja. Jika itu terjadi, stasiun televisi tempat saya bekerja akan berhenti siaran dan saya bisa jadi penggangguran sementara…

“ Ini menara pemancar untuk stasiun TV atau tiang antena TV? kok begini?” kata si pria berkacamata itu sambil mendumel sendiri, tapi pandangannya mengarah ke saya.

Karena penasaran, saya dekati lagi pria itu sampai berhadapan. Dan kemudian, saya kaget setengah mati. Dia Dahlan Iskan, si Bos Japos yang juga bos dari stasiun Televisi tempat saya bekerja.

“Ini daya pancarnya berapa?” Tanya Dahlan Iskan. Pertanyaan kali ini jelas ditujukan pada saya karena hanya kami berdua yang ada di teras puncak gedung itu.

“Malam pak, itu daya pancarnya masih setengah kilo”, jawab saya setelah hilang rasa kaget.

“Setengah kilo berarti cuma Nagoya, tok…. TV ini seharusnya dikasih nama Nagoya TV, ya”, lanjut Dahlan sambil menepuk-nepuk tiang menara yang memang tidak kokoh itu.

“Kerja di sini?” tanyanya lagi.

“Iya pak, saya kerja di stasiun televisi ini”, jawab saya.

Dahlan Iskan kemudian mendekati dan merangkul bahu belakang saya.

“Sabar ya, ini kan TV baru. Sebagai apa?” Tanya Dahlan Iskan sambil tetap memegang bahu belakang saya. ia kemudian menggiring saya untuk berjalan beriringan di atas puncak gedung.

“Masih wartawan biasa, pak. Saya reporter,” jawab saya.

“Kok sendiri, mana teman-teman yang lain? Bos-mu ada?

“Ada pak, ayo saya antar ke ruang redaksi”. Kami kemudian berjalan menuju ruang redaksi yang berjarak hanya 10 meteran saja dari lokasi menara.

Itu jadi pertemuan pertama saya dengan Dahlan Iskan setelah setahun bekerja.

———-0———-

Tahun 2010, stasiun TV tempat saya bekerja, sekarang juga sudah jauh berkembang. Daya pancarnya sudah tidak lagi setengah kilo, tapi sudah 5 kilowatt. Akses siarannya juga sudah merambah hingga ke negara tetangga seperti Singapura dan Malaysia. Homebase kami di gedung megah berlantai sembilan, Graha Pena.

Kami siaran 18 jam sehari dengan program-program unggulan dari divisi yang saya kelola. Omset pendapatannya juga sudah lumayan sehingga kami bisa merasakan pembagian keuntungan dari perusahaan tiap tahunnya.

Menjelang akhir Juli lalu, saya dapat undangan (tapi, lebih tepatnya penugasan karena yang meminta adalah Dirut JPNN – Rida K Liamsi yang juga Dirut stasiun TV saya, pen). Acaranya pertemuan para Pemred se-Jawa Pos grup dari seluruh Indonesia. Ini sebenarnya acara pertemuan para Pemred dari media cetak. Tapi, pak Rida juga mengikutsertakan beberapa Pemred Stasiun TV, termasuk saya.

Walau heran, tapi saya menganggap ini kegiatan yang bagus. Forum diskusi antar Pemred se-Indonesia. Yang membuat acara ini saya nilai berbobot karena kegiatan diskusi juga menghadirkan tokoh-tokoh news maker nasional.

Ada Dirut Pertamina Karen Agustiawan yang tabung-tabung gas 3 kg-nya sedang bikin heboh. Ada ketua umum partai Demokrat Anas Urbaningrum yang baru saja “memenangkan” pertarungan internal partainya dalam pemilihan ketua partai Demokrat baru-baru ini. Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan juga dihadirkan dalam diskusi tersebut. Terakhir yang membuat saya lebih bersemangat adalah kehadiran Dahlan Iskan, si bos Japos itu.

Saya selalu tertarik dengan sosok Dahlan Iskan. Menurut saya, ia sosok yang sederhana, lugas dan nyentrik. Alasan lain, dalam diskusi itu ia tidak memposisikan sebagai bos Japos, bosnya kami. Tapi sebagai Dirut di PT PLN (persero).

Saya ingin mendengar langsung cerita di balik layar tentang gebrakannya mendandani perusahaan negara yang selalu mengklaim rugi terus, padahal memonopoli hampir seluruh energi listrik di negeri ini. Saya juga ingin tahu, seberapa efektif dia mengelola PLN dalam rentang setengah tahun pertama masa tugasnya itu.

Tepuk tangan riuh dari kami menyambut Dahlan Iskan saat muncul di pintu ruang pertemuan, lantai 6 hotel Ciputra. Saat itu, Dahlan mengenakan kemeja merah lengan panjang dan bercelana kain gelap. Kebiasaan lamanya yang selalu melipat ujung kemeja, masih jadi ciri khas Dahlan Iskan.

