Thursday, October 23, 2008

Membaca ; Inspirasi & Keyakinan


(Tentang Seorang Kenalan)

Saya percaya membaca bisa membuka cara berpikir kita, menambah ilmu pengetahuan dan wawasan. Membaca juga bisa merubah arah pandangan kita terhadap sesuatu objek yang jadi sumber atau inspirasi pikiran. Tapi, saya juga percaya membaca bisa menjadikan kita sesuatu yang awalnya jauh dari bayangan kita sendiri. Merubah seluruh pola hidup sehingga kita sendiri tidak sadar telah menjadi orang yang sama sekali asing dari sebelumnya.


Untuk menjadi sarjana strata satu, seorang kenalan yang umurnya jauh di atas saya mengaku sampai harus “menghabiskan” 1000 lebih buku dan bahan referensi. Untuk hal itu ia melakukannya selama setahun penuh. Secara kasat mata, hasil akhir sebenarnya sama saja. Sama seperti sarjana-sarjana yang lain yang mungkin meraihnya dengan jalan pintas. Beli ijazah, pesan skripsi pada orang lain atau “sarjana” tembak 6 bulan yang memperoleh gelar dari “perguruan tinggi kelas jauh” yang banyak memberikan gelar instan.

Kenalan saya itu toh akhirnya memang dapat gelar S1 dan berhak mencantumkan singkatan gelarnya sebagai tambahan di depan nama. Sama dengan sarjana-sarjana yang lain. Oh ya, dia seorang sarjana teknik sipil yang dapat gelar Insinyur lebih dari 20 tahun lalu dari Universitas Indonesia. Untuk penentuan tema dan judul skripsi sebagai bahan proposal yang disusunnya dulu, kenalan saya itu ternyata sudah menghabiskan sekitar 100 buah judul buku. Separuh jalan penyusuan skripsi, ia “menghabiskan” hampir 400 judul buku dan akhirnya 1000 lebih judul buku dan bahan referensi ia “lalap” untuk jadi sarjana.


Usia kenalan saya itu sekarang sudah kepala lima lebih. Saya tanya bagaimana bisa ia melahap sedemikian banyak buku dan bahan referensi untuk bahan skripsinya itu? Apa tidak sulit dan malah membingungkan? Saya saja saat menyusun skripsi S1, “cuma” menggunakan tidak lebih dari 100 buah buku pegangan dan referensi.

“Tidak,” jawabnya.

“Wah, itu hebat. Tapi anda bercanda kan?”, Tanya saya.

“Tidak”.

Untuk menjelaskan pertanyaan saya itu, ia kemudian menjelaskan soal kemampuan membaca dan menyerap isi buku. Menurutnya kemampuan membaca dan menyerap isi sebuah buku dari tiap orang berbeda-beda.

“ Iya kalau itu saya tahu” sela saya.

Benar, berapa kemampuan anda dalam menyerap bahan bacaan setiap menitnya?” tanyanya.

“Tergantung, karena saya sendiri sebenarnya tidak pernah menghitung kemampuan membaca dan menyerap isi bacaan,” jawab saya.

“Anda seharusnya harus tahu. dari sana anda baru bisa mengetahui kemampuan dan mengukur pola berpikir anda” ujarnya lagi.

“Saya mampu membaca dan menyerap isi bacaan lebih dari 100 kata per menit”, katanya.

Saya terdiam. Dalam beberapa tema bahan bacaan yang agak “berat”, saya malah perlu mengulang kata-kata yang sebenarnya sudah terlewat dibaca untuk menyerap maknanya. Apalagi jika itu bahan bacaan saduran atau terjemahan asal luar negeri. Sel-sel kelabu otak saya memang tidak terlalu tajam untuk mencerna berbagai bahan bacaan dengan begitu mudahnya seperti dia. Untuk menghabiskan satu judul buku saja misalnya. Sangat tergantung mood yang ada di kepala. Untuk urusan membaca, sebenarnya saya memang selalu membiasakan membaca “apa saja” setiap hari. Tapi, otak saya tidak bisa dipaksa untuk terus membaca sebuah tema jika isi kepala sedang tidak ingin. Yang terjadi, banyak buku di rumah yang baru saya baca separuh-separuh saja. Kadang bahkan sering, saya membeli buku untuk kemudian hanya sebagai penghias rak buku. Baru setelah sebulan dan kadang setengah tahun, buku itu saya buka dan baca. Tapi jika sedang ingin, saya juga betah semalaman memelototi halaman demi halaman hingga tuntas terbaca seluruhnya.

Saya tidak menyangkal ucapannya. Ia memang orang yang “gila” baca. Sampai sekarang pun saya pikir ia masih meneruskan hobinya itu. Tapi jujur saja, ia bukan orang yang rapi. Bukunya berserak dimana-mana di dalam rumah!!. Di meja ruang tamu, di meja kerja, ruang tengah hingga dapur!! Kebetulan memang tidak ada yang membantunya untuk membereskan buku-bukunya itu. kenalan saya itu memang masih seorang bujangan di usianya yang sudah menginjak kepala lima lebih. Jadi ia membereskan jika sedang sempat saja.

Hobi membaca, tidak hanya membuatnya jadi seorang yang expert di bidang sipil bangunan sesuai jurusan yang didalami saat kuliah. Tapi sudah melebar kemana-mana. Ia juga jago ilmu fengshui, hongshui termasuk tata letak dekorasi rumah (walau yang satu ini tidak benar-benar direalisasikan untuk rumahnya sendiri, pen). Dalam perjalanan hidupnya, ia juga seorang yang paham dalam ilmu ramal-meramal, pengobatan dan juga senang main kartu remi, terutama bridge. Ia menggabungkan seluruh ilmunya dalam penerapan sehari-hari!! Menurutnya (ini yang sampai sekarang tidak bisa saya pahami, pen), semua yang dipelajari punya benang merah keterkaitan satu sama lain: Matematika, terutama ilmu ukur ruang atau geometri!!. Untuk menjelaskan keterkaitannya, Ia harus menjelaskannya beberapa kali dengan hitungan-hitungan di atas kertas sampai saya mengangguk anggukkan kepala. Tapi, sampai sekarang sebenarnya saya tidak pernah mengerti. Terlalu rumit dan mbulet….

Kesenangannya yang lain adalah membaca dan mendalami berbagai kitab suci agama berikut buku-buku turunannya. Ia seorang Chinese. Agama yang dibawanya sejak kecil sebenarnya Nasrani. Tapi, jika sekarang ditanyakan apa kepercayaaannya, ia akan lebih banyak menjawab dengan senyum. Walau punya latar belakang Nasrani, ia cukup fasih saat membacakan surat pertama yang diturunkan pada nabi Muhammad SAW, Al Alaq berikut terjemahan artinya!! Ia juga cukup fasih menjelaskan konsep hidup Budha Gautama dan tujuan Nirwana dalam Wedha serta Hindu dengan Tripitaka-nya.

