Thursday, September 18, 2008

(Ini Bukan Kampanye) Golput



Senin, 9 September 2008 pukul 00.45 Wib, iseng-seng saya buka saluran sebuah televisi swasta nasional. Di sana ada bincang-bincang santai antara presenternya, Chantal De La Concheta dan Rektor Universitas Paramadina Jakarta, Anes Balwedan. Tema yang diangkat ringan saja. Mereka sedang mengomentari sebuah tayangan liputan dari salah seorang reporternya yang melakukan jajak pendapat ringan tentang lambang Parpol. Hasilnya cukup mencengangkan! Tidak ada satu pun orang yang ditanyakan, hafal dengan lambang parpol yang sengaja diperagakan secara acak dan tanpa nama parpol kecuali lambang!.

Hampir semuanya menjawab dengan kalimat tidak tahu atau menggelengkan kepala sembari tersenyum. Hanya seorang ibu yang ditanyakan di jalanan saat traffic light menyala merah. Jawabannya hampir benar, tapi membuat orang tersenyum simpul. Sang reporter menunjukkan lambang banteng-nya PDIP dan memberi pertanyaan lambang dari parpol apa itu. Sang ibu menjawab dengan ragu-ragu. Begini jawabannya : ”Kalau nggak salah itu lambang PDI yang suka marah-marah ya…”

Wah, bagi saya ini cukup mencengangkan. Saya saja yang sudah beberapa periode pemilu memilih jadi golput, masih cukup hapal dengan beberapa lambang parpol yang terdaftar untuk ikut pemilu 2009 mendatang. Tapi ternyata, di luar saya masih banyak warga lainnya yang tidak tahu tentang lambang parpol. Apalagi diminta membicarakan visi misi dan tujuan masing-masing parpol. Cukup menyedihkan juga karena prosentase kemungkinan warga yang akan golput bisa jadi akan semakin besar. Oh ya, sebelum tulisan ini saya lanjutkan, perlu digaris bawahi bahwa saya tidak sedang mengajak anda untuk jadi golput dalam pemilu mendatang. Saya juga tidak sedang mengkampanyekan untuk memilih golput. Semuanya terpulang kepada anda.

Kembali ke soal dialog santai-nya Chantal dan Anes, saya jadi ingat dengan program televisi yang saya produksi dan juga sedang berjalan saat ini. Namanya “Hallo Partai”. Tapi membandingkan program televisi saya dengan program yang dipandu Chantal memang jauh berbeda walaupun secara garis besar dan tema sama saja, yakni mengupas masalah politik parpol secara santai. Yang harus saya akui juga, program-nya Chantal begitu segar, kaya ide dan objektif tanpa memihak salah satu parpol. Menyentil tapi tidak membuat sakit. Sementara program televisi saya. Lebih banyak mengandalkan kelucuan wajah sang presenter -Bagong Sastranegara- untuk membuatnya jadi sebuah tayangan politik yang segar dan berharap sentilan yang disampaikan tidak membuat orang sakit hati!

Oh ya soal fenomena jajak pendapat yang saya sampaikan tadi, mungkin bikin kaget orang parpol. Padahal kampanye mereka sudah dimulai sejak beberapa bulan lalu. Di lain pihak, Pemilu 2009 juga sudah semakin dekat. Oke-lah, mungkin bagi partai baru sosialisasi pengenalan memang butuh waktu yang tidak sebentar. Namanya juga mengenalkan sesuatu yang baru dan belum ada sebelumnya. Tujuan pencapaian sosialisasi tentu bukan hanya sekedar kenal saja. Tapi juga harus melekat dalam ingatan!. Tapi bagi partai lama? Wah keterlaluan juga ya.. Ternyata masih banyak warga yang belum mengenal mereka. Kemana saja mereka selama ini? Apa program sosialisasi-nya tidak sampai ke masyarakat? Atau mungkin masyarakat yang sudah apatis untuk mau mengenal partai-partai politik? Saya punya beberapa hipotesa walau belum tentu benar karena memang tidak pernah diikutkan dalam uji kebenaran di lembaga penelitian manapun. Ini dia :

Pertama, jumlah parpol yang ikut sejak tiga kali pemilu terakhir sangat banyak. Logikanya, orang lebih mudah mengenal sesuatu yang sedikit daripada menghapal sesuatu yang banyak. Saya beri contoh : Anda toh lebih mudah menghapal dan mengenal lebih dalam anggota keluarga di rumah daripada menghapal dan mengenal tetangga anda satu RW? Mungkin bisa, tapi butuh waktu. Belum lagi jika ada yang pindah atau ada warga baru lagi di lingkungan RW anda. Begitulah yang terjadi dalam situasi perpolitikan kita tiga periode pemilu terakhir ini. Jumlah parpolnya banyak dan silih berganti. Tiap periode pemilu pasti ada parpol yang baru dan jumlahnya tidak pernah tetap. Belum lagi nomor urut yang selalu berubah-ubah.

Kedua, lambang dan warnanya hampir sama. Kalau anda jeli, 38 parpol yang sudah dipastikan ikut dalam pemilu 2009 punya lambang dan warna bendera parpol yang hampir mirip satu sama lainnya. Lebih dalam lagi, lambang yang mereka gunakan rata-rata mengambil simbol-simbol yang ada dalam Pancasila ; Bintang, Rantai, Banteng, Pohon Beringin serta Padi dan Kapas! Saya ambil acak seingat saya saja. Yang menggunakan lambang Bintang ada partai PPP, Demokrat dan PKB. Sementara yang menggunakan lambang banteng ada PDI, PDIP, PDP atau PNI Marhaenisme! Yang menggunakan lambang kepala Burung Garuda? Ada partai Gerindra dan PKPI. Mungkin yang sedikit beruntung partai PAN karena menggunakan lambang di luar pakem lambang yang biasa digunakan partai lainnya, yakni Matahari. Tapi ingat, sekarang mereka sudah ada yang menyamai yaitu Partai Matahari Bangsa yang notabene pecahan dari partai itu! soal kemiripan juga bisa dilihat dari warna yang digunakan parpol-parpol peserta pemilu. Rata-rata kalau tidak menggunakan warna hijau, biru, kuning ya Merah….

Ketiga, belum ada satu partai pun saat ini yang benar-benar bisa menarik hati masyarakat untuk sukarela memilih dan mencintainya. Kenapa? Mereka baru pada tahap tebar janji, belum memberi bukti! Saya punya alasan yang logis untuk hipotesa ketiga ini. Alasan apa yang membuat anda bisa selalu ingat dengan seseorang atau sebuah benda atau sesuatu tempat? Mungkin karena kesan yang pernah anda rasakan dan kenangan yang terpatri dalam pikiran anda. Kesan dan kenangan yang bagaimana? Bisa kesan dan kenangan baik. Jika begitu anda akan menempatkan orang itu atau benda tersebut atau sesuatu tempat tertentu dalam ruang yang khusus di kepala anda. Ruang yang berisi hal-hal baik! Orang atau benda atau tempat tersebut akan jadi referensi prioritas yang akan anda pilih jika sebuah momen berkaitan dengan mereka muncul. Begitu juga sebaliknya!

Keempat, parpol sekarang banyak diisi kalangan oportunis/ petualang politik yang selalu mengutamakan kepentingan diri sendiri dan kelompoknya dengan mengatasnamakan rakyat banyak. Orang masuk parpol karena mencari hidup, mencari rezeki. Ini seperti simalakama. Kondisi Negara kita yang dihujam berbagai deraaan krisis ekonomi memaksa hampir semua lini kehidupan tidak stabil. Angkatan kerja membludak, sementara lapangan kerja terbatas. Di sisi lain, ada kisi untuk bisa hidup makmur dengan jalan cepat. Ada peluang menambah penghasilan melalui jalur politik yang sedang dalam situasi euphoria karena kerannya dibuka lebar-lebar. Sisi inilah yang dimanfaatkan oleh segelintir kalangan oportunis untuk meraih peluang kemakmuran dengan mengatasnamakan rakyat banyak. Pada awal-awal reformasi dulu, perubahan baru di politik ini mereka harapkan bisa membuka harapan baru untuk hidup lebih baik lagi dalam situasi negara yang lebih tertata, aman dan tentram daripada di era orde baru yang didengung-dengungkan oleh “para reformis” sebagai zaman kegelapan bangsa Indonesia dengan berbagai macam “penyimpangan” yang terjadi. Tapi, seiring berjalannya waktu, euphoria politik kita seperti jalan di tempat. Itu ke itu saja dan baru sebatas bisa mengobral janji tanpa bukti. Sementara kalangan oportunis politik yang berkecimpung justru sibuk memperkaya diri sendiri di tengah kemelaratan masyarakatnya.

Kelima, hipotesa kelima saya sebenarnya masih berkaitan dengan hipotesa keempat. Kondisi Negara kita sekarang amburadul. Semuanya seperti berjalan sendiri-sendiri. Rakyat susah, hidup semakin mencekik leher. Sementara, elit pemerintah walau juga mengaku susah, tapi tetap bisa hidup bermewah-mewah. Harga-harga barang naik, lapangan kerja menyempit. Tidak ada yang bisa mereka lakukan selain berusaha sendiri untuk bertahan. Rakyat sekarang banyak yang miskin. Pemerintah dan juga orang-orang yang mengaku wakil-wakil rakyat di legislatif yang notabene orang Parpol, memang mendengung-dengungkan program pengentasan kemiskinan. Tapi kebanyakan hanya lipsync. Banyak program yang tidak sampai ke masyarakat. Kalaupun sampai, hanya separuhnya atau hanya sisa setelah dipotong sana-sini di tingkat atas. Yang terjadi kemudian adalah sikap apatis dan tidak mau lagi peduli!

Wah, pemaparan saya jadi berapi-api, tapi memang itulah yang terjadi saat ini. Euphoria politik kita seperti jalan di tempat kalau tidak mau dibilang kebablasan. Penduduk Indonesia sekarang 200 juta. Sebuah data menyebut 30 persennya hidup di bawah garis kemiskinan. Itu kira-kira sama dengan 60 juta penduduk! Saat ini, mereka seperti bertahan sendiri untuk bisa tetap hidup. Tidak ada yang bisa mereka perbuat untuk merubah berbagai kebijakan pemerintah yang didukung wakil-wakil rakyat kita di legislative yang tidak pro mereka. Mulai dari pusat hingga daerah, “lagu”-nya selalu sama. Sementara penduduk yang hidupnya rata-rata dan belum masuk di bawah garis kemiskinan, kondisinya juga tidak jauh berbeda. Mereka juga berjuang sendiri di dalam negeri yang katanya makmur, gemah ripah loh jinawi agar tidak terpuruk di dalam lembah kemiskinan seperti saudara-saudara mereka. Mereka menyaksikan kemeriahan “aksi panggung hiburan politik” dari para aktor elit birokrat dan politik. Temanya macam-macam. Mulai dari perselingkuhan hingga korupsi. Kebanyakan memang aksi-aksi yang tidak menyenangkan hati. Nah, memasuki masa pemilu 2009, tanpa rasa berdosa, banyak politikus seperti itu yang mulai kembali mengobral janji. (bintoro suryo)

Krakatau


Saya sering mengibaratkan dan membayangkannya sebagai letusan dahsyat dari dalam laut saat Krakatau meletus tahun 1883. Posisinya juga unik karena berada di kedalaman laut antara dua pulau, Jawa dan Sumatera. Walau sekarang tinggal nama, tapi ada “anak”-nya yang belakangan terus tumbuh membesar dan punya aktifitas vulkanis yang menarik perhatian para peneliti. Nama Krakatau juga sangat familiar bagi para penggemar musik di era 80 hingga 90-an. Berbeda dengan gunungnya yang mengesankan kekokohan, tangguh dan punya pengaruh, musik dari band krakatau sangat jazzy…

Gunung berapi Krakatau pernah meletus tanggal 23 Agustus 1883. Letusannya sangat dahsyat dan tsunami yang diakibatkannya menewaskan sekitar 36.000 jiwa. Sumber di Wikipedia menjelaskan suara letusan Gunung Krakatau juga sampai terdengar di Alice Springs Australia dan pulau Rodrigues dekat Afrika yang jaraknya 4.653 kilometer. Daya ledaknya diperkirakan mencapai 30.000 kali dari bom atom yang meledak di Hiroshima dan Nagasaki di akhir perang dunia kedua.

Letusan Krakatau menyebabkan perubahan iklim global. Dunia sempat gelap selama dua setengah hari akibat debu vulkanis yang menutupi atmosfer. Matahari bersinar redup sampai setahun berikutnya. Hamburan debu juga tampak di langit Norwegia hingga New York.

Dalam otak saya, “Krakatau” memang seperti sesuatu yang kokoh, tangguh dan punya pengaruh! Tapi saat mendengarkan musik dari band Krakatau, pikiran yang muncul malah sebaliknya. “Krakatau” muncul sebagai sesuatu yang lembut, elegan dan high taste…Sesuai dengan alunan irama musik yang diusungnya, jazz. Di dalamnya ada suara Trie Utami yang bisa mendayu-dayu sahdu, tapi kadang menghentak. Krakatau, secara harfiah nama itu diambil ratusan bahkan mungkin ribuan tahun lalu dari bahasa Sansekerta.

Anda mungkin bingung, kemana arah tulisan ini. Rada mbulet mungkin. Jujur, tulisan ini saya buat saat anak pertama saya lahir. Jenis kelaminnya lelaki. Saya ingin anak saya seperti gunung Krakatau yang kokoh, tangguh dan punya pengaruh. Gunung yang memberi “magnet” tersendiri bagi saya sejak kecil. Tulisan beberapa sumber yang sempat saya baca menyebut kata Krakatau memang dekat dengan bahasa Sansekerta ; Rakata.