Ia membawa satu map berisi kertas-kertas, mungkin data kerjanya di PT PLN (persero) dan satu unit notebook (atau mungkin IPAD. Pirantinya terselubung di dalam bungkus kulit, pen).

Saat masuk dan berjalan ke panggung utama pembicara, ia memandang kami secara keseluruhan, kemudian menarik nafas panjang dan tersenyum.

“ Hhhh… saya punya janji pada diri sendiri untuk tidak ngurusi Jawa Pos dan tidak mau tau tentang Jawa Pos termasuk kalian selama enam bulan pertama masa kerja di PLN. Tapi sekarang kan sudah lewat 6 bulan, jadi saya tidak melanggar janji ya”, kata Dahlan membuka percakapan bersama kami malam itu sambil tersenyum lepas.

Kemudian, saya melihat Dahlan Iskan yang lain. Dahlan yang bukan orang Jawa Pos. Ia profesional dengan menempatkan dirinya sebagai orang PLN. Dahlan banyak bercerita tentang target enam bulan pertamanya, berusaha menekan pemadaman listrik bergilir yang terjadi di hampir seluruh daerah di Indonesia. Dan, saya pikir ia cukup berhasil.

“Saya serius dengan usulan listrik gratis”, katanya di salah satu tema diskusi soal ide yang pernah dilontarkannya tentang wacana listrik gratis untuk orang miskin.

Katanya, ide awal memunculkan wacana listrik berangkat dari kejengkelannya terhadap alasan beberapa pihak yang menolak kenaikan Tarif Dasar Listrik (TDL). masyarakat selama ini menurutnya, menolak kenaikan TDL karena selalu kasihan kepada orang miskin.

“Saya justru jengkel dengan alasan itu. Kalau memang sama-sama kasihan dengan orang miskin, kenapa justru tidak digratiskan sekalian,” katanya.

Kata Dahlan, semula ia hanya bergurau karena jengkel. Tapi setelah dihitung-hitung, hal itu ternyata masuk akal. Asumsinya, listrik untuk orang miskin digratiskan, tapi untuk golongan lain dijual dengan harga normal.

Hitung-hitungannya, dengan memberikan seluruh subsidi kepada golongan masyarakat miskin (pengguna 450 VA dan 900 VA) dan pembayaran normal atau sebesar biaya produksi listrik (Rp 1.000 per kwh) oleh golongan lain, maka PT PLN akan kehilangan dana sebesar Rp 1,5 triliun, tetapi dapat penerimaan sekitar Rp 30 triliun.

“Yang masuk kategori itu rumah yang diberi 5 buah lampu cukup, televisi sebagai kebutuhan dasar, radio, CD, Rice Cooker, setrika dan kipas. Ini dipakai gentian,” katanya.

Usulan itu tentu saja mendapat tentangan besar. Dahlan juga sadar, idenya tidak tepat untuk diterapkan saat ini. Makanya, ia tidak ngotot untuk terus memperjuangkannya sekarang.

“TDL itu murni keputusan politik. Wong PLN beli bahan bakunya harga pasar, harga internasional, t’rus jual listriknya harga pemerintah!” lanjutnya.

———-0———-

Dalam diskusi, Dahlan Iskan banyak menjelaskan tentang pengalaman 6 bulan pertamanya mengelola PT PLN (persero) serta targetnya untuk membebaskan Indonesia dari krisis listrik tahun 2012.

“Saya ingin listrik itu cukup di Indonesia, bukan sekedar dicukup-cukupkan”, katanya saat menggambarkan kondisi listrik nasional saat ini.

Ia fasih saat menjelaskan detil-detil masalah. Dalam enam bulan pertama masa tugasnya, Dahlan Iskan sudah berkeliling ke berbagai daerah di Indonesia untuk menginventarisir permasalahan yang terjadi.

Saya sampai geleng-geleng kepala saat beberapa teman Pemred dari Sumatera Barat, Tapanuli, Kalimantan atau Papua menyampaikan permasahan listrik yang terjadi di daerah mereka. Ia ternyata juga sudah tahu lokasinya dan bisa menggambarkan serta sudah punya alternatif penyelesaian.

Mengikuti diskusi dengan Dahlan Iskan, saya seperti kembali ke zaman kuliah dulu saat mengikuti mata kuliah Teknik Tenaga Listrik. Seperti dosen senior saya, Ir. Almizan Abdullah MSEE, Dahlan bisa sangat fasih menerangkan tentang sistem kerja sebuah PLTA sambil menggambar bagan-nya di kertas putih.

Kalau yang menerangkan itu dosen saya yang teman satu kuliah BJ Habibie di ITB dulu, saya sudah cukup maklum. Almizan Abdullah adalah juga orang di balik perencanaan dan pembangunan banyak bendungan untuk keperluan PLTA di Indonesia. Tapi, Dahlan Iskan kan bukan insinyur teknik kelistrikan? (***)