Oh ya, tentang status bujangan yang masih setia disandangnya, saya harus katakan hal itu juga tidak terlepas dari kegemarannya membaca. Selain hal-hal yang saya sebutkan tadi, kenalan saya itu punya ketertarikan tinggi terhadap komponen lain selain panca indera, yaitu indera keenam!! Saat berusia 30 tahun, ia bahkan sudah meramal tentang kematiannya sendiri di usia 33 tahun!!. Saat itulah ia memutuskan untuk tidak akan menikah karena hanya akan menimbulkan kesedihan bagi wanita yang akan jadi pasangan hidupnya. Pada kenyataannya, ia tidak meninggal. Ia mengaku hanya mengalami fase “hilang”. Usia 33 tahun menjadi titik awal lagi dalam fase hidupnya. Saking heran dan bingungnya, ia akhirnya memilih meninggalkan Indonesia dan menetap di Belanda selama beberapa tahun. Mendalami konsep lain tentang keyakinan…. Tapi, keputusannya untuk tidak menikah dan tetap hidup sendiri, tetap dijalaninya hingga sekarang ia memilih menetap di Batam. Ia juga masih setia dengan hobi membacanya.

Di kalangan beberapa anak jalanan, ia cukup dikenal. Sebutannya “ Bapak Hantu Sinterklas”. Ia sering datang tiba-tiba untuk mengunjungi anak-anak tersebut di jalanan, memberikan “sesuatu” yang membuat mereka senang kemudian pergi begitu saja. Begitu terus dari jalan ke jalan. Tapi tidak pernah diketahui kapan ia akan kembali datang lagi. Bisa pagi, siang, sore atau malam hari..

Dia salah satu orang unik yang pernah saya temui dan kenal. Saya tidak menyebut namanya di tulisan ini. Namun, jika suatu saat anda berkenalan dengan seorang pria usia 50-an tahun, memberikan sebuah kartu nama yang hanya mencantumkan nama dan kode DNA dirinya di satu sisi dan sebuah susunan kartu bridge yang terdiri dari : north – south –west – east di sisi yang lain, mungkin itu dia… (bintoro suryo)

Thursday, October 16, 2008

Metamorfosa Aktivis Jalanan


Ini baru kejutan. Tapi, kejutan yang membingungkan!! Minimal bagi saya yang awam politik. Satu kelompok “rekan” yang dulu satu visi, kini terpecah dan duduk berseberangan. Yang satu tetap sebagai “aktivis” yang dulu disebut “kiri” karena selalu bersuara vokal tentang ketidakadilan. Kelompok lainnya sudah mulai menjelma jadi “aktivis” yang lebih lembut dan cenderung “kanan” karena mulai bisa bertoleransi dengan iklim politik di Indonesia. Mereka bertemu dalam debat yang digelar sebuah stasiun tv.

Di satu sisi ada Sangap Surbakti – aktifis dan pendiri Forum Kota di era reformasi tahun 1998 lalu. Ada juga Yenny Rosa Damayanti – aktifis vokal di era 80-an yang tetap bersuara lantang sampai saat ini serta Henri Panjaitan – aktifitas mahasiswa di era reformasi yang sempat jadi korban penculikan aparat. Di sisi lainnya ada Budiman Sujatmiko – dedengkot Partai Rakyat Demokratik (PRD) yang dulu dikenal sangat “kiri”. Ada juga Dita Indah Sari – rekan Budiman sesama pendiri partai PRD. Satu lagi adalah Pius Lustrilanang – aktifis era reformasi yang juga sempat jadi korban penculikan.

Yang membedakan, Budiman kini sudah jadi Caleg nomor satu DPR RI dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Dita Indah Sari jadi Caleg untuk Partai Bintang Reformasi (PBR). Yang terakhir dan cukup mencengangkan adalah Pius Lustrilanang. Pius jadi Caleg untuk partai Gerindra. Partai yang didirikan oleh Prabowo Subianto, orang yang paling bertanggung jawab terhadap aksi penculikan yang dialaminya hampir 10 tahun lalu!! Para aktivis “kiri” itu sudah mulai bermetamorfosa untuk berubah jadi aktivis yang lebih “kanan”.

Debat yang digelar antara kelompok Yenny cs dengan kelompok Budiman cs di program Barometer-nya SCTV Rabu dini hari (16 oktober 2008) pukul 00.30 Wib, membuat saya yang sebenarnya sudah siap-siap untuk tidur jadi “segar” lagi. Sangap Surbakti, Yenny Rosa Damayanti dan Henri Panjaitan masih sama seperti beberapa tahun lalu. Tetap vokal, keras dan cenderung blak-blakkan. Sementara Budiman Sujatmiko, Dita Indah Sari dan Pius Lustrilanang sudah lebih santun. Cara bicaranya juga mulai seperti “Politikus Senayan”. Ada beberapa poin menarik yang saya tangkap dari acara debat itu.

Misalnya saja tentang sikap politik Budiman, Dita dan Pius yang memilih pindah dari politik jalanan ke politik parlemen. Hal itu mengundang kekhawatiran tersendiri bagi rekan-rekannya yang masih tetap setia di jalanan. Yenny, Sangap dan Henri khawatir dengan “ketulusan niat” rekan-rekannya itu untuk memberi warna baru dan melakukan perubahan dari dalam terhadap situasi politik nasional yang rasanya semakin tidak mendapat simpati rakyat. Sangap dan Yenny sepertinya juga ragu dengan kapabilitas Budiman cs saat ini. Bagaimana bisa seorang Budiman Sujatmiko yang dulu dikenal nasionalis kiri, bisa bergabung di partainya Megawati. Menurut mereka, walau mengaku sebagai partai nasionalis, PDIP merupakan partai yang sangat feodal. Budiman berada di partai itu juga bukan sebagai “apa-apa” selain Caleg untuk Pemilu 2009 nanti. Mereka menangkap ada nuansa kepentingan dan kekuasaan dalam diri Budiman saat ini. Budiman sendiri mengaku, ia bukan seperti caleg artis yang sekarang banyak diusung parpol-parpol. Ia punya visi untuk membawa perubahan, khususnya di Parlemen.

Tapi, sebuah pernyataan counter lanjutan dari Yenny dan Sangap Surbakti cukup menarik perhatian saya dalam acara itu. Menurut mereka, untuk melakukan sebuah perubahan, apalagi menyuarakan kebenaran secara utuh, tidak bisa hanya diperjuangkan di Parlemen. Tapi dari sumbernya, yakni parpol-parpolnya. Budiman harus “menguasai” PDIP. Tapi hal itu sepertinya akan sangat sulit dilakukan mengingat PDIP yang menurut mereka sangat feodal. Hanya ada dua opsi untuk Budiman. Jika ia memang benar tetap punya idealisme, ia akan terlempar keluar. Atau, ia akan larut dalam situasi politik yang pragmatis seperti sekarang.

Sementara Henri Panjaitan –si aktivis jalanan lainnya- menyoroti sepak terjang rekan seperjuangannya dulu, Pius Lustrilanang yang membuat manuver mengejutkan. Bergabung di partai orang yang dulu paling bertanggung jawab dalam insiden penculikannya, partai Gerindra pimpinan Letjend (purn) Prabowo Subianto. Prabowo sendiri adalah Danjend Kopassus saat peristiwa penculikan itu terjadi. Ini merupakan partai ketiga tempat Pius berlabuh. Sebelumnya ia juga sempat bergabung di PAN dan PDIP.