Peta modern yang pertama kali menggambarkan pulau Krakatau adalah peta buatan Jan Huyghen Van Linshoten tahun 1595. Ia membuat peta itu dari sumber lain, bukan hasil pengamatan atau pengukuran sendiri. Nama pulau “Krakatau” sendiri pertama muncul di peta buatan Lucas Janszoon Waghenaer, atau lebih dikenal sebagai Waggoner. Pulau kecil antara Sumatra dan Jawa itu dinamakan Pulo Carcata.

Ingat “Krakatau”, saya juga jadi ingat dengan kata “Nusantara”. Krakatau ada di Nusantara kita ini. Berbanggalah kita sempat punya gunung Krakatau yang walaupun kini hanya tinggal nama saja. Tapi, untuk diingat, namanya belum pudar sampai sekarang. Masih ada “anak”-nya yang biasa disebut orang sebagai Anak Krakatau. Anak Krakatau ada di Nusantara..

Kenapa harus “Nusantara”? Saya ingin identitas asal anak saya langsung diketahui begitu orang mengenal namanya. Maklum, makin tahun dunia ini makin sempit. Era globalisasi dunia sudah makin luas. Interaksi antar bangsa sudah menjadi hal yang dimaklumi dan sangat biasa sekali. Dalam bayangan saya, 20-30 tahun ke depan arus globalisasi sudah semakin menyeluruh. Bukan tidak mungkin orang-orang Indonesia semakin banyak yang tinggal dan menetap di negara lain. Begitu juga sebaliknya. Percampuran antar bangsa sudah menjadi hal yang lumrah sekali.

Pertimbangan lain, saya juga ingin tidak ada pengkotak-kotakkan asal suku secara sempit seperti yang sekarang sedang menggejala di tengah masyarakat Indonesia seiring dengan demam otonomi daerah. Suku adalah sesuatu yang terberi, bukan sesuatu yang bisa dipilih seperti kata Hasan Aspahani (salah satu orang yang saya hormati karena ilmunya, pen). Kata Nusantara menurut saya juga sudah mewakili sebuah kesatuan banyak suku yang ada di negara kita. Juga mewakili percampuran darah yang ada dalam dirinya. Percampuran antara darah saya dan darah istri saya.

Terakhir, saya ingin anak saya jadi seorang ksatria yang berani membela yang benar dan menentang yang salah. Seperti seorang pejuang besar (Yodha, bahasa sansekerta, pen). Kenapa harus jadi ksatria sementara sekarang banyak yang pengecut tapi bisa punya status kehormatan tinggi di masyarakat? Kenapa juga harus jadi ksatria sementara jadi durjana malah bisa cepat kaya? Karena, saya tetap yakin ada jalan lain yang lebih terhormat untuk mencapai hal-hal seperti itu.

Oh ya, nama anak lelaki saya : Yodha Krakatau Nusantara…

Contact person :noe_saja@yahoo.co.id

Separuh Lelaki

Golongan waria atau wanita pria. Saya lebih senang menyebutnya separuh lelaki. sebagian orang ada yang sudah dapat menerimanya dan berbaur dalam kehidupan sosial sehari-hari. Sebagian lain tidak. Alasannya karena status mereka merupakan suatu penyimpangan seksualitas. Lebih jauh, karena dilarang agama.

Hampir semua kitab suci tidak ada yang menyebut kehadiran kelompok itu sebagai suatu hal yang lumrah dalam kehidupan. Tapi kenyataannya mereka ada dan memiliki profesi beragam di masyarakat. Sebagian kecilnya yang kurang beruntung, ada juga yang menggeluti profesi sebagai penjaja cinta jalanan.

Hampir di setiap kota, kelompok minoritas seperti itu selalu ada. Kadang, kita terkamuflase oleh dandanannya yang cantik seperti perempuan. Yang lain, tetap bergaya pria walau dibaliknya tersembunyi sifat wanita. Soal ini, saya punya cerita yang kadang membuat saya jadi senyum-senyum sendiri.

Ngomong-ngomong soal kelompok separuh lelaki ini, hampir di banyak kota besar sebenarnya selalu ada komunitasnya. Dari yang golongan High Class sampai kelompok jalanan. Di Batam, tempat saya tinggal dan bekerja sekarang, komunitasnya juga ada. Kebanyakan tergabung dalam kelompok Gaya Batam (bentuk halus dan plesetan dari kata Gay, pen).

Seorang mantan ketuanya yang sekarang sudah almarhum karena virus HIV yang diderita pernah bertutur lumayan panjang pada saya. Tidak etis jika saya menyebutkan namanya. Jadi kita panggil saja sang ketua. Orangnya jauh dari kesan “cantik”. Penampilan sehari-harinya juga tidak glamour dan menor seperti teman-temannya yang biasa mangkal di jalanan. Sang ketua memang cenderung lebih ekslusif. Penampilannya lebih pria walau sebenarnya berhati wanita. Anggotanya tersebar di seluruh Batam. Profesi kerjanya juga beragam. Ia ingin membangun sebuah imej yang positif tentang keberadaan kelompok “separuh lelaki” yang dipimpinnya. Saban akhir tahun dalam peringatan hari AIDS se-dunia, ia juga aktif mengkampanyekan tentang bahaya penyebaran virus HIV dan AIDS, walau akhirnya harus meninggal karena penyakit itu. Tragis? Mungkin.

Menurut sang ketua, secara garis besar ada dua kelompok separuh lelaki yang bisa dibedakan. Pertama, kelompok yang secara harafiah nyata sudah benar-benar kelihatan sebagai wanita. Baik dandanan, cara bicara maupun pembawaannya. Yang lain, tersamar oleh penampilan sehari-hari sebagai seorang pria. Orang awam menyebutnya sebagai kaum gay. Mereka yang tersamar, sejatinya lebih bisa diterima di kalangan masyarakat, bisa bergaul luas dan jauh dari pandangan miring. Catatannya, sisi gelap hidupnya hanya diketahui segelitir orang saja. Sementara kelompok pertama, biasanya menjalani kehidupan yang jauh yang lebih repot karena harus menghadapi cibiran dan pandangan sebelah mata masyarakat. Profesi kerja, biasanya juga sangat terbatas. Paling banyak, mereka beraktifitas di jalan sebagai penjaja cinta.

Di Batam, mereka sering menggunakan paling tidak tiga lokasi sebagai tempat mangkal sekaligus mencari nafkah. Daerah Batu Ampar mungkin bisa dikatakan yang terlama. Entah kapan dimulainya, yang jelas sejak lebih dari lima belas tahun lalu kawasan itu sudah sangat terkenal sebagai lokasi mangkal kelompok separuh lelaki yang siap memberikan layanan cinta kilat. Lokasi lain yang tumbuh belakangan adalah kawasan sekitar patung kuda Sungai Panas dan simpang jam Baloi.

Jika kondisi normal, mereka biasa beroperasi sejak pukul 21.00 WIB hingga menjelang dini hari. Dandanan menor dan penampilan seksi bak wanita sejati, memang jadi senjata andalan mereka untuk memikat pelanggan yang biasanya merupakan para pengendara sepeda motor dan mobil yang lewat di lokasi tersebut.

Karena tuntutan pekerjaan, saya sempat mengenal beberapa orang diantaranya. Contohnya Cindy, si montok asal medan yang biasa mangkal di jalan depan halte Batu Ampar. Kalau malam, aktivitasnya memang lebih banyak dihabiskan di sana. Sementara jika siang, ia lebih memilih tinggal di kamar kost-kostan di daerah Pelita, bergabung dengan beberapa rekan “sejenis” lain.

Walau terlahir sebagai lelaki, perilaku Cindy condong feminin. Untuk menunjukkan eksistensinya sebagai wanita, ia rela memperbesar ukuran payudara hingga mendekati ukuran normal wanita. Sementara karena keterbatasan dana, alat vital yang dimilikinya hingga sekarang masih orisinil. Yang agak eksktrim mungkin Julia, rekan Cindi. Selain rela memperbesar ukuran payudara, Juli juga telah melakukan operasi untuk mengganti alat vital asli yang dimilikinya.

Dalam menjalani profesi penjaja cinta, Batam ternyata hanya merupakan lokasi perlintasan sementara saja. Golongan ini sebenarnya lebih senang menjalani profesi tersebut di negeri orang. Coket, suatu tempat di Malaysia, dianggap merupakan surga bagi golongan tersebut. Alasannya, apalagi jika bukan tarif pelayanan yang diberikan mereka bisa berlipat dari penghasilan di negeri sendiri.

Agnes, seorang separuh lelaki lainnya yang masih berusia belia, malah sudah melanglang buana ke banyak kota, termasuk daerah Coket Malaysia. Agnes yang baru menginjak usia awal 20-an tahun, terpaksa jadi penjaja cinta karena dibuang keluarga. Penyebabnya apalagi kalau bukan penyimpangan yang ada dalam dirinya.

Ia seperti juga yang lainnya, menjadikan Batam sebagai kota transit saja. Di Coket, sebenarnya tidak selalu menawarkan hal yang menggiurkan. Aturan dan persaingannya ketat. Yang terjadi, mereka biasanya selalu tertangkap kemudian “dilempar” kembali ke Batam. Tapi hal itu tidak membuat mereka jera. Sekali ada waktu dan kesempatan, mereka selalu akan kembali ke sana.

Seperti rotasi alam saja, kelompok separuh lelaki dari jenis yang ini biasanya selalu silih berganti kehadirannya. Jika ada yang sudah berhasil berangkat ke Coket untuk meraup ringgit di sana, tempatnya digantikan yang lain di sini. Terus begitu hingga tidak terpakai lagi atau zaman sudah melindas mereka. (bintoro suryo)

Assasin

Silvester Stalone dan Antonio Banderas pernah terlibat baku tembak sebagai pembunuh bayaran dalam film Assasin. Istilah Assasin sendiri memang sering dipakai dalam dunia gangster secara ekslusif. Dalam bahasa modernnya bisa juga disebut sebagai pembunuh bayaran. Walau berkembang dan besar di daratan Eropa dan bahkan Amerika, Assasin berawal dari tanah Arab.

Sebutan awalnya Hashyashyin. Lidah orang Barat menyebut “Assassins” seperti dalam catatan Marcopolo. Pelaut ternama dari Venesia ini, pada tahun 1271-1272 melintasi daerah Alamut. Sebuah benteng besar di atas karang yang sangat kuat dan memiliki taman yang sangat indah di wilayah Persia.

Dalam catatannya tentang Benteng Alamut dan aktivitas sekte Syiah pimpinan Hasan al-Sabbah, yang diistilahkan oleh Marcopolo sebagai kaum Assassins, pelaut itu menulis:

“…Beberapa pemuda yang berumur duabelas hingga dua puluh tahun yang memiliki semangat tarung yang tinggi, dibawa masuk ke dalam taman yang berada di tengah-tengah benteng. Mereka dibawa masuk bergiliran, sekitar empat, enam, atau sepuluh pemuda. Sebelumnya, mereka disuguhi minuman keras dan candu yang membuat mereka mabuk berat atau tertidur pulas. Baru setelah itu mereka diangkat dan dipindahkan ke dalam taman.”

Ketika bangun, para pemuda itu mendapati dirinya berada di tengah taman yang sangat indah. Mereka dikelilingi para gadis-gadis perawan yang mengenakan pakaian sungguh menggoda. Para gadis itu menghibur, merayu, dan melayani keinginan para pemuda tersebut. Mereka sungguh-sungguh dimanjakan. Para pemuda itu menyangka mereka sedang berada di surga. Sehingga ketika Hasan al-Sabbah sebagai pimpinan tertinggi Hashyashyin memberi tugas atau perintah kepada mereka maka mereka akan dengan senang hati akan melaksanakannya.

“Surga” yang sangat indah telah menantikan para pemuda tersebut jika tugasnya selesai. “Saat kau kembali, bidadari-bidadariku akan membawamu ke surga. Dan jika pun kau mati, kau pun akan pergi juga ke surga, ” ujarnya.

Penggunaan candu atau Hashyishy inilah yang oleh Marcopolo, kelompok ini disebut kaum Hashyashyin.

Freya Stark, seorang wartawati Inggris berdarah campuran Perancis-Italia, ketika menjabat sebagai Staf Redaksi Bagdad Times di Bagdad, Irak, banyak melakukan perjalanan jurnalistiknya. Perempuan yang menguasai bahasa Arab dan Parsi ini, atas izin Shah Iran di tahun 1930-1931 mengunjungi sisa-sisa Benteng Alamut di Persia. Stark merupakan perempuan asing pertama yang menjejakkan kakinya di wilayah bekas pusat kekuasaan kaum Assassins.

Stark membuat peta baru yang terperinci atas wilayah tersebut dan catatan perjalanannya menjadi sebuah buku yang sangat menarik. Judulnya “The Valley of the Assassins”. Dalam bukunya, Stark menulis tentang latar belakang dan perkembangan kelompok Assassins. Ia berpedoman kepada literatur-literatur tertua dalam Dunia Islam.

“Assassins itu sebuah sekte Parsi. Cabang dari aliran Syiah Ismailiyah, yang memuliakan Ali bin Abi Thalib, menantu Nabi Muhammad beserta Imam-Imam turunan dari garis Ali, ” demikian Stark (hal. 159).

Aliran Ismailiyah memisahkan diri dari aliran-aliran lainnya sepeninggal Imam ke-7, Imam Jafar al-Shadiq. Walau mengaku sebagai Syiah dan pengikut Ali, namun berlainan dengan aliran lainnya, maka Assassins tidak mewajibkan shalat, puasa, zakat, dan sebagainya.

