Monday, October 18, 2010

Katanya, Sampah itu Bisa Jadi Listrik

# Doktrin Implan di Tubuh Aparatur #


INI MUNGKIN dilema yang sering terjadi di negara berkembang. Aturan yang dibuat kadang membingungkan. Kesepakatan yang ditandatangani, bisa saja diingkari dan tanpa sanksi. Seorang teman dari kriminologi UI yang sekarang jadi Litbang di sebuah media juga pernah bilang, ada ribuan produk hukum di daerah yang belum dikonsultasikan ke MK tapi sudah dijalankan.

Payah? Atau mungkin parah? Kasat mata itu sebenarnya menunjukkan bahwa kita memang masih jauh dari profesional. Atau, jika dilakukan oleh aparatur negara, mungkin doktrin untuk melayani masyarakat belum seratus persen dijalankan. Masih separuh-separuh. Separuh untuk diri sendiri, separuh lagi untuk keluarga dan kerabat dekat. Sisanya kalau masih ada, baru untuk masyarakat.

Belum lama ini, saya sempat ngobrol panjang tapi tidak sampai melebar dengan direksi PT Surya Sejahtera Envirotech. Itu adalah perusahaan pengelola sampah di Batam. Mereka datang bersilaturahmi. Sebenarnya lebih pada pemaparan tentang kondisi terkini mereka.

Jadi begini, di Batam pengelolaan sampah tidak lagi dilakukan oleh pemerintah. Tapi swasta. Sama halnya seperti pengelolaan listrik oleh PT Pelayanan Listrik Nasional (PT PLN) Batam dan air oleh PT Adhya Tirta Batam (PT ATB). Pengelolaanya dilakukan mulai dari hilir dengan mengangkut sampah-sampah warga dan industri hingga ke hulu di tempat pembuangan akhir dengan memilah dan mengelola gunung-gunung sampah setiap hari.

Saat awal diterapkan beberapa tahun lalu, saya pikir ini ide segar untuk bisa lepas dari persoalan sampah perkotaan yang tidak pernah bisa beres dilakukan dengan baik oleh pemerintah. Ada harapan bahwa jika dikelola swasta, penanganannya bisa lebih profesional. Anggapan bahwa PNS tidak bekerja profesional, selama ini memang sudah kadung melekat di benak masyarakat.

Tapi, eits… rasanya ada yang janggal dengan konsesi yang dilakukan antara pemerintah kota dan mitra perusahaan sampah yang akan mengelolanya, PT Surya Sejahtera. Salah satu item konsesi menggelitik pertanyaan saya ; PT Surya Sejahtera akan mengelola sampah dan mengubahnya menjadi energi listrik?

Secara teori, ini sebenarnya masuk akal. Gunung-gunung sampah yang berada di tempat pembuangan akhir, selalu mengeluarkan gas yang bila tercium akan sangat menyengat. Gas itulah yang tercium oleh kita jika sedang berada di TPA. Gas yang dihasilkan dari tumpukan-tumpukan sampah itu bila dikonversikan kemudian ditampung dalam sebuah alat penampung atau reaktor yang besar, memungkinkan untuk bisa digunakan sebagai bahan baku untuk menggerakkan turbin-turbin listrik. Ini tentunya membutuhkan investasi yang tidak bisa dibilang sedikit.

Kemudian, Daya listrik yang dihasilkan dari turbin-turbin itulah yang disalurkan menjadi daya listrik untuk digunakan masyarakat dan pelaku usaha industri di kota pulau ini. Jika itu terealisasi, penyediaan tenaga listrik di Batam tidak hanya bergantung dari unit pembangkitan PLTG yang ada di daerah Panaran, PLTD-PLTD kecil sisa pengadaan otorita Batam puluhan tahun lalu serta PLTU Tanjung Kasam yang sebentar lagi sudah bisa dioperasikan.

Daya listrik di Batam akan bisa disediakan oleh energi sampah dan ini jelas merupakan energi yang terus terbarukan. Ketersediaan daya listrik tidak hanya untuk konsumsi di Batam. Tapi juga bisa disuplai untuk kebutuhan listrik di daerah-daerah sekitarnya bahkan bisa dieksport.

“Wah, ini fantastis! Jika terealisasi, Batam mungkin akan jadi pilot project tentang pengelolaan sampah di dunia.”

“Itu dia masalahnya, pak. Ternyata belum ada perusahaan di dunia ini yang memproduksi alat konversi yang bisa merubah energi sampah menjadi energi listrik,” kata Dion Soetadi, Direktur Utama PT Surya Sejahtera Envirotech.

“Lho kok bisa? Dulu saat mengusulkan klausul kerjasamanya gimana? Tanya saya.

Dion Soetadi tersenyum kecut. Saya mahfum. Dion adalah pengelola tangan kedua dari perusahaaan sampah itu. Ia bukan orang-orang yang terlibat dengan proses awal kerjasama pengelolaan sampah di Batam. Dion sendiri mendapat tawaran mengambil alih perusahaan itu saat sedang kolaps, setahun paska penandatanganan kerjasama konsesi. Makanya, namanya sekarang berubah jadi PT SSET, bukan PT SS lagi.