Pius yang sekarang sudah berubah jadi seorang pengusaha penyedia jasa keamanan hanya menjawab mengambang. Menurutnya, berada di dalam sistem politik sudah merupakan niatnya sejak dulu. Saat dulu ia bergerak di jalanan, ia yakin perubahan ke arah sistem politik Indonesia yang lebih baik dan demokratis adalah jika Soeharto lengser. Dan, itu sudah dilakukan melalui gerakan reformasi yang terjadi tahun 1998 lalu. Saat inilah merupakan waktunya untuk ikut di dalam bagian untuk menciptakan dan menggerakkan proses perubahan itu. Tapi, Pius sama sekali tidak mau menyinggung alasan mengapa ia bisa “berkolaborasi” dengan Prabowo dalam partai Gerindra.

Yang cuma kebagian sedikit sorotan dari rekan-rekannya, mungkin Dita Indah Sari. Rekan seperjuangan Budiman Sujatmiko di PRD dulu itu, cukup brilian meng-counter keragu-raguan rekan-rekannya di aktivis jalanan. Keputusan Dita bergabung di Partai Bintang Reformasi minim kritikan, walau agak dipertanyakan kelangsungan idealismenya. Masalahnya, wanita itu adalah penganut faham Lenin! Bagaimana bisa ia tetap dengan idealismenya dalam partai yang “hijau”?

Tapi kata Dita, yang penting visi dan platform perjuangannya sama. Policy (kebijakan) yang diterapkan oleh PBR menurut wanita itu juga mengakomodasi idealismenya. Dita mengaku sudah sejak tahun 1992 berada di jalanan.

Walau agak membingungkan, bagi saya manuver politik yang dilakukan Budiman, Dita dan Pius dengan bermetamorfosa dan jadi bagian parpol di dalam system politik Indonesia adalah sebuah Pilihan. Sama halnya dengan apa yang tetap dijalani dan diyakini oleh Sangap Surbakti, Yenny Rosa Damayanti dan Henri Panjaitan.

Saya sendiri sebenarnya lebih condong berpihak pada Sangap, Yenny dan Henri. Untuk membuat sebuah perubahan besar, terutama dalam system perpolitikan Indonesia saat ini, memang akan sangat sulit sekali dilakukan. Misalnya hanya dengan menjadi legislator perwakilan parpol. Karena masalah sebenarnya terletak di parpol-parpol itu sendiri. Iklim pragmatis-nya terlalu kental. Saya juga ragu, “orang-orang baru” seperti Budiman, Dita dan Pius bias berkiprah bebas dalam parpol barunya sesuai idealisme yang mereka bawa sebelum ini. Tidak semudah itu. Ingat, jumlah parpol di Indonesia saat ini yang terdaftar di pemilu 2009 saja mencapai puluhan. Ada 38 parpol yang berkiprah mencari simpati rakyat!

Kondisi politik Indonesia saat ini mungkin bisa dimisalkan seperti sebuah sungai yang tercemar kotoran minyak. Kotorannya terus mengalir hingga ke hilir dan hampir bermuara ke laut. Sulit sekali jika harus membersihkan kotoran tersebut di sisi hilirnya karena kotoran serupa terus ada dan mengalir dari arah hulu. Cara terbaiknya adalah datang ke hulu dan membersihkan kotoran itu di sana. Memang bukan hal yang gampang. Kita harus jadi “penguasanya” di hulu sehingga bisa memberi arahan untuk mebersihkan kotoran minyak yang terus tumpah di sana. Ini tidak gampang. Tapi percayalah, akan lebih efektif begitu sehingga akhirnya keluaran air di hulu bisa jernih mengalir hingga hilir dan akhirnya bermuara di laut.

Fenomena aktivis jalanan yang bermetamorfosa jadi aktivis parlemen, seingat saya juga bukan hal yang baru dan hanya dilakukan Budiman cs saat ini saja.Jauh tahun sebelumnya, ada Akbar Tanjung cs di angkatan 66 yang kemudian sukses jadi birokrat dan politikus parlemen. Ada juga Rizal Ramli cs di dekade 70-an yang sempat aktif di salah satu parpol yang sempat ditentangnya dan bahkan jadi menteri!! Taufik Kiemas merupakan nama lainnya. Yang agak lebih muda lagi mungkin Trimedya Panjaitan. Aktivis di jalanan yang sudah berubah nasib jadi politikus Senayan dari partai PDIP. Tentang bagaimana mereka setelah bermetamorfosa, apakah mereka tetap konsisten memperjuangkan kepentingan rakyat banyak seperti halnya saat di jalanan, anda sendiri sajalah yang menilai masing-masing. (bintoro suryo)

Menanam Bibit untuk Masa Depan

Saya kagum dengan cara beberapa orang Jepang mengajari anak mereka untuk cinta lingkungan. Terutama hutan bakau atau Mangrove yang di kalangan internasional sudah begitu dikenal sebagai salah satu penghasil oksigen yang penting untuk kehidupan. Bukan karena jauhnya jarak perjalanan untuk mendatangi salah satu negara dengan lokasi hutan bakau terluas di dunia, yaitu Indonesia. Tapi karena upaya gigih mereka yang berusaha mengenalkan langsung habitat lingkungan tersebut yang masih alami, menjelaskan fungsinya bagi kehidupan serta dampaknya jika hutan bakau makin menyusut atau punah. Dan yang terakhir, mereka mengajari cara bagaimana membuat hutan bakau untuk tetap bisa lestari dengan cara menanamnya kembali.

Juni 2008 lalu, saya ikut dalam kegiatan puluhan warga negara Jepang yang tergabung dalam program Project Mangrove in Indonesia. Misinya adalah penyelamatan hutan bakau di negara kantong-kantong habitat-nya. Salah satunya adalah Indonesia yang memiliki garis pantai terpanjang yang ditumbuhi hutan bakau. Sebuah data yang dimiliki kelompok itu menyebut panjang hutan bakau di Indonesia mencapai 90 ribu kilometer dan menjadi yang terpanjang pertama di dunia! Tapi sayang, hanya sekitar 30 persennya saja yang masih utuh. Sisanya, kalau tidak kena proyek reklamasi pantai, ya habis dibabat untuk bahan produksi.


Misi yang dibawa mereka adalah misi sosial untuk lingkungan hidup. Soal dana mungkin tidak menjadi masalah karena rata-rata yang tergabung dalam proyek itu merupakan pengusaha kelas menengah hingga atas di negara itu.. Yang jadi masalah mungkin hanya soal waktu. Makanya tidak heran, mereka baru bergerak saat musim liburan. Karena selain kalangan dewasa, mereka juga membawa serta anak-anaknya. Beberapa yang lain malah mengikutsertakan orang tua mereka yang sudah renta.