Pandangan ‘keagamaan’ Assassins juga unik karena lebih condong kepada Komune (pada abad ke-20 dikenal sebagai paham Komunisme)—ideology penyamarataan sosial. Bahkan di dalam beberapa ritual religinya, Assassins juga melakukan ritus-ritus yang kerap ditemukan pada pengikut paganisme-Kabalis. Seperti halnya ritus di dalam Taman Alamut yang nyaris serupa dengan ritus pesta seks Caligula atau Nero di zaman Romawi.

Tulisan Stark yang dikutip oleh Joesoef Sou’yb dalam ‘Sejarah Daulat Abasiah’ Jilid III (Bulan Bintang, 1978) menyatakan, “Kelompok Assassins dipimpin oleh sebuah keluarga Persia yang kaya raya namun gila perang. Mereka menyerahkan hidupnya untuk merongrong dan menghancurkan secara berangsur-angsur terhadap segala jenis keimanan Islam dengan suatu sistem pentahbisan (inisiasi) secara halus dan pelan-pelan, melalui beberapa tahap (marhalah), Menusukkan kesangsian-kesangsian terhadap agama Islam, hingga kemudian si anggota menjadi seseorang yang mendewa-dewakan pemikiran bebas dan bersikap bebas pula (liberal). ” (hal. 61)

Paparan Stark di atas merupakan alat utama pengrusakkan agama-agama samawi yang dilakukan oleh kaum Kabbalis. Seperti yang telah diulas dalam banyak sekali literatur, ketiga agama samawi yang dirusak oleh kaum Kabbalah ini adalah Yahudi, Nasrani, dan Islam. Ke dalam agama Yahudi yang sesungguhnya memiliki Kitab Taurat yang diturunkan kepada Nabi Musa a. S., kaum Kabbalah ini menyisipkan ayat-ayat palsu sehingga Taurat menjadi rancu dan berantakan. Lantas kaum Kabbalah ini membuat satu kitab yang dikatakan sebagai ‘titah Tuhan kepada Nabi Musa yang tidak tercatat’ (seperti halnya Hadits Qudsi di dalam agama Islam, hanya saja Hadist Qudsi merupakan sesuatu yang benar berasal dari Allah SWT), yang disebutnya sebagai Kitab Talmud. Kitab Talmud ini pun akhirnya menjadi ‘lebih suci dan tinggi’ ketimbang Taurat, sehingga kaum Yahudi ini menjadi kaum yang dimurkai Allah SWT.

Ke dalam agama Nasrani, kaum Kabbalah memasukkan seorang Yahudi-Talmudian bernama Paulus dari Tarsus. Paulus ini yang tidak pernah bertemu dengan Yesus karena zaman kehidupannya jauh berbeda. membuat Kitab Perjanjian Baru yang disebutkan sebagai penggenapan Bibel Perjanjian Lama (Taurat). Ke dalam Perjanjian Lama pun-seperti halnya Taurat Musa—disisipkan ayat-ayat palsu sehingga mustahil untuk kita menemukan mana yang asli dan mana yang tidak. Lalu ke dalam agama Islam, kaum Kabbalah ini memasukkan seorang Yahudi juga yang berpura-pura sebagai orang Islam bernama Abdullah bin Saba. Abdullah bin Saba inilah yang memecah umat Islam ke dalam dua kutub besar yakni Sunni dan Syiah, sesuatu yang tidak ada saat Rasulullah SAW masih hidup.

Sesuatu yang bukan kebetulan, ujar Stark, bahwa keluarga Persia tersebut memusatkan aktivitasnya di Mesir atas nama Dinasti Fathimiyah. Mesir sejak zaman purba merupakan salah satu pusat berkembangnya ajaran Kabbalah. Salah satu tonggak Kabbalah di Mesir Kuno adalah di masa kekuasaan para Firaun, yang berkuasa ditopang oleh “Dua Kaki” yakni Militer dan Penyihir.

Di masa Nabi Musa as., para penyihir ini sebagian ada yang meninggalkan ajaran Kabbalah dan kembali ke Islam. Namun Dewan Penyihir Tertinggi (Majelis Ordo Kabbalah) tetap memusuhi Nabi Musa AS dan menyusupkan seorang anggotanya ke dalam umatnya Nabi Musa untuk memalingkan kaumnya dari ketauhidan. Al-Qur’an mencatat orang yang disusupkan itu bernama Samiri. Di Mesir, cikal bakal Assassins ini menyusup ke semua lini dan menguasai posisi-posisi penting. Salah seorang dai Ismailiyah yang berasal dari kota Rayy di Persia bernama Hassan al-Sabbah muncul sebagai tokoh di Mesir. Hassan al-Sabbah inilah yang kemudian mendirikan sekte Assassins dan memegang jabatan sebagai Pemimpin Agung yang pertama dari kelompok tersebut (The First Grandmaster of the Assassins).

Kharisma dan kebrutalan Hassan al-Sabbah menjadikannya dai yang amat disegani. Ia kemudian menciptakan ideologi bagi kelompoknya sendiri, melaksanakan pelatihan-pelatihan militerisme dan intelijen secara sembunyi-sembunyi, dan sebagainya.

“Ia menciptakan suatu penemuannya sendiri, membawa ide baru ke dalam dunia politik pada masanya itu. Prinsip pembunuhan yang cuma karena haus darah telah dikembangkannya menjadi satu alat politik berasaskan sumpah, ” tulis Sou’yb. Dan tentu saja, proyek-proyek pembunuhan diam-diam terhadap lawan-lawan politik pihak yang memesannya telah menjadi ladang usaha yang sangat menguntungkan. Assassins pun menangguk keuntungan material yang sangat besar dari usahanya.

The Secret Garden atau Taman Rahasia yang terletak di tengah Benteng Alamut di Persia, merupakan tempat inisiasi para anggota baru yang kisahnya telah dipaparkan di atas. Ritual yang dilakukan Assassins di Taman Rahasia tersebut mirip dengan yang dilakukan para Templar di Rosslyn Chapel atau di kuil-kuil mereka, yakni berakhir dengan pesta seks yang disebutnya sebagai penyatuan suci menuju Tuhan.(Bersambung/Rizki Ridyasmara) Hassan al-Sabbah merupakan pendiri sekaligus Grandmaster Assassins. Hasan berasal dari daratan Persia. Ferdinand Tottle dalam bukunya berjudul Munjid fil Adabi (1956) menulis bahwa Hassan dikirim oleh Ibnu Attash di tahun 1072 M ke Mesir untuk menemui Khalif al-Muntashir dari Daulah Fathimiyah yang beraliran Syiah.

Mesir kala itu dikuasai kelompok syiah, di mana Perguruan Tinggi Al-Azhar merupakan lembaga pendidikan ternama kaum Syiah. Hasan menuntut pendidikan di lembaga tersebut. Sepuluh tahun kemudian, dalam usia ke-31, Hasan kembali ke Persia. Ketika Ibnu Attash wafat, Hassan menggantikan kedudukannya. Sebelum Hassan kembali ke Persia, Assassins masih menjadi gerakan bawah tanah yang belum berani menampakkan diri di atas permukaan. Dan ketika Hassan telah kembali, maka Assassins baru menampakkan diri sebagai satu gerakan dalam Sekte Syiah Ismailiyah yang beda dengan sekte-sekte lainnya.

Assassins sebenarnya bukan hanya beda di permukaan, tapi memiliki perbedaan secara substansial dan doktrinal. Secara akidah sebenarnya Assassins tidak lagi bisa dipandang sebagai bagian dari kaum Muslimin karena mereka tidak mewajibkan sholat, zakat, dan puasa, sesuatu yang sangat esensial di dalam Islam.

Sekembalinya Hassan ke Persia, gerakan Assassins mulai memperluas pengaruhnya ke seluruh penjuru Persia dengan merebut wilayah-wilayah strategis. Wilayah Iran Utara sampai pesisir Laut Kaspia, yang sejak zaman Romawi banyak berdiri kota-kota benteng menjadi sasaran utama. Beberapa kota benteng yang kokoh berdiri di antaranya Alamut, Girdkuh, dan Lamiasar berhasil dikuasai.

Benteng Alamut merupakan benteng terkuat karena berdiri di atas puncak pegunungan di mana hanya ada satu jalan untuk keluar dan masuk, itu pun sangat sulit dan terjal. Di dalam benteng yang merupakan peninggalan dari Kaisar Romawi Trajanus (98-117M) terdapat ruangan-ruangan yang membingungkan dan sebuah taman rahasia di tengahnya, di mana tidak setiap orang bisa mengaksesnya. Oleh Hassan al-Sabbah, Benteng Alamut digunakan sebagai markas besar kelompok tersebut.

Dari Alamut inilah kelompok Assassins menyebarkan terror ke seluruh lapisan kerajaan, baik dari pihak Syiah maupun lawannya Sunni-Abasiyah dan Seljuk. Masa-masa itu dikenal sebagai masa The Great Terror. Kekuatan Assassins hingga kini demikian melegenda dan diyakini masih terus ada. (bintoro suryo/ berbagai sumber)

Egosentris (1)

Egosentris. Mengacu pada istilah yang pernah diperdebatkan kalangan ilmiah dan gereja pada abad ke-16 soal heliosentris atau geosentris sebagai pusat tata surya kita, saya lebih senang mendeskripsikan egosentris sebagai pola kecenderungan sikap untuk menempatkan keinginan/ kemauan diri sendiri sebagai pusat atau hal yang utama dan prinsip. Sosok Heinrich Harrer, seorang Austria yang hidup dalam kurun waktu 1912 – 2006 mungkin cocok. Paling tidak dalam beberapa kurun waktu perjalanan hidupnya.

Heinrich Harrer lahir pada 6 Juli 1912 di Huttenberg, Austria, dekat pegunungan Alpen. Dalam beberapa cerita, ia selalu menolak dikatakan sebagai orang Jerman walau hidup dan beristrikan orang dari bangsa Arya tersebut. Ia adalah seorang ekspeditor. Kisah hidup Harrer yang dituangkannya dalam tulisan-tulisannya memang penuh dengan petualangan yang menarik. Harrer adalah anggota dari tim 4 orang yang melakukan pendakian pertama di dinding utara Eiger yang sulit. Ia berhasil menggapai puncak setinggi 13.400 kaki di Bernese Alps, Swiss.

Selain seorang petualang, Harrer ternyata seorang penulis. Salah satu buku pengalaman dan perjalananannya : “Seven Years in Tibet” menjadi salah satu buku laris saat pertama kali diluncurkan tahun 1954.

Kisah perjalanannya yang paling dramatisir, mungkin adalah saat ia memutuskan bergabung dalam tim Jerman yang akan menaklukkan puncak dunia ; Nanga Pharbat. Puncak setinggi 26.000 kaki di Pakistan sekarang. Harrer meninggalkan seorang istri yang sedang mengandung anak pertamanya yang berusia delapan bulan pada tahun 1938!

Anda yang juga mengenal Harrer melalui biografi atau buku-bukunya, mungkin bisa tidak sependapat dengan saya. Tapi pendapat saya, Harrer adalah seorang pribadi keras kepala, egois dengan pikiran yang selalu dipenuhi obsesi-obsesinya sendiri.

Usia Harrer saat mengawali ekspedisi Nanga Pharbat-nya adalah 26 tahun. 5 tahun lebih muda dari saya saat menuliskan cerita ini. Saya jadi berandai-andai berada dalam posisi Harrer saat itu. Kebetulan juga, kami sama-sama memiliki seorang istri yang sedang mengandung anak pertama berusia 8 bulan! Prediksi dokter, anak saya sama dengan anak Harrer, laki-laki…

Sekarang, saya coba berada dalam posisi Heinrich Harrer di tahun 1938 :

Lokomotif uap sudah menunggu di stasiun kereta api kota Berlin. Siap memberangkatkan tim ekspedisi Jerman untuk menaklukkan puncak dunia ; Nanga Pharbat. Ini bukan sekedar petualangan. Tapi lebih pada prestise Negara. Negara dari bangsa Arya yang selalu mengklaim diri sebagai ras paling unggul di dunia! Saya, walaupun keturunan Austria, sudah dianggap sebagai bagian Arya karena berdomisi di Negara berpaham Naziisme itu.

Istri saya, Khatarina Haarhaus bersama Rolf –calon anak saya- yang berusia 8 bulan dalam kandungan, ikut mengantarkan kepergian ini. Entah sudah beberapa kali ia berusaha mencegah agar saya tidak ikut bergabung dalam tim. Tapi keinginannya jelas sia-sia.

Saya sudah berhasil menjadi yang pertama menaklukkan dinding utara pegunungan Eiger yang terkenal sulit. Berhasil menggapai puncak setinggi 13.400 kaki di Bernese Alps, Swiss. Nanga Pharbat yang dikenal sebagai atap dunia, adalah obsesi tertinggi saya. Tawaran kesempatan itu sekarang ada di depan mata!

Memang, ini sebuah kondisi yang sulit. Pergi sekarang untuk menggapai Nanga Pharbat atau melihat dengan sukacita kehadiran Rolf ke dunia. Saya pilih yang pertama ; Nanga Pharbat! Saya masih bisa bertemu Rolf sepulang dari sana.

“Ini keputusan akhirmu, Harrer?” Khatarina separuh putus asa saat menanyakan hal itu untuk yang terakhir kalinya.

“Ya, Nanga Pharbat adalah sebuah obsesi besar. Pulanglah!” saya terpaksa mengatakan ini. Obsesi Nanga Pharbat tidak bisa dibuang begitu saja. “Kapan anak ini akan lahir?’

“Saat kau berada di pos I”.

“Baiklah, tiga bulan dari sekarang saya pasti kembali”.

