Sunday, June 24, 2007

Kupu-Kupu, Hinggaplah di Pundakku


Seorang pemahat batu yang awalnya hidup bahagia suatu ketika bekerja di rumah seorang bangsawan. Ketika melihat keindahan rumah itu, untuk pertama kali ia mengalami rasa sakit yang timbul dari suatu keinginan. Sambil menghela napas panjang, ia berkata, ?Seandainya saya kaya, saya tak perlu mencari nafkah dengan susah payah seperti sekarang.?

Betapa herannya ia, ketika tiba-tiba mendengar suara, ?Keinginanmu terkabul.? Maka, ia pun menjadi kaya dan memiliki rumah yang besar dan indah. Suatu sore ia melihat raja lewat diiringi pasukannya. ?Aku ingin menjadi raja,? katanya. Ajaibnya, tiba-tiba saja ia telah berada dalam kereta kerajaan. Namun, kereta itu sangat panas disengat matahari. Ia pun mengubah dirinya menjadi matahari yang memancarkan sinarnya ke seluruh jagat raya.

Sayangnya, pada suatu musim hujan ia gagal menerobos segumpal awan. Ia pun berubah menjadi awan, dan kemudian menjadi hujan, tetapi sebuah karang yang kokoh menutup jalannya sehingga ia hanya berputar-putar mengelilingi karang itu.

Karang lebih kuat dari saya?? serunya. Ia pun berubah menjadi karang yang tinggi menjulang. Namun, masalah baru pun timbul. Seorang pemahat batu sedang menatah bongkah-bongkah batu dari kakinya. Ia pun akhirnya mengubah dirinya menjadi pemahat batu dan hidup bahagia selama-lamanya.

Cerita sederhana di atas mengajarkan kita mengenai akibat sebuah keinginan. Kita sering merasa bahwa mengejar keinginan akan membuat kita bahagia. Padahal, yang terjadi adalah sebaliknya, keinginan lebih sering membuat kita tidak bahagia.

Apa yang terjadi pada si pemahat batu sering pula kita alami. Semula kita hidup tenang dan tenteram. Kita merasa berkecukupan dan bahagia dengan apa yang kita miliki: keluarga yang anggotanya saling menyayangi, pekerjaan yang baik, penghasilan yang lumayan, dan kawan-kawan yang penuh perhatian.

Sayangnya, ketenteraman tersebut sekonyong-konyong buyar begitu Anda memiliki keinginan baru. Mungkin Anda menginginkan pekerjaan yang gajinya lebih besar, atau kendaraan yang lebih bagus atau rumah yang lebih mewah. Begitu keinginan-keinginan itu muncul, seketika itu juga Anda akan merasa resah, gelisah, susah dan tidak bahagia.

Akar ketidakbahagiaan adalah keinginan. Saya ingin menambahkan bahwa sebetulnya bukanlah keinginan itu sendiri yang berbahaya, tetapi keterikatan dan kelekatan kita dengan keinginan. Dalam kondisi seperti ini, keinginanlah yang akan mengontrol kita.

Menurut saya, kelekatan pada keinginan akan menyebabkan tiga hal. Pertama, stres. Begitu memiliki keinginan, Anda akan langsung menderita stres karena perhatian Anda berubah. Sebelumnya, Anda bahagia karena memikirkan apa yang sudah Anda miliki. Namun sekarang, pikiran Anda berubah. Anda sekarang memikirkan apa yang tidak Anda miliki. Anda membanding-bandingk an dengan orang lain, dan Anda merasa kurang dan menderita.

Kedua, penderitaan yang Anda alami karena keinginan ini tak segera berakhir begitu Anda berhasil mencapai apa yang Anda inginkan. Kenapa demikian? Karena, keinginan senantiasa bersifat tak terbatas. Begitu Anda berhasil memiliki benda-benda yang Anda inginkan, benda-benda tersebut langsung menjadi tak menarik bagi Anda. Anda pun akan langsung melirik benda yang lebih bagus, lebih menarik dan lebih mahal lagi. Karena itu, sekali Anda terperangkap ke dalam keinginan, amat sulit bagi Anda keluar dari situ.

Ketiga, semakin besar keinginan Anda, stres yang Anda derita semakin besar pula. Pernahkah Anda mengalami bahwa semakin Anda mengharapkan sesuatu, sesuatu itu semakin menjauhi Anda. Semakin Anda menunggu-nunggu, sesuatu itu terasa semakin lama Anda dapatkan. Anda pun semakin menderita dibuatnya.

Sampai di sini Anda mungkin akan bertanya, kalau keinginan memang begitu berbahaya, dapatkah kita hidup tanpa memiliki keinginan apa pun? Marilah kita lihat sejenak perjalanan hidup manusia. Pada saat kita lahir ke dunia, kita sudah memiliki keinginan, tetapi keinginan tersebut amatlah terbatas.

Kita membutuhkan sandang, pangan dan papan sekadar untuk kelangsungan hidup kita. Kita pun dapat hidup sejahtera dengan keinginan yang amat terbatas tersebut. Sayangnya, begitu kita beranjak dewasa, keinginan tersebut bertambah banyak, bahkan jauh lebih banyak dari yang sekadar kita butuhkan.

Banyak orang yang sulit membedakan antara keinginan dan kebutuhan. Padahal, keduanya berbeda. Mari kita lihat beberapa contohnya. Kalau Anda merasa lapar dan Anda makan, itu namanya kebutuhan. Akan tetapi, bayangkan, tak lama setelah Anda selesai makan, kawan Anda membawa kue cokelat yang lezat dan Anda merasa sayang bila tak ikut menikmatinya. Inilah keinginan.

Seseorang yang sudah dewasa dan mencari pendamping hidupnya disebut kebutuhan. Namun bila ia sudah menikah, mempunyai anak yang cantik, tetapi masih melirik lawan jenis yang lain, ini namanya keinginan. Kalau Anda membutuhkan kendaraan yang siap melayani Anda bekerja, itu namanya kebutuhan. Kalau selain itu Anda masih memerlukan kendaraan lain untuk sekadar bertengger di garasi Anda, itu namanya keinginan.

John Stuart Mill pernah mengatakan, ?I have learned to seek my happiness by limiting my desires, rather than in attempting to satisfy them.? Untuk mencapai kebahagiaan, kita perlu membatasi keinginan kita, bukannya malah berusaha memuaskannya. Saya kira Mill benar karena segala sesuatu yang berada di luar senantiasa memiliki satu kaidah: semakin dikejar, dia akan semakin menjauh. Semakin kita berusaha mengejarnya, semakin kita merasa kekurangan. Saya teringat seorang bijak yang pernah mengungkapkan hal ini dengan sangat indah, ?Kebahagiaan adalah seekor kupu-kupu. Kejarlah, maka ia akan lari darimu. Duduklah dengan tenang, maka ia akan hinggap di pundakmu.?