Akira Yamamoto, pria Jepang yang jadi pimpinan rombongan dalam proyek ini mengaku kegiatan sosial lingkungan yang dilakukan bersama puluhan rekan dan kerabatnya itu, awalnya dilandasi rasa prihatin terhadap kondisi lingkungan hutan bakau di Indonesia. Akira mengaku sering bolak-balik Tokyo - Singapura – Jakarta untuk urusan usahanya. Dalam setiap perjalanan dari Singapura menuju Jakarta, ia sering melihat gugusan pulau-pulau yang sudah jarang ditumbuhi tanaman Mangrove. Di lokasi yang lain, ia malah melihat hutan bakau yang dibabat habis untuk kepentingan reklamasi industri. Padahal dari struktur tanah, daerah ini sangat cocok dan menjadi habitat hidup yang paling baik dari tanaman bakau. Selama ini, selain sebagai usahawan, Akira juga cukup aktif dalam kegiatan yang berhubungan dengan kelestarian lingkungan. Dari hasil risetnya ia mempertoleh data. Ternyata bukan di wilayah Kepri saja yang kondisi hutan bakaunya memprihatinkan. Tapi di seluruh Indonesia. Dari total jumlah area hutan bakau yang dimiliki negara ini, hanya bersisa 30 persen saja yang masih perawan dan belum dijamah. Padahal, hutan di Indonesia termasuk hutan bakau merupakan penyumbang terbesar oksigen untuk dunia selain di Amerika Latin yang juga masih punya banyak hutan perawan.

Di Indonesia, kegiatan kelompok ini dikoordinir oleh seorang Jepang yang sudah cukup lama tinggal di Indonesia dan juga lumayan fasih berbahasa kita. Namanya Naoto Okune. Okune mengelola lembaga internasional YL Invest dan fokus terhadap kelestarian dan keberadaan hutan-hutan bakau di beberapa propinsi Indonesia. Kerjasama yang dilakukan dengan beberapa pemerintah daerah adalah dengan sistem pinjam kelola lahan. Maksudnya, YL Invest mendapat alokasi lahan pantai untuk ditanami bibit bakau dari pemerintah setempat. Tenggang waktunya 30 tahun. Dalam waktu itu, mereka akan menanam, merawat hingga akhirnya lahan yang diberikan berubah jadi hutan bakau yang siap diserahkan kembali ke pemerintah daerah setempat untuk dilestarikan. Tidak ada dana yang harus dikeluarkan pemerintah daerah. Seluruhnya menjadi tanggungan lembaga itu yang mendapat kucuran bantuan dana dari sejumlah badan dunia dan donator yang peduli dengan kelestarian lingkungan hidup. Kata Okune, proyeknya itu adalah untuk kelangsungan hidup anak cucu masyarakat dunia yang saat ini sudah dibayangi ketaakutan tentang pemanasan global (global warming), menipisnya lapisan ozon serta berkurangnya produksi oksigen untuk dunia.

Karena rombongan “Project Mangrove in Indonesia” difasilitasi Okune, maka tidak heran yang jadi tujuan aksi sosial lingkungan kelompok itu adalah area yang jadi tanggung jawab YL Invest untuk dikelola jadi hutan bakau. Salah satu yang jadi tujuan mereka adalah sebuah pulau kosong yang bisa ditempuh dengan perjalanan laut menggunakan perahu bermesin tempel dari daerah Dapur 3 pulau Rempang di propinsi Kepri. Jarak tempuhnya cuma 20 menit saja. Tidak banyak persiapan yang dilakukan karena rata-rata mereka sudah mempersiapkan jauh-jauh hari sebelumnya. Termasuk juga sepatu khusus untuk berjalan-jalan di tanah berlumpur. Bentuknya lucu dan memiliki leher sepatu yang panjang hingga lewat di atas mata kaki. Sangat efisien untuk dipakai dan dapat menghindarkan kaki dari menginjak karang tajam atau hewan laut seperti ikan lepu yang memiliki bisa mematikan. Hampir seluruh anggota rombongan ternyata sudah mempersiapkannya untuk digunakan saat berada di lapangan. Sementara saya bersama beberapa rekan lainnya yang Indonesia, harus mau bertelanjang kaki saja karena tidak punya sepatu yang begitu. Tapi, itu bukan masalah. Saya toh sudah cukup terbiasa berjalan-jalan di tanah berlumpur sebelumnya.

Oh ya, dalam kelompok “Project Mangrove In Indonesia”, saya mengklasifikasikan pesertanya sebagai berikut :

Pertama, adalah kelompok dewasa usia produktif. Mereka inilah yang jadi anggota aktif rombongan dan tentunya yang memiliki inisiatif untuk melakukan perjalanan sosial lingkungan penyelamatan hutan bakau di Indonesia. Pandangan mereka tentang kelestarian lingkungan juga sudah lebih maju. Mereka menilai, tetap lestarinya hutan bakau di Indonesia, tidak hanya menguntungkan warga negara Indonesia saja. Tapi juga warga dunia, termasuk Jepang Hutan di Indonesia khususnya mangrove merupakan salah satu sumber produksi oksigen untuk dunia yang harus dipertahankan.

Kedua, adalah kelompok dewasa usia senja. Mereka ikut dalam rombongan karena hubungan keluarga dengan kelompok pertama. Kelompok kedua ini juga punya minat yang tinggi terhadap lingkungan karena dasar kecintaan..

Ketiga, adalah kelompok anak-anak. Saya menilai, mereka ikut dalam rombongan karena ingin sekedar jalan-jalan. Tapi, penjelasan dan pengertian yang diberikan masing-masing orang tua tentang kelestarian lingkungan cukup menjadi hal yang mujarab untuk membuat mereka tetap bersemangat. Ya bersemangat. Saya memang melihat anak-anak Jepang yang bersemangat untuk ikut kegiatan ini.

Kami akhirnya sampai di sebuah pulau kosong tanpa penghuni yang berjarak 20 menit perjalanan laut dari pelantar di Dapur 3 pulau Rempang. Sebagian besarnya sudah tertutup dengan tanaman bakau. Tapi, masih ada beberapa puluh hektar lagi yang masih berupa tanah lumpur kosong. Di sini, saya melihat orang-orang tua Jepang yang senang bisa mengenalkan lingkungan yang berbeda dari lingkungan sehari-harinya yang sangat megapolitan pada anak-anak mereka. Mereka juga antusias mengenalkan tentang habitat hidup tanaman bakau Indonesia pada anak-anaknya, membimbing, menjelaskan fungsi dan juga dampak jika tanaman bakau hilang atau punah dari bumi.

Di tanah berlumpur dengan sinar matahari yang menyengat terik, saya jadi senyum-senyum sendiri saat melihat mereka. Entah sadar atau tidak, saya mulai membanding-bandingkannya dengan gaya beberapa rekan yang juga punya anak hampir sebaya. Saya tidak menyalahkan mereka yang lebih senang mengenalkan budaya berbau glamour dan secara tidak langsung mengajarkan anak-anaknya berpola hidup konsumtif dengan sering mengajak anak-anak berwisata di mall. Mungkin mereka punya alasan sendiri melakukan hal-hal seperti itu. Tapi, saya punya angan-angan untuk membawa anak saya pergi ke tempat-tempat seperti ini, kelak. Mengenalkannya sejak dini dengan lingkungan dan mengajari cara mencintainya…. Saya merasa dapat pelajaran berharga dengan ikut rombongan orang Jepang ini.