Kemudian, dari kejauhan di balik jendela lokomotiv yang sekarang kunaiki, Khatarina berjalan menjauh. Sesekali ia terlihat sesenggukan sambil menyeka air matanya. Saya tidak pernah tahu bahwa setelah momen ini, butuh waktu bertahun-tahun untuk bisa kembali menemuinya bersama Rolf. Itu juga dalam suasana yang sudah sangat jauh berbeda!

—————————————-
Satu bulan lewat 5 hari dari saat keberangkatan.

Tim saya yang beranggotakan 5 orang ditambah 4 man supply dari warga setempat sudah berjalan 6 jam dari posko pertama menuju puncak Nanga Pharbat. Jalur yang kami lalui sekarang adalah jalur batu dengan kemiringan 45 derajat. Peter Aufschnaiter, rekan saya yang Jerman asli sekaligus kepala tim ekspedisi, bertindak sebagai leader. Kami tidak menerapkan system pengamanan berkelompok menggunakan tali karena menganggap kemiringan ini bisa diatasi dengan mudah.

Tapi, apa lacur. Ini mungkin jadi pertanda awal kegagalan kami. Saya terpeleset dan harus terbanting belasan meter ke bawah. Semua rasanya gelap. Saya baru sadar ketika merasa pergelangan kaki terasa sakit sekali. Ada darah segar yang mengucur….

Musibah lain terjadi. Badai salju menghambat perjalanan kami. Peter memutuskan agar tim kembali dulu ke posko satu sampai batas waktu yang tidak bisa diperkirakan. Menunggu saat badai diperkirakan sudah mereda. Ini jelas jadi momen yang tidak menguntungkan. Saya menentang keputusan Peter dan meminta anggota tim lain untuk tetap melanjutkan perjalanan. Keinginan itu disanggah Peter dengan ancaman saya akan dikeluarkan dari tim jika terus membangkang.

Terbayang lagi wajah puncak Nanga Pharbat di kejauhan, bergantian dengan wajah mungil Rolf. Ya, Rolf sekarang mungkin sudah lahir ke dunia. Saya tidak bisa membayangkan harus kembali menunggu di posko satu sampai batas waktu yang tidak jelas. Pilihan sudah saya ambil untuk bisa sampai di atap dunia ; Nanga Pharbat. Meninggalkan Khatarina, meninggalkan si kecil Rolf – Rolf Harrer! Tapi kini…

Petaka buruk itu akhirnya benar-benar terjadi. Saat tim kami tiba di posko satu, sepasukan Inggris bersama pasukan Ghurka-nya sudah menanti. Perang di Eropa ternyata benar-benar meletus. Gesekan politik antara Jerman bersama Nazi-nya dan sekutu inggris melahirkan perang. Awal perang dunia II….

Imbas yang terjadi, warga negara musuh yang berada di tanah musuh mereka, akan jadi tawanan perang. Termasuk juga tim ekspedisi Jerman ini. Kami kemudian dibawa ke India. Rasanya, Nanga Pharbat semakin jauh saja. Begitu juga dengan Khatarina dan Rolf! Tapi, Obsesi itu tidak bisa dimatikan begitu saja….. (bintoro suryo)

Contact Person :
noe_saja@yahoo.co.id

Kesetiaan Sampai Mati

Di kaki gunung Raung (3332 meter dpl), perbatasan Situbondo - Banyuwangi, pernah hidup seorang wanita tua. Tanpa air, saudara atau tetangga. Orang desa yang tinggal di jarak 10 kilometer dari tempatnya, menyebut wanita itu sebagai kuncen gunung Raung. Wanita tua yang hidup menyendiri bersama makam suaminya.

Namanya memang tidak setenar mbah Marijan yang jadi kuncen gunung Merapi. Keberaniannya juga tidak pernah teruji seperti mbah Marijan yang jumawa menantang letusan gunung saat Merapi meletus. Tapi kebulatan tekadnya pada kesetiaan sempat membuat hati saya terenyuh.

Mbah Serani. Seorang wanita berusia 78 tahun. Itu adalah usia saat saya berkunjung ke kediamannya yang sangat sederhana 12 tahun lalu. Orang-orang desa yang bernama Sumber Wringin, sering menyebut lokasi tempat tinggal mbah Serani sebagai pondok motor. Maksudnya, di sinilah lokasi terakhir kendaraan roda dua bisa digunakan di jalan makadam (bebatuan, red) yang mendaki. Selanjutnya adalah jalan setapak kecil yang hanya bisa dilalui dengan berjalan kaki.

Tidak ada sumber mata air di sana, termasuk sumur. Air memang sesuatu yang langka bagi warga yang tinggal di kaki gunung tersebut. Untuk mendapatkan air, warga harus “turun” hingga ke desa tetangganya. Termasuk juga mbah Serani. Sekali waktu ia “turun” untuk mengambil persediaan air. Namun, tak jarang ada juga warga yang berbaik hati mengantarkan persediaan air untuknya. Apa yang dilakukan si-mbah di tempat terpencil seperti itu? Ia mengaku punya tugas menjaga gunung Raung bersama suaminya. Pun, saat sang suami sudah meninggal. Oh ya, saya hampir lupa mengatakan bahwa si-mbah tidak bisa berbahasa Indonesia. Ia cuma kenal satu bahasa, bahasa Madura.

Ada cerita yang membuat saya trenyuh. Suatu saat seorang warga yang cukup berbaik hati, datang menyambangi mbah Serani dan suaminya sambil membawa persediaan air dan bahan makanan ala kadarnya. Beberapa waktu kemudian, ia datang lagi. Tapi yang ditemui cuma si-mbah sendiri. Saat ditanyakan kemana suaminya, si-mbah menjawab sedang beristirahat sambil menunjuk gundukan tanah persis di depan pondok rumahnya. Makam sang suami! Ia ternyata menggali sendiri lubang makam saat suaminya meninggal, kemudian mengebumikannya di sana.

Saat berada di sana, saya jadi tahu. mbah Serani ternyata tidak pernah mengganggap suaminya meninggal. Beberapa kali, di tengah aktifitasnya menyapu halaman atau mencari kayu bakar, ia mendatangi makam suaminya. Mengajak berbicara kemudian menepuk-nepuk gundukan tanah yang sudah keras tersebut. Begitu terus, berkali-kali.

Melalui jasa seorang warga setempat yang saya bawa sebagai penerjemah bahasa Madura, saya sempat ngobrol bersamanya. Ada dua hal yang membuat ia tetap tinggal menyendiri di sana. Pertama, “tanggung jawab”-nya untuk menjaga gunung Raung. Kedua, keinginannya untuk tidak mau berpisah dengan sang suami.

Kalau ingat beliau, kadang saya juga jadi ingat film Dantes Peak. Film yang dibintangi Pierce Brosnan tentang letusan gunung berapi di sebuah kota kecil di Amerika Serikat. Walikota daerah kecil yang terletak persis di kaki gunung tersebut, punya ibu yang tinggal menyendiri. Persis di kaki menuju puncaknya. Pierce Brosnan adalah seorang ahli vulkanologi yang bisa mendeteksi dengan tepat bahwa gunung tersebut akan segera meletus. Saat letusan gunung terjadi, ibu tua tersebut ternyata tetap tidak mau meninggalkan kediamannya. Alasannya sederhana. Ia tidak ingin meninggalkan kenangan yang sudah dibangun bersama almarhum suaminya.

Rada mirip, tapi beda. Walau sama-sama tinggal di gunung yang masih aktif, mbah Serani mungkin belum pernah merasakan letusan yang terjadi di gunung Raung. Satu lagi, yang satu adalah kisah fiksi ilmiah bertema disaster. Sementara yang di gunung Raung adalah nyata. (bintoro suryo)

Contact person :
noe_saja@yahoo.co.id

Manusia Belerang

Berapa pendapatan anda dalam sebulan? Bagaimana cara anda memperolehnya? Jawabannya mungkin bisa bermacam-macam. Ada yang menggunakan kelebihan skill yang dimiliki. Bisa juga menggunakan otak sebagai tumpuan beban kerja. Yang lain menggunakan fisik kasar dan tenaganya untuk menghasilkan lembaran rupiah.

Klasifikasi saya ini tidak termasuk bagi mereka yang menggunakan otak secara licik atau tenaga secara kasar untuk mengambil yang bukan haknya. Saya tidak sampai hati memasukkan dua kategori terakhir karena teringat manusia belerang di gunung Welirang.

Manusia belerang adalah kelompok masyarakat bagian kita yang menggantungkan hidup dari mencari belerang di puncak-puncak gunung. Jarak dan waktu bukan masalah bagi mereka. Termasuk juga dengan nominal rupiah yang diterima sebagai alat tukar belerang yang mereka bawa.

Mengawali kerja saat matahari belum terbit dan kembali ke rumah saat matahari sudah tenggelam. Manusia belerang biasa menempuh jarak menuju puncak-puncak gunung yang memiliki kandungan belerang dengan waktu 6 hingga 7 jam. Beberapa jam mengumpulkan bongkahan batu belerang yang berwarna kekuning-kuningan, mereka kemudian harus menempuh kembali perjalanan pulang yang menurun dengan waktu 3 hingga 4 jam. Bongkahan batu belerang yang mereka bawa per orang, biasanya mencapai 30 hingga 40 kilogram. Pada tahun 1998, hasil yang mereka bawa bisa ditukar dengan lembaran rupiah senilai Rp. 5000 hingga Rp 8000,-.

Di kaki gunung Welirang Jawa Timur, ada belasan bahkan mungkin puluhan warga yang menggantungkan hidup dari usaha mencari belerang di puncak gunungnya. Modal mereka cuma beberapa lembar karung atau keranjang anyaman bamboo untuk diisi bongkahan batu belerang, pikulan dari kayu yang kokoh serta golok atau parang yang diselipkan di pinggang. Yang lain biasanya modal pendukung kerja seperti nasi putih dengan lauk tempe atau tahu yang dibungkus daun pisang serta botol berisi air minum.

Di kawah puncak, mereka bisa mencari belerang yang masih mendidih yang didapatkan dengan cara mengalirkannya langsung dari dapur magma melalui pipa-pipa yang terbuat dari tanah liat. Setelah terasa dingin, barulah belerang dapat diambil untuk ditimbang di tempat penampungan warga setempat

Salah satu yang pernah saya kenal, namanya pak Pardi. Usianya sudah tidak bisa dibilang muda, 43 tahun. Sedari muda ia sudah menggeluti pekerjaan sebagai pencari belerang. Walau hasilnya tidak seberapa, pak Pardi mengaku senang. Hasil bayaran belerang, sebenarnya hanya cukup untuk hidup sehari bersama keluarga. Makanya, pak Pardi kadang nekad mencari dan membawa turun belerang dari puncak melebihi beban yang biasa dipikul. Biasanya, hal itu dilakukan saat akan melunasi biaya sekolah anak-anaknya atau ada kebutuhan mendadak. Tak jarang, anak sulungnya yang sudah remaja ikut membantu.

Kulit pak Pardi sudah mulai longgar karena termakan usia, tapi urat-urat tangannya kelihatan kekar. Tulang bahunya cekung dan dalam. Mungkin karena terlalu lama dan sering memikul beban puluhan kilogram bongkahan belerang selama berjam-jam setiap hari.

Saat singgah di rumahnya, saya jadi lebih tahu kenapa orang-orang seperti pak Pardi bisa terus setia menjalani hidup sebagai manusia belerang. Mereka memang tidak punya keinginan yang muluk-muluk dalam hidup. Pola pikir dan hidup mereka adalah rutinitas yang biasa dijalani dan bersifat turun temurun. Rutinitas adalah pola hidup yang lurus. (bintoro suryo)

Contact person :
noe_saja@yahoo.co.id

Foto: Wahyu ‘Mamik’ Triatmojo

Wednesday, September 17, 2008

Around The World in 86 Minutes!

Jules Verne, kakek dari semua penulis novel khayalan ilmiah, telah menjadi penulis yang diterima oleh umum. Fantasi-fantasinya sudah bukan lagi khayalan ilmiah. Para astronot sekarang berkeliling dunia bukan dalam tempo 80 hari, melainkan dalam 86 menit!

Kita sekarang akan menguraikan apa yang mungkin akan terjadi pada suatu penerbangan imajiner dengan kapal ruang angkasa; namun penerbangan khayalan ini kemungkinannya untuk diadakan akan lebih pendek waktunya dari pada waktu yang diperlukan untuk menyingkat waktu perjalanan keliling dunia gagasan Julius Verne, dari 80 hari menjadi perjalanan kilat 86 menit.Tetapi sebaliknya kita tidak menggunakan ukuran waktu yang sesingkat itu. Lebih baik kalau kita misalkan bahwa kapal ruang angkasa kita akan berangkat menuju ke suatu matahari yang belum dikenal, yang jauhnya membutuhkan waktu penerbangan 150 tahun. Kapal ruang angkasa itu ukurannya sebesar kapal Samudra zaman sekarang dan karenanya berat luncurnya akan seberat 100.000 ton dengan membawa bahan bakar seberat 99.800 ton. jadi berat perlengkapannya 200 ton. Tidak mungkin ?.

Kita telah mampu merakit kapal ruang angkasa sesuku demi sesuku sambil mengorbitkannya mengitari suatu planet. Namun dalam waktu kurang dari dua puluh tahun, hasil rakitan ini sudah tidak diperlukan lagi, karena ada kemungkinan bagi kita untuk menyiapkan sebuah kapal ruang angkasa raksasa yang akan diluncurkan ke bulan. Di samping itu, penelitian untuk membuat roket pendorong sedang berjalan dengan giatnya, mesin-mesin roket mendatang akan digerakkan oleh tenaga nuklir dan akan bergerak dengan kecepatan yang hampir mendekati kecepatan cahaya. Suatu metode baru yang hebat dalam peroketan yakni “roket photon” yang akan dicoba.

Kemungkinan pelaksanaannya telah dibuktikan dengan mengadakan experimen uji fisik partikel-partikel utamanya satu demi satu. Bahan bakar yang dibawa oleh roket photon akan memungkinkan kecepatan roket mendekati kecepatan cahaya sedemikian rupa, sehingga efek dari relativitas, terutama variasi waktu antara tempat peluncuran dan kapal ruang angkasa dapat bekerja sepenuhnya. Penembakan bahan bakar akan ditransformasikan menjadi radiasi elektromagnit dan di pancarkan dalam bentuk pancaran daya dorong yang berkelompok-kelompok dengan kecepatan cahaya. Secara teori kapal ruang angkasa yang diperlengkapi dengan daya dorong photon dapat mencapai kecepatan 99 persen dari kecepatan cahaya. Dengan kecepatan ini batas-batas pinggiran tata surya kita akan dapat didobrak.

Suatu khayalan yang benar-benar dapat membuat cita-cita menjadi kenyataan. Tetapi kita yang sekarang
sedang ada di ambang abad baru hendaknya tidak lupa bahwa langkah-langkah kemajuan teknologi yang
dialami kakek nenek kita seperti: “Kereta api, listrik, telegrap, mobil pertama, kapal udara pertama; cukup
mengejutkan mereka pada waktu itu.

Kita sendiri beberapa tahun atau beberapa puluh tahun yang lalu, baru untuk pertama kalinya mendengar musik lewat radio, melihat TV berwarna, melihat peluncuran pesawat ruang angkasa, dan melihat para astronot benar-benar berjalan-jalan di permukaan bulan. Kita juga mulai terbiasa menerima berita serta foto-foto dari satelit yang sedang mengorbit mengitari bumi. Cucu dan cicit kita mungkin akan mengadakan wisata antar bintang dan mengadakan penyelidikan kosmos di Perguruan-perguruan Tinggi!!

Mari kita ikuti penerbangan kapal ruang angkasa imajiner kita yang sedang menuju ke bintang. Tempatnya tetap tapi nun jauh sekali di sana. Barangkali akan lucu pula kalau kita mencoba membayangkan apa yang dilakukan awak kapal itu untuk menghilangkan waktu lama dalam penerbangan.

Mengapa? Karena betapa pun jauhnya jarak yang mereka tempuh dan betapa lambat pun waktu merayap bagi mereka yang tertinggal di bumi, teori relativitas dari Einstein masih tetap berlaku. Mungkin kedengarannya aneh dan tidak masuk akal tapi benar bahwa waktu itu merayap lambat sekali dalam pesawat ruang angkasa yang terbang dengan kecepatan di bawah kecepatan cahaya, bahkan lebih lambat dari pada di bumi.

Sebagai contoh, waktu 108 tahun bagi orang di bumi, bagi awak kapal dalam penerbangan alam semesta hanya 10 tahun. Perbedaan waktu antara wisatawan ruang angkasa dan orang di bumi dapat dihitung dengan persamaan dasar roket yang diuraikan oleh Profesor Acheret

VW 1-1(1-t)2 w/c
WC 11+(1-t) 2 w/c 1

di mana V = kecepatan; W = kecepatan jet; C = kecepatan cahaya; t = berat bahan bakar pada waktu lepas
landas.

Pada saat kapal ruang angkasa kita itu mendekati bintang tujuannya, para awak kapal akan mengamati planet-planet; membetulkan posisi mereka, melakukan analisa spektrum, mengukur gravitasi dan menghitung beberapa orbit. Dan akhirnya mereka akan menemukan planet tempat pendaratan yang keadaannya paling menyerupai keadaan di bumi.

Kalau kapal ruang angkasa kita itu hanya terdiri dari alat-alat perlengkapan saja, maka setelah penerbangan sejauh katakanlah 80 tahun cahaya karena semua energi telah habis terpakai, para awaknya harus mengisi kembali tangki bahan bakarnya dengan bahan-bahan yang dapat diuraikan secara kimiawi. Kemudian misalnya saja planet yang dipilih sebagai tempat pendaratan itu segala-galanya sama dengan di bumi kita.

Seperti telah saya katakan permisalan ini sama sekali bukanlah tidak mungkin. Kemudian kita memberanikan diri pula untuk memisalkan bahwa peradaban di planet yang dikunjungi ini perkembangannya sudah setaraf dengan keadaan bumi kita 8.000 tahun yang lalu. Keadaan ini sudah tentu ditetapkan dengan menggunakan instrumen-instrumen dalam kapal ruang angkasa sebelum mendarat.

Para wisatawan ruang angkasa ini sudah tentu dalam penerbangannya pernah singgah di tempat yang dekat sekali kepada persediaan bahan-bahan yang dapat diuraikan secara kimiawi untuk mengisi energi instrumen-instrumen mereka dengan cepat, dan dengan tepat menunjukkan di pegunungan mana bisa didapat uranium.

Pendaratan dilakukan sesuai dengan rencana. Parawisatawan angkasa itu melihat makhluk hidup sedang membuat alat-alat dari batu; dilihatnya pula mereka sedang memburu dan membunuh marga satwa dengan menggunakan tombak; biri-biri dan kambing kelihatan bergerombol sedang merumput di padang rumput; para perajin kelihatan sedang membuat alat-alat sederhana untuk keperluan rumah tangga. Wajah aneh menyambut kedatangan para astronot kita. Tetapi apa yang dipikirkan oleh makhluk primitif dari planet itu tentang benda aneh yang baru saja mendarat di sana, dan sosok-sosok tubuh yang ke luar dari benda aneh itu dianggapnya apa ?

Hendaknya kita tidak lupa bahwa kita pun 8.000 tahun yang lalu pernah menjadi makhluk setengah biadab. Oleh karena itu tidaklah mengejutkan kalau makhluk setengah biadab yang mengalami peristiwa ini menyembunyikan mukanya ke tanah dan tak berani memandang para astronot itu. Sampai sekarang mereka itu masih menyembah matahari dan bulan. Dan sekarang terjadilah goncangan bumi, para dewa turun dari langit; demikian pikir makhluk-makhluk primitif di planet itu.

Penghuni planet itu sambil sembunyi di tempat mau mengamati para wisatawan ruang angkasa kita, yang
memakai topi aneh, topi bertanduk sebatang logam, helm berantena; mereka keheran-heranan ketika malam gelap gulita menjadi terang benderang seperti siang oleh lampu-lampu sorot/pencari; mereka ngeri melihat orang asing itu di mana dapat dengan mudahnya membumbung ke atas dengan sabuk roket, mereka menyembunyikan lagi kepalanya ke dalam tanah ketika helikopter menderu, mendengus dan mendengung, membumbung tinggi ke atas; dan akhirnya mereka lari menuju tempat pengungsian dalam gua-gua ketika terdengar suara menggelegar dan menakutkan dari gunung-gunung karena ledakan percobaan.

Tak ayal lagi para astronot kita itu pasti dianggap dewa yang sakti oleh manusia primitif ini! Sehari-harian para wisatawan ruang angkasa kita ini melakukan pekerjaan mereka yang sulit rumit itu, dan setelah lewat beberapa waktu, barangkali datanglah delegasi yang terdiri dari para pendeta dan dukun-dukun mendekati para astronot itu dengan maksud mengadakan hubungan langsung dengan para dewa. Mereka membawa sesajen-sesajen untuk menghormati atau menyembah para tamu mereka. Masuk akal kiranya kalau angkasawan kita itu akan dengan cepat mempelajari bahasa penduduk setempat dengan menggunakan komputer, sehingga mereka dapat mengucapkan terimakasih atas keramahan tuan rumah.

Namun walaupun diterangkan kepada manusia setengah beradab ini dalam bahasa mereka, bah wa sebenarnya tidak ada dewa yang datang mendarat, bahwa tidak ada makhluk dari yang datang berkunjung ke sana yang lebih tinggi derajatnya dan patut dikagumi; tetap tidak berhasil. Teman-teman primitip kita itu tetap tidak percaya.

Para wisatawan ruang angkasa itu datang dari bintang-bintang lain, mereka nyata sekali mempunyai kekuatan yang dahsyat dan mampu untuk memperlihatkan kekuatan-kekuatan gaib. Mereka itu pasti para dewa, demikian anggapan penduduk planet itu. Dalam usaha para angkasawan itu untuk menjelaskan segala sesuatunya tak berhasil mencapai titik temu pembicaraan untuk dapat menawarkan bantuan apa saja kepada penduduk itu. Pokok pembicaraan semacam itu sama sekali tak terpikirkan oleh penduduk yang telah dikejutkan oleh kedatangan para wisatawan ruang angkasa itu.

Sekalipun tak mungkin untuk membayangkan semua hal yang bakal terjadi, tetapi sejak hari pendaratan hal berikut ini kiranya dapat memberikan gambaran tentang rencana yang telah dipikirkan sebelumnya. Sebagian dari penduduk dapat dibujuk dan dilatih untuk membantu dalam penelitian sebuah kawah yang terjadi karena ledakan untuk mendapatkan bahan-bahan yang dapat diuraikan secara kimiawi, sehingga dapat digunakan, sebagai bahan bakar untuk pulang ke bumi. Orang yang paling cerdas di antara penduduk mungkin dipilih menjadi “Raja”.

Sebagai ciri yang dilihat tentang kemampuannya, mungkin ia diberi sebuah pesawat radio sebagai alat untuk berkomunikasi dengan para dewa itu. Para astronot kita itu mungkin mencoba mengajarkan bentuk-bentuk peradaban sederhana dan konsep-konsep moral kepada mereka, untuk memudahkan perkembangan tatasosial. Beberapa wanita pilihan mungkin dinikahi oleh para astronot. Jadi mungkin timbul suatu ras baru yang melompati suatu fase atau tahap dalam evolusi bangsa secara alamiah.

Dari perkembangan kita sendiri dapat kita ketahui berapa lamanya waktu yang diperlukan untuk mendidik ras ini menjadi akhli ruang angkasa. Karena itu sebelum para astronot kita terbang kembali ke bumi, mungkin mereka meninggalkan suatu tanda yang dapat dilihat dengan jelas dan yang hanya dapat dipahami jauh di masa mendatang oleh masyarakat yang taraf pengetahuannya di bidang tehnik dan matematika sudah tinggi.

Tiap usaha untuk mengingatkan anak didik kita itu akan bahaya yang terkandung di dalamnya sedikit sekali kemungkinannya untuk berhasil. Sekalipun kita perlihatkan kepada mereka film-film yang mengerikan tentang peperangan antara planet dan ledakan ledakan atom, usaha itu tak akan dapat mencegah makhluk-makhluk yang hidup di planet ini berbuat ketololan yang sama: seperti terus-menerus bermain dengan nyala api peperangan yang dapat membakar itu.

Sementara kapal ruang angkasa kita menghilang ke dalam kabut alam semesta, teman kita di planet itu akan berceritera tentang keajaiban yang baru terjadi; “Para dewa itu pernah ada di sini”. Mereka akan menterjemahkan keajaiban itu ke dalam bahasa mereka yang sederhana dan menjadikannya sebagai suatu
hikayat yang akan diwariskan turun-temurun kepada anak cucu mereka; akan menjadi tanda kenangkenangan, dan segala apa yang ditinggalkan para wisatawan ruang angkasa itu akan mereka jadikan sebagai benda pusaka yang keramat.

Andaikata teman kita itu pandai menulis, mungkin mereka akan membuat catatan tentang apa yang telah terjadi: “Gaib, mengerikan, menakjubkan”. Tulisan mereka akan menceritakan dan menggambarkan bahwa para dewa yang berpakaian emas pernah ada di sana dalam kapal terbang yang mendarat dengan gaduh yang dahsyat. Mereka akan menulis ceritera tentang kendaraan perang yang di kendarai para dewa di darat dan di laut, dan tentang senjata-senjata yang mengerikan menyerupai petir, dan akan menceritakan bahwa para dewa itu berjanji akan datang kembali.

Apa yang telah mereka lihat itu akan mereka abadikan pada batubatu atau karang dengan Dahat dan Dalu; seperti raksasa tanpa bentuk, berhelm dan bertanduk sebatang logam, dan memakai kotak pada dadanya. Bola-bola yang dikendarai di udara oleh makhluk-makhluk yang tak dapat dilukiskan; batangan-batangan yang dapat menembakkan sinar bagaikan matahari; bentuk-bentuk aneh menyerupai serangga raksasa yang sebenarnya tak lain dari pada sejenis kendaraan.

Fantasi dari lukisan tentang kunjungan kapal ruang angkasa kita itu tak terbatas banyaknya. Nanti akan kita lihat bekas apa saja yang diukir atau di pahat para dewa yang telah mengunjungi bumi di zaman purbakala yang telah silam, pada batu-batu bertuliskan sejarah masa lampau. Sangatlah mudah untuk membuat sketsa tentang perkembangan berikutnya dari planet yang dikunjungi kapal ruang angkasa kita.

Penduduknya telah banyak belajar dengan jalan mengintip para dewa; tempat di mana kapal ruang angkasa pernah berdiri, akan dijadikan tanah suci, suatu tempat orang berziarah; perbuatan-perbuatan heroik dari para dewa akan disanjung dalam nyanyian. Di atas tanah itu akan didirikan piramida dan kuil yang sudah tentu sesuai dengan hukum-hukum astronomis. Penduduk bertambah, peperangan menghancurkan tempat para dewa. Kemudian muncul generasi baru yang menemukan kembali dan menggali tempat-tempat suci itu, dan mencoba menginterpretasikan tanda-tanda yang ditinggalkan para astronot kita.