Oh ya, dalam perjalanan ini, rombongan kami juga membawa ratusan bahkan mungkin ribuan bibit tanaman bakau untuk ditanam. Bibitnya kami dapatkan dari hasil budidaya para nelayan di sekitar lokasi. Para nelayan senang karena kami ikut membantu mereka melestarikan tanaman-tanaman bakau di sekitar perairan itu.. Bila tanaman-tanaman bakau kembali lebat, mereka berharap hasil tangkapan di laut akan kembali berlipat. Jika tidak untuk saat ini, mungkin nanti untuk anak cucu di masa mendatang. Orang-orang Jepang itu juga senang karena mereka sudah punya andil untuk menjaga dan berusaha melestarikan tanaman penghasil oksigen itu tetap bisa berproduksi cukup. Kalaupun kemungkinan terburuk tentang pemanasan global dan kemungkinan pengurangan jumlah oksigen di dunia benar-benar terjadi, mereka tetap punya harapan tanaman-tanaman bakau yang mereka tanam ini bisa punya andil untuk memberi suplai oksigen ke negaranya. Untuk mereka, untuk anak cucu mereka….

Semuanya memang masih sekedar harapan. Tapi, harapan yang disertai usaha akan lebih baik daripada hanya berpangku tangan. Saya sendiri tidak bisa membayangkan jika bibit tanaman-tanaman itu ternyata tidak bisa tumbuh dan jumlah hutan bakau semakin menyusut. Di lain pihak, kondisi bumi semakin tidak nyaman untuk didiami. Kelak anak dan cucu harus hidup dengan tabung-tabung oksigen yang dibeli untuk tetap bisa bertahan hidup. Tapi mudah-mudahan bukan begitu ending-nya. (bintoro suryo)

Wednesday, October 15, 2008

Menikmati hidup


Cara paling “murah” untuk tetap bisa tersenyum dalam hidup adalah berusaha menikmatinya. Menjadi seseorang yang menikmati saja hidup yang dijalani sekarang. Bukan yang masa lalu atau masa akan datang.

Seorang rekan asal Bali memberi saya pelajaran tentang ini. Usianya 2 tahun di bawah saya. Ia anak petani. Pertama mengenalnya, saya langsung menebak ia adalah orang yang murah senyum, bersahabat, easy going. Sembilan tahun lalu, ia masih mahasiswa semester awal di jurusan teknik mesin. Sementara saya sudah di tingkat akhir. Katanya, ia beberapa kali pernah tidak naik kelas sehingga jarak kuliah antara kami jadi lumayan jauh. Kami jadi dekat karena punya kesenangan sama, manjat. Kami sama-sama suka mengunjungi tebing-tebing baru untuk dipanjati. Rasanya ada kepuasan jika berhasil sampai ke puncaknya atau berhasil menyelesaikan sebuah jalur baru yang kami temui.

Karena lebih muda dari saya, ia sering diminta mengalah. “orang muda harus mengalah dari yang tua” begitu kata saya. Beberapa kali atau bahkan sering, ia saya paksa untuk mengalah. Membawa ransel berisi tali dan peralatan memanjat yang beratnya bisa membuat orang sekarat atau saya beri tugas memasak makanan saat kami melakukan latihan atau ekspedisi pemanjatan. Ia selalu melakukannya dengan senang hati sambil tersenyum, tersenyum dan selalu tersenyum….

Dalam beberapa kali perjalanan bersama, saya sering mendapatinya berjalan sangat lamban. Bukan karena beban tas ransel yang disandang, karena saya pikir ia justru menikmatinya! Dalam setiap langkah kaki yang digerakkan, ia juga selalu menikmati setiap pemandangan yang tersapu oleh pandangan matanya. Walau kadang kesal, gayanya itu cukup membuat saya merasa nyaman. Jika ternyata kami berjalan di jalur yang salah. ia cukup hapal untuk kembali ke jalur semua.

Menjelang akhir waktu kuliah, saya ingat sebuah janji yang pernah saya sampaikan padanya. Membawanya untuk bersama-sama melakukan ekspedisi pemanjatan di tebing besar yang memiliki ketinggian 300 meter ke atas. Pilihan kami adalah tebing gunung batu Sriti yang ada di kabupaten Tulungagung. Tingginya sekitar 400 meter dpl (di atas permukaan laut). Untuk membawa logistik dan peralatan memanjat yang lumayan banyak, kami nekad saja menggunakan mobil kampus. Dan lagi-lagi, rekan saya itu juga merangkap sebagai porter yang pembawa logistik dan perangkat pemanjatan kami dari desa terakhir menuju sisi tebing, pergi dan pulang! Ia tetap melakukannya dengan tersenyum…

Pemanjatan hingga puncak berhasil diselesaikan dalam waktu tiga hari. Tapi ternyata, ini bukan akhir dari ekspedisi yang kami lakukan saat itu. Begitu selesai, kami mendapat kabar tentang mahasiswa hilang di gunung Argopuro, kabupaten Probolinggo. Sebagai volunteer, kami diminta bergabung dengan puluhan bahkan ratusan volunteer lain yang juga sudah menuju lokasi. Jarak Tulungagung – Probolinggo bisa ditempuh dalam waktu enam hingga delapan jam. Dalam kondisi separuh kelelahan, kami segera meluncur menuju lokasi dan langsung bergabung dengan volunteer lainnya untuk melakukan pencarian di gunung Argopuro.

Teman saya itu memiliki badan yang besar dan kekar. Ia langsung difungsikan sebagai pionner untuk membuka jalur baru pendakian dengan memilih rute yang kemungkinan dilalui para mahasiwa yang hilang tersebut. Sehari dua hari menempuh rute pencarian, rasa kelelahan benar-benar mendera. Belum lagi hujan yang terus menerus turun sehingga menghambat perjalanan kami. Saya lihat rekan saya itu sudah demikian kelelahan berada di kelompok depan. Dalam satu kesempatan, ia akhirnya merebahkan diri di tanah mendaki yang basah. Ia didera kelelahan yang sangat . Saya menghampirinya dan mencoba menyapa :
“capek?”

Sebelum menjawab, lagi-lagi ia tersenyum :
“Dinikmati saja, mas”.

“Wah,.. dalam kondisi begini kamu masih bisa menikmatinya? Tanya saya penasaran.

“Kita akan tetap melalui ini mas, kalau tidak dinikmati, nanti akan terasa semakin berat” ujarnya, lagi-lagi sambil tersenyum. Padahal, wajahnya sudah basah terguyur air hujan yang terus turun. Sementara bibirnya sudah mulai pucat karena kedinginan. Saya diam saja. Harus saya akui, dia benar.

Bertahun-tahun setelah itu, saya tetap ingat kata-katanya. Menurut saya, ia benar-benar orang yang easy going. Bagi sebagian orang mungkin dianggap sebagai orang yang lamban dan hanya mengalir karena terlalu menikmatinya. Dari salah satu artikel yang saya baca tentang perlunya kita menikmati apa yang sedang kita jalani sekarang, rekan saya itu mungkin bisa saya masukkan sebagai seorang yang cenderung be present… Maksudnya orang yang menjalani saja hidup yang sekarang. Bukan di masa lalu atau di masa yang akan datang. Ia menikmati apa yang ia jalani.