Inilah tingkat yang kita capai sampai sekarang. Sekarang setelah kita mendaratkan manusia di permukaan bulan, alam pikiran kita terbuka bagi wisatawan ruang angkasa. Kita mengetahui efek dari kedatangan kapal samudra yang mendadak kepada rakyat primitif misalnya di Kepulauan South Sea. Kita mengetahui efek yang merusak datang dari peradaban lain, seperti Corfes pada Amerika Selatan. Maka dengan demikian kita dapat mengerti sekalipun samar-samar tentang pengaruh yang kuat dan fantastis dari kedatangan pesawat ruang angkasa di zaman pra sejarah.

Kita harus melihat sekali lagi pada deretan pertanyaan-pertanyaan itu yakni pada serentetan misteri atau kegaiban yang tak terjelaskan itu. Dapatkah semua itu kita mengerti, seperti halnya dengan sisa-sisa peninggalan dari para wisatawan ruang angkasa dari zaman pra sejarah? Apakah semua itu dapat membawa kita ke masa silam tetapi tetap ada kaitannya dengan rencana-rencana kita untuk masa depan? (bintoro suryo/ berbagai sumber)

Contact person :
noe_saja@yahoo.co.id

Jules Verne

Kapan anda pertama kali mendengar atau mengenal nama Jules Verne? Kalau saya baru sekitar 18 tahun yang lalu. Bukan dari buku atau jurnal literasi ilmiah. Tapi dari film fiksi khayalan tiga sekuel yang bersetting tahun 1985, 1955 dan 1885! Saat itu, Julles Verne benar-benar nama yang asing tapi begitu menggelitik bagi saya yang masih bocah!

Seorang “ilmuwan khayalan” yang “gila” datang dari tahun 1885. Doc Brown, anda mungkin masih ingat dengan salah satu tokoh di film back to the future. Doc yang sudah merantau ke masa seratus tahun sebelumnya, datang mengunjungi mahasiswa kesayangannya, Marty Mc Fly di tahun 1985. Ia menggunakan mesin waktu berbentuk lokomotif berbahan batu bara. Ini memang film nyeleneh yang menggunakan dasar dari teori relatifitas Einsten ; E = MC2. Andalannya untuk menjelajahi waktu adalah kapasitor Flux!

Doc Brown datang dengan seorang istri dari masa lampau dan dua orang anak lelaki hasil perkawinannya dari masa seratus tahun sebelumnya. Doc menikahi seorang wanita yang berusia puluhan, bahkan mungkin ratusan tahun di atasnya. Tapi, bukan itu yang menarik perhatian saya. Tapi saat Doc memperkenalkan kedua anaknya ke Marty Mc Fly.

“ Marty, this my sons. Julles and Verne! Teriak Doc dari atas lokomotif ajaibnya.

Selanjutnya? Tidak ada selanjutnya dalam film itu. Ucapan Doc Brown barusan juga menandai berakhirnya film sekuel ketiga dari Back to the future. Anda mungkin sudah pernah menyaksikannya? Atau malah belum?

Jules dan Verne. Nah ini dia. Saat itu saya merasa nama itu lebih cocok diberikan kepada satu orang, Jules Verne bukan Jules dan Verne seperti kata Doc Brown. Otak kecil saya langsung berusaha mencari nama itu di buku-buku pelajaran sejarah sekolah, buku Rangkuman Pengetahuan Umum (RPU, red), buku pintar dan juga atlas peta dunia (pikir saya : siapa tahu Julles Verne adalah nama pulau, kota atau daerah di dunia, red). Tapi memang tidak ketemu. Zaman segitu, saya memang belum bisa memanfaatkan kemajuan teknologi via internet. Internet cuma ada di film-film barat yang hanya bisa disaksikan, tapi tidak bisa digunakan.

Dari hasil cari-cari, belakangan (wah, terlambat ya) saya baru tahu. Jules Verne lahir di Nantes tahun 1828. Setelah lulus kuliah di Fakultas Hukum, dia tidak menjadi pengacara, tetapi justru menjadi penulis cerita khayalan. Para kritikus sastra menyebutnya Inovator Fiksi Ilmiah, karena kemampuannya dalam menggabungkan unsur prosa naratif sastra yang indah dengan unsur ilmu pengetahuan dan teknologi yang pelik dan rumit serta jauh melampaui masanya waktu itu.

Dalam seluruh karya tulisnya yang berjumlah hampir 60 buah, Jules banyak memperkenalkan teknologi canggih masa depan meliputi penciptaan alat transportasi udara, laut, tanah (termasuk kapal selam modern, mobil, kereta api, kapal laut, pesawat terbang), radio, televisi, telepon, perjalanan ke bulan, perjalanan keliling dunia dan masih banyak lagi hal yang saat ini telah kita temukan kegunaannya yang sangat nyata.

Jules merupakan salah satu penulis dan pengarang jenius pada masanya dan juga salah satu figur sastrawan paling dihormati semua orang di dunia hingga sekarang. Sastrawan jenius ini meninggal dunia tahun 1905, meninggalkan karya-karya fiksi-ilmiah, fantasi, dan petualangan hebat yang masih dapat kita nikmati saat ini.

Saat saya tahu siapa Jules Verne, saya kok malah ingin jadi seperti dia. Apa yang saya lakukan? Saya menanggalkan gelar sarjana yang sudah saya raih, kesempatan dan khayalan untuk bisa bekerja sebagai seorang engineer di daerah “perawan”. Akhirnya, di sinilah saya. Jadi jurnalist tanggung yang ternyata jauh dari sosok Jules Verne. (bintoro suryo)

Contact person :

noe_saja@yahoo.co.id

Spesialis Pesawat Baling-Baling

Sudah 15 tahun Feri Novara (38) menjalani profesinya sebagai pilot. Menjelajah wilayah udara di Nusantara dengan pesawat berbaling-baling. Kejadian menakutkan-pun dialaminya. Pernah terbang, mesinnya mati satu.

Suara desingan baling-baling pesawat Fokker 50 terdengar nyaring ditelinga. Tak lama kemudian Fokker 50 milik RAL-pun take off di Bandara Hang Nadim- Batam menuju Dabo Singkep membawa 38 penumpang. Sang pilot yang bertugas siang itu ternyata Feri Novara (38). Dia alumni Djuanda Flying School di Surabaya.

Hari itu, Feri Novara terbang bolak balik mengantar penumpang di rute-rute yang diterbangi RAL. ”Sejak pagi kita terbang, dari Jambi pukul 07.30, terus ke Batam, Natuna, Batam, Dabosingkep, Batam, Tanjung Pinang dan Pekanbaru,” kata Feri Novara.

Menghabiskan waktu di langit dengan menerbangkan pesawat sudah jadi kesehariannya. ”Kalau saya exciting dengan penerbangan. Dari dulu memang hobi terbang,” kata Feri. Tidak salah Feri Novara pun sudah 15 tahunan menjalani profesinya sebagai pilot. ”Gabung dengan RAL sih baru dua tahun. Sebelumnya di Pelita Air Service, pesawat carteran, juga di Indonesia Air Transport,” kata Feri saat ditemui Batam Pos ketika telah mendarat di Bandara Udara Dabo, Selasa (2/9).

Jenis pesawat yang diterbangkan Feri hampir semuanya berbaling-baling semua. ”Sejak dulu saya terbangkan pesawat seperti ini (Fokker50-red), banyak sih modelnya seperti pesawat Cassa 212,” katanya.

Meski sudah 15 tahun jadi pilot dan punya jam terbang 10 ribuan, tetap saja sebagai seorang pilot, Feri menuturkan harus mempelajari buku panduan untuk menerbangkan pesawat. Seperti sore itu saat saat Batam Pos menemuinya di dalam pesawat Fokker 50. Feri Novara bersama temannya yang bertugas sebagai First Officer,Bonifacius Wijayadi (65) tampak serius membaca buku Air Craft Operation Manual.

”Kami memang harus tetap baca ini (buku panduan). Setiap 6 bulan sekali ada ujian lagi,” kata Feri.

Bukan lantaran ujian saja seorang pilot wajib baca buku panduan, tapi utamanya demi keselamatan membawa para penumpang saat bertugas. ”Insyaallah, kalau kita berpegangan pada ini(buku panduan) dan sudah sesuai prosedur, kita bisa selamat. Tapi kalau masih juga terjadi kecelakaan, itu Kuasa Yang Di Atas, kita tidak bisa apa-apa,” tuturnya.

Tidak mudah menerbangkan pesawat. Selain harus menguasai secara teknik, juga dihadapkan pada kondisi alam di langit yang bisa membahayakan. ”Kayak kalau ada turbulance. Itu bisa bikin sayap pesawat patah,” katanya.

Terbang di udara juga bisa seperti di darat saat melawatii jalan berlubang. ”Itu bisa terjadi pas terbang saat cuaca buruk,” tambah First Officer, Bonifacius Wijayadi (65) yang saat itu disamping Feri Novara.

”Tidak gampang,” tambah Feri Novara kembali menegaskan tantangan profesi yang dijalaninya.

Selama jadi pilot, dia juga tidak luput dari kejadian terburuk. ”Tahun 2000 saya pernah terbang, mesinnya mati satu. Tapi bisa selamat,” kata Feri. Logikanya memang sangat menakutkan, kalau saat terbang mesin pesawatnya mati. Soalnya otomatis pesawat yang diterbangkan akan terjatuh. ”Gimana, kita di udara, tidak punya kaki. Mesin mati, ya kita jatuh,” katanya.

Saat-saat seperti itulah butuh tindakan tepat dan cepat dari sang pilot.”Kalau ada yang membahayakan saat terbang.Yang pertama-tama, dilakukan pilot adalah ambil sikap tenang dan cepat tanggap. Oh, ini keadaannya begini, saya harus cepat bertindak begini,” katanya.

Lima belas tahun menjadi pilot, Feri Novara sudah menjelajahi udara di Nusantara. Dari Papua, Sulawesi, Kalimantan, Jawa, Sumatera, dan Kepri. Dari sekian wilayah udara di Nusantara, paling tersulit menerbangkan pesawat ke wilayah udara Matak. ”Di sana, kita menerbangkan pesawat di celah-celah gunung. Belum lagi tipikal cuacanya yang cepat berubah, Tapi tetap soal cuaca bisa kita prediksi,” katanya.

Menanggapi banyaknya kecelakaan pesawat belakangan Feri menuturkan setiap pilot pasti melakukan tindakan terbaik. Tapi bila masih terjadi kecelakaan hal itu kuasa Allah. Begitu juga saat terjadi keterlambatan dan penundaan jadwal penerbangan. Itu juga adalah hal terbaik. Seperti hari itu setelah RAL mendarat di Dabo Singkep. Semestinya RAL terbang lagi ke Batam setelah setengah jam di Dabo Singkep. Tapi di luar kuasa manusia, sore itu ternyata cuaca buruk terjadi di wilayah udara Batam.

Berkali-kali Feri Novara mendapat laporan keadaan cuaca disecarik kertas dari seorang petugas. Disitu tertera informasi cuaca Batam ‘Jarak pandangnya1200 meter, ada petir, Awan Terendah 300 meter. ”Tunggu dululah, (jangan terbang dulu-red),” kata Feri mengambil sikap usai menerima laporan cuaca di udara Batam yang ternyata kurang bagus.

Feri menuturkan dalam keadaan cuaca seperti ini pesawat tidak bisa diterbangkan sesuai aturannya . Untuk jarak pandang saja misalnya aturannya minimal harus 5 kilo. Terus jarak pandangnya minimal 1500 meter. Alhasil gara-gara cuaca buruk, hari itu Jadwal keberangkatan RAL dari Dabo Singkep ke Batam ditunda sekitar satu jam kemudian. Itu semua demi keselamatan semuanya. (andriani susilawati)

Ngabuburit di Taman Bacaan

Banyak alternatif tempat untuk ngabuburit selama menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadan ini. Selain masjid dan pantai, ngabuburit bisa dilakukan di taman bacaan. Untuk di Batam, ada Taman Bacaan Silhouette di Ruko Duta Mas Batam Centre. Beberapa orang tampak asyik ngabuburit di taman bacaan Silhouette pada Selasa (9/9).

”Dari pada bengong di rumah. Lebih bagus ngabuburit di sini. Banyak dapat ilmu,” kata Sri (28), seorang pengunjung Taman Bacaan Sihouette kepada Batam Pos, Selasa (9/9).

Hari itu, Sri terlihat asyik membaca beberapa majalah wanita muslim. Menurutnya, dengan membaca majalah wanita muslim banyak informasi yang didapat. Salah satunya model kerudung untuk keseharian agar tetap modis. ”Di sini ada juga tip-tip buka puasa,” kata Sri.

Sejak hari pertama puasa, Sri rajin berkunjung ke taman bacaan ini. Maklum, wanita ini kesehariannya kerja sebagai guru private yang tidak terikat waktu kerja. Pengunjung lainnya, Tia (25) mengaku tertarik ngabuburit di taman bacaan karena ingin menjalankan ibadah puasa dengan diisi kegiatan positif. ”Disini, tempatnya nyaman. Terus enggak dipungut biaya kalau baca buku di sini,” ujar Tia mengungkapkan alasan lain tertarik ngabuburit di taman bacaan.

Pemilik Taman Bacaan Silhouette, Silvia mengatakan taman bacaan yang didirikannya didesain senyaman mungkin. Tempatnya terbuka, sehingga udara di dalam Taman Bacaan terasa sejuk. Interiornya juga didesain bergaya cafe. Di taman bacaan ini, pengunjungnya juga dimanjakan dengan koleksi bukunya yang komplit.

Untuk jenis bukunya sangat beragam. Mulai dari bacaan anak, remaja hingga kalangan eksekutif lengkap tersedia disini. Seperti buku-buku agama, wanita, kesehatan, bisnis ekonomi, pariwisata, arsitektur, sejarah, hukum, politik, kamus, novel dan komiks. ”Sampai buku dongeng sebelum tidur juga ada,” kata Silvia.

Bila hari biasanya Taman Bacaan Silhouette buka pukul 12.00 - 22.00 WIB, maka selama ramadan, taman bacaan ini buka mulai pukul 10.00 WIB - 17.00 WIB setiap hari Selasa sampai Minggu. Warga Batam yang tidak puas membaca buku di taman bacaan, bisa meminjam bukunya untuk dibawa pulang ke rumah. Tapi harus menjadi member dulu dengan biaya pendaftaran Rp100 ribu. ”Kalau sudah jadi member, bisa pinjam buku dengan biaya sewa bervariasi mulai Rp3 ribu - Rp8 ribu,” katanya. (andriani susilawati)

Mengisolasi Diri

Hidup selama puluhan tahun berdua. Mereka juga hanya sesekali berinteraksi dengan orang lain. Kediamannya berupa rumah panggung yang sudah usang dan lapuk di sana-sini. Asui, sang suami bekerja sebagai nelayan. Sementara istrinya, Pakiang Liem, memilih berkebun di tanah belakang rumah. Seluas-luas pulau yang didiami, hanya ada mereka berdua. Kalau kebetulan singgah di sana dan lagi “beruntung”, jangan kaget jika mendapati mereka hanya bertelanjang bulat tanpa pakaian sama sekali.

Ini bukan cerita yang mengadopsi filmnya Brooke Shield – Blue Lagoon. Asui dan Pakiang Liem memang menjalaninya dalam kehidupan nyata. Pulau tempat tinggal pasangan itu berjarak 40 menit perjalanan menggunakan perahu klotok atau pompong dari pemukiman warga Dapur 6 kecamatan Galang-Barelang. Tidak ada transportasi regular yang bisa digunakan menuju lokasi. Jadi, kalau mau ke sana, harus menyewa perahu milik warga di Dapur 6.

Informasi keberadaan pasangan itu awalnya saya peroleh dari seorang rekan yang jadi pengurus Perhimpunan Sosial Marga Tionghoa Batam, Saufan Tan. Saufa juga yang mengantarkan saya untuk berkunjung ke sana menggunakan perahu klotok sewaan menjelang akhir tahun 2006 lalu. Ia adalah penggemar berat kegiatan memancing di laut. Dari hobinya itulah Saufa mengenal pasangan Asui dan Pakiang Liem. Kata Saufa, Asui dan Pakiang seperti “Adam dan Hawa” yang tinggal di “Taman Firdaus”. Mereka jarang mengenal orang. Jadi kalau berkomunikasi dengan orang lain agak susah. Tambahan lain, pasangan Asui dan Pakiang juga punya “hobi” unik ; bertelanjang bulat kalau sedang kegerahan. Toh Cuma mereka berdua di pulau itu, kata Saufa….

Pantai di pulau tempat tinggal pasangan itu sangat landai dengan pemandangan yang lumayan meneduhkan mata. Walau tidak terlalu mirip dengan setting lokasi di film blue lagoon, saya jadi berandai-andai bakal bertemu dengan wanita seperti Brooke Shield, wah....

Dari jarak 300-an meter di laut, rumah pasangan Asui dan Pakiang sudah kelihatan. Rumah tua berbentuk panggung yang sama sekali tidak bisa dikatakan bagus. Atapnya dari daun kelapa. Dindingnya menggunakan papan dan kayu besar yang dibelah jadi dua. Posisi rumah yang berada persis di bibir pantai dan menghadap ke laut, memungkinkan penghuninya untuk memantau setiap pergerakan menuju pulau tersebut.

Pantai landai? Eiit ini ternyata bisa jadi jebakan yang cukup merepotkan bagi setiap kapal yang ingin menghampiri ke pulau itu. Apalagi saat pasang surut. Perahu bisa kandas. Salah satu yang jadi korban adalah perahu yang saya tumpangi, kandas hanya berjarak 300 meteran dari bibir pantai.

Dan benar saja. Asui ternyata sudah memantau pergerakan perahu kami. Ia terlihat di teras rumah panggungnya. Tidak menghampiri, tapi mengamati. Baru setelah Saufa berteriak-teriak memanggil namanya, pria paruh baya itu mulai bergerak mendekati. Perawakannya kurus dengan kulit terbakar matahari. tapi guratan wajahnya memang masih menunjukkan wajah keturunan Tionghoa. Asui jugalah yang menolong perahu kami lepas dari karang yang membuat kandas.

Begtu mendekati rumah panggung, seraut wajah lain langsung menyapa kami. Wajah Pakiang Liem ternyata jauh dari bayangan saya tentang sosok di film Blue Lagoon, Brooke Shield. Umur Pakiang lebih tua tiga tahun daripada Asui. Perawakannya juga lebih kurus dengan kulit yang lebih legam. Tapi gurat Tionghoanya tetap kelihatan. Sementara Logat bicara mereka berdua sudah sangat Melayu.

Asui dan Pakiang sudah tinggal berdua di lokasi itu selama 20 tahun lebih. Sebenarnya mereka tidak melulu berdua. Sekitar 15 tahun lalu, pasangan itu pernah memiliki seorang anak. Jadi mereka tinggal bertiga. Sayang, sang anak harus pergi meninggalken mereka terbih dahulu karena terserang penyakit malaria. Keterbatasan pengetahuan dan jauhnya jarak mereka tinggal dengan warga lainnya, membuat penanganan untuk sang anak jadi terlambat.

Bagi Pakiang, Asui adalah suami keduanya. Puluhan tahun sebelum memutuskan tinggal berdua di tempat yang jauh dari keramaian, Pakiang pernah menikah dengan pria lain. Masih warga keturunan Tionghoa. Dari suami pertama, wanita setengah baya itu memperoleh seorang anak perempuan. Ia tidak merawat sendiri anaknya, tapi menyerahkan kepada orang tuanya yang memilih tinggal di Batam. Saat ini, sang anak sudah dewasa tanpa pernah sekalipun bertemu lagi dengannya.

Untuk mengisi hari-harinya berdua dengan sang suami yang sekarang, Pakiang memilih berkebun di tanahnya yang luas di belakang rumah mereka. Tapi, ia hanya mampu menggunakan sekitar 400 meter persegi saja dari seluas-luas pulau yang mereka diami berdua tersebut. Tanah yang dimanfaatkan, ditanami kelapa, pohon pisang dan ketela. Pakiang juga memelihara 5 ekor anjing. 2 diantaranya sepasang yang sudah dewasa. 3 lainnya adalah anak-anaknya. Wanita ini mengganggap anjing-anjing piaraannya sebagai anak-anaknya sendiri.

Sang suami, Asui adalah seorang nelayan. Ia biasa pergi ke laut untuk mengambil ikan sekedarnya sebagai bahan makanan. Sesekali, Asui juga mencari hasil tangkapan berlebih untuk dijual di daerah Dapur 6 Galang. Hasilnya dibelikan beras dan perlengkapan dapur, termasuk perangkat hio dan dupa untuk ibadah.

Kehidupan mereka benar-benar masih sangat sederhana. Di rumah panggungnya tidak ada kursi, tape compo apalagi televisi. Yang ada hanya perangkat jaring untuk menangkap ikan yang digantung-gantungkan di dalam rumah, beberapa panci yang sudah peyok dan menghitam karena dignakan untuk memasak menggunakaan kayu bakar serta tikar butut untuk tidur.

Cerita Asui, saking lamanya mereka tinggal berdua di pulau itu, mereka justru tidak betah jika berada di tengah keramaian. Asui hanya sesekali saja datang ke pemukiman warga di dapur enam untuk mencari kebutuhan rumah tangga. Sementara istrinya, Pakiang Liem hanya meninggalkan pulau tempat tinggalnya jika merasa sakit. Lucunya, setiap ia merasa sakit dan demam, Pakiang selalu mengganggapnya sebagai malaria dan harus segera diobati. Wanita itu sepertinya trauma dengan penyakit yang sudah merenggut buah hatinya belasan tahun silam.

Asui juga bercerita, beberapa tahun lalu, ia pernah menolong sekelompok orang yang terdampar di pantai dekat pulaunya karena kapal yang ditumpangi karam. Melihat gelagatnya menurut Asui, orang-orang itu kelihatan sangat asing dan jarang melintas di perairan itu. Dengan maksud menolong, pasangan Asui dan Pakiang akhirnya memberi tumpangan tempat untuk bermalam. Tapi apa yang terjadi? Kelompok orang asing itu ternyata merupakan gerombolan perompak yang baru saja lolos dari kejaran petugas. Saat akan pergi, mereka malah memaksa pasangan itu untuk menyerahkan barang berharganya.

Tapi Asui dan Pakiang tidak bisa menyerahkan apa-apa karena memang tidak punya. Pasangan itu sebenarnya sempat menawarkan untuk mengambil saja jaring penangkap ikan, beberapa panci butut hitam atau tikar usang yang selama ini mereka gunakan. Tapi jelas kawanan perompak keberatan. Mereka akhirnya pergi dengan menggerutu sambil mengancam agar Asui dan Pakiang tidak melaporkan kepada warga lain atau petugas bahwa keduanya pernah melihat kelompok itu… (bintoro suryo)

Sekolah Jadi Rumah

Deraan ekonomi dan kehidupan yang keras, membuat tidak semua kelompok masyarakat di sekitar kita bisa mewujudkan rumah untuk tempat tinggal. Di Tanjung Piayu Laut-Batam, ada kelompok masyarakat yang menggunakan bangunan bekas sekolah sebagai rumah tinggal. Mereka adalah bagian dari masyarakat di sekitar kita yang mungkin belum beruntung bisa memiliki rumah sendiri atau bisa tinggal di tempat yang lebih layak.

Lokasi Tanjung Piayu Laut kurang lebih satu setengah jam perjalanan dari pusat kota Batam. Masih satu daratan dengan kota industri itu. Tapi akses menuju lokasi sangat sulit. Satu-satunya jalur penghubung darat menuju daerah itu adalah melalui jalan tanah dari kelurahan Sei Pancur.
Akses jalur ke sana sebenarnya sudah diperbaharui jadi lebih lebar. Tapi masih tanah dan berliku-liku, naik turun bukit. Jika hujan, jalanan jadi sangat becek. Bisa dipastikan akses menuju lokasi Tanjung Piayu Laut akan terputus untuk sementara waktu. Tidak heran, penduduk di sana lebih senang menggunakan akses dari laut jika ingin ke Batam. Caranya, dengan menggunakan pancung (sejenis perahu ukuran sedang yang diberi mesin tempel, pen) menuju jembatan dua Barelang. Waktu tempuhnya sekitar 30 menit.

Kesan sederhana langsung terasa begitu tiba di lokasi ini. Rumah warganya rata-rata terbuat dari papan dengan kehidupan yang juga masih sederhana. Mata pencaharian penduduknya rata-rata bergantung dari laut. Ada yang jadi nelayan, ada juga yang nyambi jadi penarik boat pancung sewaan untuk wisatawan lokal atau turis Singapura yang ingin memancing di sekitar perairan tersebut.

Diantara banyak rumah di sini, ada sebuah bangunan memanjang yang juga terbuat dari papan. Atapnya seng yang sudah berkarat di sana-sini. Dulunya, ini adalah bangunan SD 012 Tanjung Piayu. Tapi sejak tahun 1993, dibiarkan begitu saja dan tidak digunakan lagi. Pemerintah Kota Batam memang sudah membangunkan sekolah baru yang lebih megah tidak jauh dari lokasi sekolah yang lama. Namanya sekarang SD 002 Tanjung Piayu. Di sanalah anak-anak Piayu Laut mengenyam pendidikan dasar mereka.

Karena deraan ekonomi dan sulitnya hidup, sejak tahun 2004 lalu, bangunan tua bekas sekolah ini mulai ditempati oleh beberapa kepala keluarga. Sebagian merupakan warga dari pulau Akar (sebuah pulau kecil yang terletak di antara perairan pulau Rempang dan Galang, pen). Sebagian lain merupakan penduduk asli Tanjung Piayu Laut yang memang belum punya rumah.

Contohnya saja wanita bernama Mariah. Dulunya, Mariah adalah warga pulau Akar. Sekarang ia menempati ruangan paling pojok dari bekas bangunan sekolah itu. Di dalam rumah Mariah, kondisinya masih seperti ruang kelas yang luas. Tanpa sekat-sekat. Ia meletakkan kasurnya begitu saja di pintu masuk. Sementara salah satu sudut ruangan digunakan sebagai dapur.

Bagi Mariah dan kepala keluarga lain yang tinggal di sini, kehidupan memang sulit. Jangankan berpikir membangun rumah sendiri, memikirkan biaya hidup sehari-hari saja sudah cukup merepotkan.

“Kami dapat izin tinggal di sini dari kepala sekolah”, ujar Mariah

Murniati, seorang guru SD di Tanjung Piayu Laut mengatakan, pihak sekolah memang mengizinkan warga untuk tinggal di bangunan yang sudah tidak terpakai itu. Kegiatan belajar mengajar murid SD di daerah itu, sekarang sepenuhnya sudah dialihkan ke bangunan baru yang lebih megah karena terbuat dari beton. Tidak ada kutipan uang sewa untuk warga yang tinggal di sana. Menurut Murniati, bangunan tua itu memang sudah benar-benar tidak digunakan lagi.