Soal cara menikmati hidup, saya juga tertarik dengan cerita yang pernah saya baca tentang kisah dua anak laki-laki, Bob dan Bib. Begini ceritanya :

Ada dua anak, namanya Bob dan Bib. Mereka sedang melewati lembah permen Lolipop. Di tengah lembah, terdapat jalan setapak yang beraspal. Di jalan itulah Bob dan Bib berjalan kaki bersama. Uniknya, di kiri-kanan jalan lembah itu terdapat banyak permen lolipop warni-warni dengan aneka rasa. Permen-permen yang terlihat seperti berbaris itu, seakan menunggu tangan-tangan kecil Bob dan Bib untuk mengambil dan menikmati kelezatan mereka.

Bob sangat kegirangan melihat banyaknya permen lolipop yang bisa diambil. Ia sibuk mengumpulkan permen-permen tersebut, mempercepat jalannya agar bisa mengambil permen lolipop lainnya yang terlihat sangat banyak di depannya. Bob mengumpulkan sangat banyak permen lollipop yang ia simpan di dalam tas karungnya. Ia sibuk mengumpulkan permen-permen tersebut tapi sepertinya permen-permen tersebut tidak pernah habis. Ia memacu langkahnya supaya bisa mengambil semua permen yang
dilihatnya.

Tanpa terasa Bob sampai di ujung jalan lembah permen lolipop. Dia melihat gerbang bertuliskan "Selamat Jalan". Itulah batas akhir lembah permen lolipop. Di ujung jalan, Bob bertemu seorang lelaki penduduk sekitar. Lelaki itu bertanya pada Bob,

"Bagaimana perjalanan kamu di lembah permen lolipop? Apakah permen-permennya lezat? Apakah kamu mencoba yang rasa jeruk? Itu rasa yang paling disenangi. Atau kamu lebih menyukai rasa mangga? Itu juga sangat lezat."

Bob terdiam mendengar pertanyaan lelaki tadi. Ia merasa sangat lelah dan kehilangan tenaga. Ia telah berjalan sangat cepat dan membawa begitu banyak permen lolipop yang terasa berat di dalam tas karungnya. Tapi ada satu hal yang membuatnya merasa terkejut dan ia pun menjawab pertanyaan lelaki itu,

"Permennya saya lupa makan!"

Tak berapa lama kemudian, Bib sampai di ujung jalan lembah permen lolipop.

"Hai, Bob! cepat sekali jalannya. Saya panggil-panggil, tapi kamu sudah sangat jauh di depan."

"Kenapa kamu memanggil saya?" Tanya Bob.

"Saya ingin mengajak kamu duduk dan makan permen anggur bersama. Rasanya lezat sekali. Saya juga menikmati pemandangan lembah, Indah sekali!" Bib bercerita panjang lebar pada Bob.

“Lalu tadi ada seorang kakek tua yang sangat kelelahan. Saya temani dia berjalan. Saya beri dia beberapa permen yang ada di tas saya. Kami makan bersama dan dia banyak menceritakan hal-hal yang lucu. Kami tertawa bersama." Bib menambahkan.

Mendengar cerita Bib, Bob menyadari betapa banyak hal yang telah ia lewatkan dari lembah permen lolipop yg sangat indah. Ia terlalu sibuk mengumpulkan permen-permen itu. Ia juga sampai lupa memakannya dan tidak punya waktu untuk menikmati kelezatannya.

Di akhir perjalanan mereka di lembah permen lolipop, Bob menyadari suatu hal dan ia bergumam kepada dirinya sendiri, "Perjalanan ini bukan tentang berapa banyak permen yang telah saya kumpulkan. Tapi tentang bagaimana saya menikmatinya dengan berbagi dan berbahagia."

Bob berkata dalam hati :
"Waktu tidak bisa diputar kembali. Perjalanan di lembah lolipop sudah berlalu dan saya pun harus melanjutkan kembali perjalanannya.

Dalam kehidupan kita, banyak hal yang ternyata kita lewati begitu saja. Kita lupa untuk berhenti sejenak dan menikmati kebahagiaan hidup. Kita menjadi Bob di lembah permen lolipop yang sibuk mengumpulkan permen tapi lupa untuk menikmatinya dan menjadi bahagia.

Saya tidak mengatakan cara yang dilakukan Bib adalah yang terbaik dalam menjalani hidup. Tapi saya dapat nilai positif ; Hidup akan terasa lebih indah jika kita bisa menikmatinya.. Dalam hidup, kewajiban kita kadang lebih banyak dari waktu yang dimiliki. Hidup juga terlalu pendek untuk mengejar semua impian-impian yang kita punya. Sementara waktu yang terlampau sempit itu, juga tidak bisa memuaskan kita untuk pantas disebut sebagai “orang baik” oleh semua orang. (bintoro suryo)

Contact person : noe_saja@yahoo.co.id

Saturday, October 11, 2008

'Senam Otak' Ketika Akan Belajar atau Bekerja

Mata yang suka mengantuk saat membaca atau suka stress menghadapi pekerjaan. Itu bisa hilang dengan senam otak. Senam Otak tidak butuh tenaga besar. 7 gerakan melibatkan pancaindra. Gunanya untuk meningkatkan konsentrasi dan kemampuan panca indra.

Di Batam, senam otak atau ‘brain gym’ masih terdengar asing di kalangan masyarakat biasa. Tapi tidak demikian bagi anak-anak peserta kursus sempoa. Senam otak sangat dikenal di kalangan mereka. Pasalnya, setiap akan belajar sempoa, mereka wajib ikut senam otak.

Salah satunya di Sempoa Gading Mas Education Centre di jalan Raden Patah dekat SDN 04 Baloi. Anak-anak yang ambil kursus sempoa disana sudah hapal betul setiap gerakan Senam Otak. Yaitu gerakan zaklar otak, gerakan silang, Cook’s Hoop Ups, burung hantu, pasang telinga, delapan tidur, dan gerakan titik positif. Seperti terlihat siang itu, saat jam menunjukan pukul 14.00 WIB. Anak-anak yang akan mulai belajar sempoa ramai-ramai mengikuti senam otak.

Setelah berkumpul di ruangan belajar, mereka langsung ambil posisi siap siaga melakukan senam otak. Mereka langsung berjajar dan mengambil jarak satu sama lainnya. Tak lama setelah itu, guru sempoa, Maria Safriana langsung memberi aba-aba untuk mulai Senam Otak. ” Zaklar otak(gerakan pertama Senam Otak-rd). ” tutur Maria pada anak-anak.

Saat itu, anak-anak langsung memijat saklar otak(dada-red)dengan jari dan telunjuk. Saklar otak berada pada bagian lembut dibawah tulang belikat. Sementara itu bolamata secara perlahan ke kiri dan ke kanan bolak-balik. Tangan yang satunya lagi diletakan pada daerah pusar, cukup disentuh dengan jari telunjuk dan tengah. Lidah diletakan dilangit-langit atas tepat berada dibelakang gigi seri atas, lalu pikirkan yang manis dan indah.

”Tarik napas, pikirkan hal-hal yang menyenangkan” lanjut Maria. Salah satu peserta kursus sempoa bernama Cici (7) langsung menyahutinya ”Makan ice cream, kentucky,” kata Cici terlihat menghayati gerakan senam otak.

Usai melakukan gerakan Saklar Otak, gerakan selanjutnya adalah gerakan silang. Yaitu tangan kanan menyentuh lutut kiri sambil bergantian. Sembari itu, mata memandang sekeliling agar terasa lebih santai serta membangkitkan energi pada mata. ”Ituloh, kadang mata suka mengantuk saat membaca. Itu bisa hilang dengan senam otak,” kata Maria.

Menurut Maria, belajar sempoa sama artinya melihat angka-angka yang jumlahnya bisa ratusan. Disitulah pentingnya melatih mata dan konsentrasi. Selain gerakan saklar otak, gerakan lainnya adalah Cook’s Hook Ups. Gerakannya duduk dikursi, silangkan kaki dan tangan. Dengan mata buka tutup, tarik nafas dalam dengan hidung dan lidah menyentuh langit-langit atas. ”Usai itu lenturkan lidah sambil menghembuskan nafas melalui mulut,” tambah Maria.

Ada juga grakan burung hantu, pasang telinga dan gerakan 8(delapan) tidur serta titik positif . Gerakan pasang telinga cukup menggunakan jempol dan jari telunjuk memijit dan menarik keluar membuka lipatan daun telinga dari atas ke bawah 3 atau 4 kali.
”Pasang telinga ini menstimulasi dan reflek mengaktifkan pendengaran dan perhatian. Dengan cara ini perhatian meningkat, kemampuan mendengar dan berbicara ditingkatkan,” katanya.

Untuk gerakan delapan tidur adalah menulis angka delapan dengan jari jempol di udara, dengan bola mata mengikuti gerakan jempol yang membentuk angka delapan. Sementara kepala tidak boleh bergerak. Yang juga bagian dari Senam Otak adalah gerakan titik positif. Gerakannya juga cukup mudah yaitu menyentuh titik positif yang ada di dahi dengan jari-jari tangan dan kiri . ”Sentuhlah titik positif ini bila dalam keadaan cemas, dengan demikian kita bisa lebih santai,” katanya.

Maria menuturkan gerakan titik positif bisa mengurangi stress dan ketegangan juga bisa membantu dalam emmbuat keputusan yang objektif. ”Senam otak sebenarnya tidak hanya untuk anak-anak. Bisa juga dilakukan oleh orang dewasa, termasuk mereka yang sibuk dengan pekerjaan. Bisa hilangkan stress dan ketegangan,” tambahnya. (andriani susilawati)

Cantik Pakai Batik

Kebaya encim warna putih polos dipadukan dengan kain batik Cirebon warna biru langit. Tampak cantik membentuk siluet tubuh pemakainya. Kebaya dari bahan brukat perancis warna merah marun dipadu padankan dengan batik pekalongan warna serasi. Terkesan anggun. Pesona keibuan-pun kian menonjol dengan batik warna merah marun ini.

Biarpun kini begitu banyak pilihan busana asal negeri sebrang. Batik masih melekat sebagai busana pilihan masyarakat kita. Termasuk kaum perempuan, untuk acara-acara tertentu mereka tetap memilih batik sebagai busana pilihan terbaiknya. Utamanya saat pergi ke acara resmi nasional seperti pernikahan atau acara lain yang dianggap penting

Memang batik sudah menjadi bagian dari busana kita. Malah seiring dengan makin memasyarakatnya batik di tengah-tengah masyarakat. Busana batik jadi kian melebar fungsinya. Busana batik tak hanya dipakai ke acara formal yang dianggap penting saja. Namun dikenakan dalam aktifitas keseharian. Tentu untuk keseharian mesti dipilih busana batik yang dirancang sebagai busana kasual.

Untuk pergi ke acara - acara seperti pernikahan atau undangan penting. Kaum perempuan tak akan kehabisan motif. Motif batik sangat banyak pilihan. Dari batik Solo, Pekalongan hingga batik Cirebon. Jangan takut juga bakal sama dengan orang lain. ''Motif - motif batik biasanya dibuat eksklusif. Masing-masing motif batik hanya tersedia satu atau dua saja,'' ujar Indah, Pemilik Rumah Batik dan Tenun di Kepodang Raya No-14 Kurnia Djaja Alam.

Untuk batik Pekalongan, Yogyakarta dan Solo mungkin sebagian besar dari kita sudah tak asing lagi. MOtif batiknya lebih didominasi dengan warna-warna gelap seperti warna cokelat dan hitam. Hanya saja para perancangnya kini banyak memadukan batik Pekalongan, Yogyakarta dan Solo dengan tambahan payed dan manik-manik.

Seperti tampak batik Pekalongan warna merah marun. Tak hanya eksklusif karena batiknya merupakan batik alat tenun bukan mesin(ATBM), tapi lantaran dipercantik dengan payed warna serasi yaitu warna merah marun. Sama halnya dengan batik asal pekalongan dan Solo, batik Cirebon yang juga dihadirkan di Rumah Batik dan Tenun juga punya ciri khas. ''Batik Cirebon didominasi dengan warna-warna cerah,'' ujar Indah.

Indah menuturkan batik Cirebon memiliki motif yang lebih bebas. Hal itu sebagai gambaran dari kehidupan masyarakat Cirebon itu sendiri. Dari sisi geografisnya, Cirebon adalah daerah pantai. Lantaran itu pula, batik Cirebon sering dibilang batik motif pesisiran. Pilihan warna relatif bervariasi seperti warna hijau muda, pastel, merah, merah muda dan biru langit. Juga motifnya yang juga beragam tumbuhan, daun dan bunga. ''Bila diperhatikan lagi, ukuran daun dan bunganya lebih besar,'' kata Indah.

Pergi ke sebuah acara penting pakai batik memang terasa ada yang kurang kalau tanpa selendang. Indah menuturkan selendang biasanya dipasangkan dengan batik. Motif selendang mesti dipilih motif yang sama dengan busana batiknya. Batik Pekalongan payed atau Cirebon ATBM memang harganya relatif mahal. Rata-rata sarung batik dan selendangnya dipatok mulai Rp450 ribuan. (andriani susilawati)



Tips Merawat Batik
- Mencuci kain batik dengan menggunakan sampho rambut atau sabun mandi
- Boleh juga mencuci kain batik dengan sabun khusus yang dijual di pasaran
- Jangan dicuci dengan menggunakan mesin cuci
- Cucilah dengan cara manual menggunakan tangan
- Biar warna tidak pudar, jangan dijemur langsung terkena sinar matahari
- Saat dibilas atau selesai dicuci jangan diperas
- Usai kering simpan dengan cara digantung
- Jangan disimpan dalam keadaan dilipat


Thursday, October 2, 2008

Kukup : Pintu Perlintasan Tradisional

Dari sejak dulu sekali saat belum ada pemisah antar negara, daerah ini sudah jadi pintu perlintasan masyarakat yang tinggal di wilayah Riau dan Semenanjung Malaya. Sekarang, wilayah sekelas kota kecamatan di Indonesia itu, tetap jadi pintu perlintasan yang efektif karena letaknya yang strategis. Tapi, pola perlintasannya cenderung tetap tradisional dalam artian secara ilegal. No passport and no fiscal… Oh ya, satu lagi yang unik ; poster-poster “artis lokal etnis keturunan yang siap melayani anda” tersebar bebas di dinding-dinding ruko tua dan rumah-rumah makan di sana!