Selain keluarga Mariah, di bangunan bekas sekolah itu, juga tinggal beberapa keluarga lain seperti keluarga Mustafa, keluarga Amat, Mafur dan Muis. Meski bangunan bekas sekolah sudah tua dan banyak bocor di sana sini jika hujan tiba, mereka cukup bersyukur bisa punya tempat tinggal. Sampai sekarang, kondisinya masih sama dengan saat bangunan tersebut difungsikan sebagai sekolahan. Yang membedakannya, di depan bangunan itu sekarang tidak ada lagi tiang bendera untuk mengibarkan sang merah putih. Yang ada, justru kibaran jemuran pakaian milik para penghuninya.

Oya, karena tinggal di bangunan bekas sekolah, di sana tidak ada toilet. Penghuni rumah sekolah biasanya menumpang di toilet warga untuk kegiatan MCK, atau membuang hajat mereka langsung ke laut. (bintoro suryo)

Pesona Kaki Gunung Sinabung


Seperti Provinsi Jawa Barat yang terkenal dengan Puncak di Bogor, Sumatera Utara juga memiliki tempat wisata alam pegunungan. Tepatnya di kaki gunung Sinabung, Brastagi-Medan. Pesona kaki gunung Sinabung dengan suhu udara sekitar 18 derajat Celcius membuat udara disana selalu segar dan dingin.

Anda yang datang melancong ke sana dijamin mendapatkan kesejukan udara yang benar-benar murni khas pegunungan. Udara dingin sepanjang hari dan sepanjang malam di kaki Gunung Sinabung membuat hotel-hotel disana tidak menggunakan AC. Cukup mengandalkan hembusan udara dari jendela, kamar - kamar hotel sudah sejuk seperti ber-AC.
Tiba malam hari siap-siap saja Anda memakai jaket. Soalnya udara dingin di kaki gunung Sinabung akan semakin dingin. Dinginnya terasa sampai menusuk tulang. Jadi jangan lupa untuk bawa baju hangat sebagai persiapan kalau berwisata ke kaki gunung Sinabung.

Banyak turis domestik asal Jakarta dan turis mancanegara asal Singapura dan Malaysia memilih berlibur di kaki gunung Sinabung-Berastagi. Udara sejuk di kaki Gunung Sinabung membuat keluarga ataupun perusahaan merasakan kesan tersendiri. Salah satunya PT Excelcomindo Pratama, perusahaan seluler ini sudah tiga kali menggelar acara gathering di kaki gunung Sinabung.

Gunung Sinabung adalah salah satu gunung berapi yang sudah tidak aktif dan memiliki ketinggian 2.475 mdpl. Untuk menuju ke daerah wisata ini, Anda bisa menggunakan angkutan bus Sinabung Jaya dari Medan. Jaraknya sekitar 66 km dari Kota Medan.

Saya yang ikut serta dalam acara XL Media Gathering pada 30-31 Maret 2007 turut menyaksikan pesona keindahan alam di kaki gunung Sinabung. Bersama 16 media cetak di Sumatera yaitu harian Singgalang, Garuda, Analisa, Waspada, Sinar Indonesia Baru, Posmetro Medan, Global, Realitas, Andalas, Portibi, Sumut Pos, Rakyat Aceh, Medan Bisnis, Sijori Mandiri, Riau Mandiri dan Riau Pos.

Pagi itu, Jumat (30/3), kami berkumpul di kantor XL di jalan Dipenogoro-Medan. Tanpa terasa waktu telah menunjukan jam 10.00WIB, kamipun ramai-ramai menaiki bus menuju kaki gunung Sinabung. Setelah menempuh perjalanan selama 2 jam dengan jalan berkelok-kelok, jurang di kiri dan kanan jalan, akhirnya kamipun tiba di Sinabung Resort Hotel pada tengah hari.

Uhh.. segarnya udara disana. Beda sekali dengan di Kota Medan dan Batam. Meski waktu menunjukan pukul 12.00 WIB, udaranya tetap dingin seperti pagi hari. Sinabung Resort Hotel tempat digelarnya Media Ghatering XL persis berada di kaki Gunung Sinabung.

Cukup banyak fasilitas Sinabung Resort Hotel yang ditujukan untuk menyenangkan orang-orang yang datang berlibur kesana. Di antaranya Kolam renang hangat, lapangan tenis, lapangan golf, arena bermain anak, mini theatre, jogging track, fasilitas outbond dan lainnya. Dari sekian banyak fasilitas Sinabung Resort Hotel, paling menarik untuk dinikmati adalah mengendarai Bugi.

Bugi adalah motor imut roda tiga yang bisa dipakai orang dewasa untuk adu balap bugi. Saat mengendarai bugi kita dapat merasakan seolah-olah menjadi pembalap. Nyalakan starter langsung tancap gas untuk melaju kencang agar menjadi pemenang adu balap bugi. Eit awas hati-hati, bila tidak lihat mengendarainya Anda bisa langsung terjungkal dan celaka.

Menurut Managing Director Sinabung Resort Hotel, Lido H Hutabarat, permainan bugi cukup banyak diminati tamu hotel. Khususnya tamu hotel yang datang rombongan. Bugi menjadi pilihan menarik untuk adu balap sebagai ajang untuk bersenang-senang di hotel yang telah berdiri sejak 21 tahun silam. ”Tarif untuk mengendarai bugi hanya Rp 20 ribu per 10 menit,” ujar Lido.

Fasilitas olahraga Pinbol tidak kalah serunya. Pinbol adalah salah satu permainan yang dirancang seperti sebuah arena untuk berperang. Saat ikut bermain Pinbol, Anda akan bergaya dan beraksi seolah-olah menjadi tentara yang siap tempur menghadapi musuh.

Memakai seragam army, dilengkapi dengan senjata api lengkap dengan 100 peluru karet yang siap ditembakan pada musuh. Untuk menjaga keamanan, kepala anda harus pakai pelindung kepala. Pada lengan tangan diikatkan sebuah bendera berwarna. Nah bendera inilah yang berguna sebagai tanda agar Anda tidak salah tembak.

Setelah bergaya seperti tentara, para peserta permainan Pinbol masuk ke area olahraga Pinbol di Sinabung Resort Hotel. Area Pinbol ini dirancang seolah-olah medan untuk berperang. Ada banyak tempat untuk berlindung dari serangan musuh. Seusai aba-aba perang dimulai, dua kelompok yang ditandai dengan dua warna bendera beda. Kedua kelompok itupun langsung berperang saling tembak satu sama lain.

Meski hanya sekedar peluru karet, bila tertembak Anda akan merasa sedikit sakit dibagian tubuh yang tertembak. Bekas kulit yang tertembak akan terlihat memar. Tapi jangan kawatir, permainan ini cukup aman dan tidak membahayakan nyawa Anda. Bahkan sangat berguna untuk menguji nyali Anda. Pastinya permainan ini seru banget, karena disini Anda bisa merasakan bagaimana terjun ke sebuah medan perang. Untuk menikmati fasilitas Pinbol tarifnya Rp7 ribu per 30 menit. Disini juga ada fasilitas untuk golf bagi para tamu hotel.

Tidak jauh dari kaki gunung Sinabung banyak daerah wisata lain yang tidak kalah menarik. Di antaranya tempat permandian air panas di Lau Debu Debu sekitar 30 menit dari Sinabung, Pasar buah dan sayur dimana Anda bisa berbelanja buah-buahan khas pegunungan yaitu Markisa dan Martabe atau terung belanda. Juga buah-buah lainnya yang dijamin segar.

Udara sejuk di kaki gunung Sinabung membuat daerah ini kaya dengan aneka ragam tanaman hias. Berwisata ke sana, Anda bisa membawa oleh-oleh berupa tanaman hias berwarna-warni. Para pedagang yang menjual aneka tanaman hias berwarna-warni siap membantu Anda dalam memilih tanaman hias yang akan Anda bawa sebagai oleh-oleh.

Lido H Hutabarat mengatakan bunga-bunga di kaki gunung Sinabung jenisnya banyak sekali. Bentuk dan rupanya yang indah membuat bunga-bunga itu telah banyak diekspor ke Belanda.

Sementara itu, acara pendakian ke puncak gunung Gundaling dengan seekor kuda juga menjadi pilihan seru bagi Anda. Seorang penyewa kuda siap menemani perdakian ke gunung Gundaling. Tiba di puncak gunung Gundaling, kita bisa melihat kota Brastagi secara menyeluruh. (andriani susilawati)

Kampung Kardus Sei Tering


Kampung Sei Tering di Batam, letaknya strategis karena tepat berada di tengah-tengah areal industri berat Batu Ampar. Tapi, di era 70-an silam, lokasinya termasuk daerah pinggiran. Orang dulu mengenal lokasi itu dengan nama Kampung Kardus. Soalnya, rumah warganya dibuat menggunakan kardus sisa hasil produksi perusahaan di sekitarnya. Penduduknya juga heterogen karena terdiri dari kaum buruh pabrik dari berbagai daerah di Indonesia.

Kalau anda warga Batam, atau kebetulan berada di Batam. Kemudian punya waktu senggang, tidak ada salahnya mampir ke lokasi kampung Sei Tering. Lokasinya ada di kawasan industri berat Batu Ampar. Dilihat sepintas, memang tidak jauh berbeda dengan pemukiman padat penduduk lainnya.

Jalan menuju lokasi masih tanah. Sudah agak lumayan karena diratakan. Tapi, kalau panas bisa menimbulkan debu yang beterbangan kian kemari. Sementara jika hujan jadi lebih parah. Jalan yang belum diaspal, jadi mirip sawah. Kalau melihat topografinya, daerah ini dulunya rawa-rawa. Pandangan itu tidak salah. Beberapa rumah memang masih ada yang dibangun dengan konsep panggung di atas rawa-rawa yang tersisa. Karena perkembangan zaman, sebagian besar rawa-rawanya sudah ditimbun. Di atasnya didirikan rumah-rumah konvensional yang sudah tidak menggunakan tiang panggung lagi.

Kampung Sei Tering, masuk dalam kelurahan Tanjung Sengkuang kecamatan Batu Ampar. Menurut cerita orang-orang tua di sini, lokasi itu mulai didiami warga pada awal tahun 1970-an, saat Batam mulai berkembang jadi kota industri. Berbeda dengan kampung-kampung tua lainnya di Batam yang rata-rata banyak didiami oleh masyarakat suku Melayu atau Bugis Selayar, penduduk di kampung Sei Tering lebih Heterogen. Maklum, saat awal-awal didiami, penduduknya rata-rata merupakan buruh pabrik yang merupakan warga pendatang dan bekerja di perusahaan-perusahaan yang ada di Batu Ampar.

Yang sempat menjadikan daerah ini unik adalah penyebutan istilah Kampung Kardus oleh orang-orang di sekitarnya pada era 70-an. Ya, kampung Sei Tering zaman dulu memang lebih dikenal dengan nama begitu. Alasannya sederhana saja. Dulu, sebagian besar rumah di sini menggunakan kardus sebagai dinding rumahnya.

Cerita seorang warga bernama Rokayah, selain warga asli yang bekerja sebagai nelayan, banyak juga pekerja dari perusahaan yang eksis beroperasi di kawasan industri tertua Batu Ampar juga tinggal di lokasi itu. Dulu, mereka lebih mudah mendapatkan kardus sisa produksi perusahaan ketimbang bahan baku rumah seperti papan atau batako. Maklum, kondisi Batam zaman dulu memang beda 180 derajat dibandingkan sekarang. Jadi, salah satu solusi yang bisa dilakukan adalah mendirikan rumah kardus. Akhirnya daerah ini terkenal dengan nama kampung kardus selama hampir dua dasarwarsa awal hingga akhir 80-an.

Rumah-rumah kardus zaman dulu, sebenarnya tidak layak disebut rumah. Bentuknya seperti pondokan-pondokan kecil yang didirikan di pinggir rawa-rawa. Untuk tiang penyangga rumah, warga kampung kardus biasanya menggunakan kayu hutan atau batang pohon pinang. Atapnya menggunakan lembaran aspal hitam.

Rokayah juga merupakan salah satu warga yang sempat merasakan tinggal di rumah kardus. Menurutnya, saat itu adalah masa-masa sulit baginya dan keluarga. Bahan kardus bukan material bangunan yang permanen atau tahan lama. Jadi setiap beberapa bulan sekali, kegiatan “renovasi” rumah untuk mengganti dinding rumah kardus harus dilakukan. Dinding kardus cepat lapuk karena terpanggang matahari atau diguyur hujan. Suaminya-lah yang biasanya rajin membawa kardus-kardus “baru’ dari perusahaan tempatnya bekerja untuk mengganti “dinding” rumah mereka yang lama.

Sekarang semuanya memang sudah banyak berubah. Daerah yang dulunya rawa dan terpencil, malah strategis karena dikelilingi banyak perusahaan industri. Rumah warganya rata-rata juga banyak yang permanen dan terbuat dari beton. Mereka sudah tidak tinggal di atas rawa-rawa. Rawa-rawanya sudah ditimbun dengan jalan swadaya oleh mereka sendiri seiring dengan membaiknya ekonomi dan berkembangnya Batam.

Sekarang, lokasi itu juga banyak dilirik oleh para investor untuk dikembangkan sebagai lokasi usaha mereka. Modal mereka adalah surat penetapan lokasi yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki Otoritas atas lahan di seluruh Batam, Badan Otorita Batam. Hal itulah yang rentan menimbulkan konflik horizontal. Karena di lain pihak, rata-rata warga yang tinggal di kampung Kardus Sei Tering, tidak punya bekal surat legalitas tanah yang kuat kecuali penetapan lokasi itu sebagai salah satu daerah kampung tua oleh pemerintah daerah setempat serta selembar surat kepemilikan zaman dulu dari seseorang yang pertama kali membuka wilayah itu sebagai daerah pemukiman. (bintoro suryo)