Walaupun belum berkembang menjadi kota yang memadai sesuai perkembangan zaman, letak daerah ini strategis di lintas batas Indonesia Malaysia. Kota Kukup, walau kecil tapi sering digunakan sebagai tempat perlintasan awal baik barang maupun manusia antar negara bertetangga. Letaknya persis berada di pesisir selat Malaka dan berjarak setengah jam-an saja dari pulau Karimun kecil di wilayah Kepri.


Sejak zaman dulu kota kecil Kukup sering jadi pintu perlintasan yang efektif. Tapi, kota kecil itu memang tidak familiar bagi para wisatawan. Kecuali bagi mereka yang memang punya agenda plesiran ke daerah-daerah terpencil atau bagi seorang backpacker (ini cuma istilah saya untuk orang yang gemar bepergian runtang runtung ke berbagai daerah dengan memanfaatkan modal seadanya, pen).

Tidak ada yang terlalu istimewa dengan kota kecil ini. Jika anda pernah singgah ke Tanjung Uban di utara Bintan, ya mungkin bisa dimirip-miripkan-lah. Etnis aslinya juga sama, Melayu. Tapi jangan heran, di Kukup perbandingan antara etnis asli dan pendatang hampir berbanding rata. Etnis pendatang terbanyak adalah kaum Tionghoa. Di hampir setiap bidang kehidupan di sana, etnis Tionghoa cukup mendominasi.



Yang pribumi banyak mengandalkan mata pencarian dari hasil laut. Di sepanjang perairan menuju kota Kukup dari laut, banyak berjejer kelong-kelong dan usaha keramba milik masyarakat di sana. Sebagian lainnya ada yang memilih jadi buruh pelabuhan, supir taksi atau berdagang kecil-kecilan. Yang etnis keturunan, banyak menempati posisi sebagai toke usaha atau juragan toko.

Tapi kalau bicara ekonomi walau cuma kota kecil, warga kota ini punya tingkat kehidupan yang lebih baik dibanding warga kota kecamatan kecil lain seukurannya di Indonesia. Barometer yang saya ambil gampang saja. Di Kukup, tidak sulit menemui kendaraan-kendaraan mewah keluaran baru. Sedan sekelas Mercy saja, malah digunakan untuk kendaraan angkutan taksi. Sementara untuk kendaraan pribadi, warga di sana ternyata masih cukup bangga menggunakan mobil nasional mereka : Proton.




Kota kecil Kukup hanya berjarak 20 kilometer dari kota Pontian dan 30 kilometer dari Johor Bahru. Semuanya bisa ditempuh dengan perjalanan darat menggunakan angkutan umum semisal metro bus atau taksi. Makanya, sudah jadi rahasia umum, para tekong TKI Indonesia sering melewatkan “bawaannya” dari sini.

Untuk melakukannya tidak terlalu sulit. Walaupun di Kukup ada pelabuhan resmi yang juga berfungsi sebagai pelabuhan internasional serta punya pos imigrasi, tapi di sana ada banyak juga pelabuhan-pelabuhan tikus yang siap ditambatkan kapal-kapal berisi manusia-manusia calon pekerja asal Indonesia. Jangan lagi bicara soal kelengkapan dokumen keimigrasiannya karena di sinilah salah satu surga masuk para calon tenaga kerja illegal asal Indonesia. Kuncinya : bisa main kucing-kucingan dengan Polis Merin PDRM (Polis Di Raja Malaysia/ seperti Polair kalau di Indonesia, pen). Jika sudah berhasil sampai di daratan Kukup, separuh impian untuk menangguk ringgit di negeri jiran sudah ada di depan mata. Para TKI biasanya tinggal menunggu waktu yang pas untuk dibawa ke lokasi-lokasi penampungan kerja atau perkebunan sawit untuk dipekerjakan di sana. “Armada” yang digunakan untuk membawa “pahlawan-pahlawan devisa” kita ke sini, biasanya berjenis speed boat yang memiliki daya PK tinggi atau sekalian yang lambat seperti sampan perahu. Toh jarak yang memisahkan Kukup “yang Malaysia” dengan misalnya Karimun Kecil “yang Indonesia” hanya sekitar setengah jam-an saja.

Saya bisa menangkap maksudnya. Kira-kira mungkin begini ; dengan menggunakan speed boat berdaya PK tinggi, kemungkinan untuk bisa lolos dari kejaran polis merin bisa lebih besar! Sementara jika pakai perahu sampan, apalagi kalau bukan untuk mengelabui pemasukan para TKI kita sebagai nelayan!

Oh ya, di Kukup ada hal yang cukup unik. Paling tidak, sampai saat saya berkunjung ke sana beberapa tahun lalu. Poster-poster “Artis lokal etnis keturunan” yang siap memberikan pelayanan show time pada tamunya. Usia rata-rata masih belia. Kalau melihat dari wajah di poster, paling tua mungkin sekitar 30-an tahun. Banyak juga yang kelihatannya masih remaja. Dandanannya menor dengan baju yang agak seronok. Photo mereka dibuat berjejer dan diberi nomor. Oh Malaysia, pikir saya. Ternyata yang “begituan” bisa sangat vulgar ditawarkan di sini!! Beberapa warga di Kukup yang coba saya tanyakan komentarnya tentang “ hiburan jenis ini” menyikapinya biasa saja : “SEKEDAR HIBURAN, kata mereka. Dan, itu sudah berlangsung cukup lama.

Kalau sudah begitu, saya jadi teringat dengan tempat hiburan sejenis di daerah Karimun. Orang di sana sering menyebutnya “Villa”. Komplek perumahan yang disulap dan berubah jadi lokalisasi hiburan esek-esek. Dibilang legal, sebenarnya tidak juga. Mau dibilang illegal, tapi kok rasanya tidak tepat. Masalahnya. Lokasinya begitu tertata. Persis seperti lokalisasi pada umumnya, tapi lebih ekslusif. Hampir seluruh rumah di komplek perumahan itu menyediakan wanita penghibur. Bisa dipakai di tempat, atau kalau mau lebih privacy, ya dibawa pergi dengan membayar DP terlebih dulu ke sang Mami atau Papi-nya.

Di Villa, yang membedakan antara rumah bordir dengan rumah tinggal warga, mungkin bisa ditandai dari iklan produk esek-esek yang terpasang. Rumah yang dijadikan tempat bordir biasanya dipasangi iklan seperti DUR..xxx dan “kawan-kawannya”. Yang rumah warga, cenderung polos tanpa papan reklame. Kalau malam, rumah bordir cenderung lebih gemerlap. Dari jalan bisa dilihat seperti ada “Akuariumnya”. Sementara warga yang tinggal di sana, cenderung mematikan lampu depan rumahnya jika malam atau memasang plang sederhana. Tulisannya : “ ini rumah warga”. (bintoro suryo)