Sekarang, hak pengelolaan sampah sudah memasuki tahun kedua. Tahun ketiga nanti, perusahaan ini sudah harus menjalankan salah satu item konsesi yang menurut saya fantastis itu. Saya pikir, dia seperti membeli kucing dalam karung saat mengambil alih perusahaan ini.

“Orang yang buat klausul itu sebenarnya orang hebat ya”, kata Direktur saya, Bahtiar yang ikut dalam obrolan kami.

Saya menangkap celetukan Direktur saya lebih pada sindiran. Bagaimana bisa pemerintah menyetujui klausul kerjasama yang ternyata tidak bisa dipertanggung jawabkan dan kemudian menandatangani kesepakatan konsesi pengelolaan sampah yang berlaku selama 25 tahun.

“Kami tidak ingin mengorek kesalahan masa lalu. Kami ingin menatap masa depan.” Kata Dion akhirnya.

Yang jadi masalah kata Dion, dengan format klausul kerjasama sekarang mereka masih harus menanggung kerugian hingga Rp 1, 2 M tiap bulan. Biaya itu untuk menanggung transporter pengangkut sampah berikut biaya operasional lain termasuk konsesi fee kepada pemerintah kota. Sementara iuran sampah yang dipungut dari warga tiap bulannya, tidak menutupi pengeluaran mereka.

“Anda kan tidak bisa terus bertahan dengan menanggung kerugian tiap bulan. Mau sampai kapan? Itu nggak bisa diterima akal sehat dunia usaha”, lanjut Bahtiar.

“Kami ingin pemerintah kota tau kondisinya. Kami ingin mengusulkan perubahan klausul konsesi itu.” Jawab Dion.

Apa sih yang berbeda dengan penanganan sampah yang dilakukan swasta sekarang? Tanya saya.

“Yang jelas, pemerintah kota tidak perlu lagi mengeluarkan anggaran Rp 18 Miliar dari APBD untuk ngurusi sampah-sampah itu. Mereka juga tidak perlu lagi bersusah payah. Itu sekarang dilakukan swasta. Ya kami ini tukang sampahnya. Dari perjanjian, pemerintah kota juga mendapat hak konsesi fee”, jelas Dion.

“Kalau ada anggaran untuk sampah seperti itu, kami sebenarnya juga ingin dibantu”, lanjutnya.

“Trus, soal listrik itu?

“Itu masuk dalam usulan karena memang belum ada teknologinya”.

“ohh”.


----------------o------------------

SAYA MEMBAYANGKAN seluruh aparatur kita dipasangi chips berisi program implan yang ditanam di tubuh mereka. Isinya program kejujuran, sikap tulus hati melayani masyarakat dan program untuk melawan nafsu melakukan korupsi. Program itu akan langsung bereaksi saat tubuh yang dipasangi implan menolak atau melakukan sikap yang bertentangan dengan isi program yang dipasang.

Nama chips-nya saya sebut saja KTHM2K (Kejujuran - Tulus Hati Melayani Masyarakat - anti Korupsi, pen) . Program dalam chips itu dipasang saat seseorang mulai menjalani kariernya sebagai aparatur negara. Jika dia seorang PNS, maka program itu sudah dipasang saat ia mulai diberi pembekalan dan dilantik sebagai Calon Pegawai Negeri Sipil. Bila dia seorang militer atau anggota kepolisian, maka program itu sudah mulai ditanamkan saat ia menjalani pendidikan militernya.

Saya pikir untuk tahap awal, ada beberapa program yang bisa dimasukkan dalam chips tersebut. Prototype Software-nya mungkin seperti ini :

  • Software Ketulusan versi 1.0. Ini adalah software yang diambil dari nilai-nilai luhur manusia. Anda mungkin sepakat dengan saya, Ketulusan yang kita berikan bisa membuat orang lain merasa aman, nyaman dan dihargai oleh kita.
  • Software Kesetiaan versi 1.0. Saya tetap percaya bahwa orang yang setia selalu bisa dipercaya dan diandalkan. Ia punya komitmen yang kuat, mau berkorban dan tidak berkhianat.
  • Software Tanggung jawab versi 1.0. Orang yang bertanggung jawab selalu melaksanakan tugas yang diemban sebagai sebuah amanah yang harus dilaksanakan dengan baik. Seandainya gagal, ia tidak akan lari dari tanggung jawab dan lugas mengakui kesalahan.
  • Software Empati versi 1.0. Sama seperti halnya nilai ketulusan, saya mengagumi orang yang bisa berempati terhadap orang lain. Orang yang memiliki empati bisa menempatkan diri pada posisi orang lain, sehingga jika harus mengambil sebuah keputusan, keputusan itu adalah hasil kompromi empati sehingga diharapkan bisa lebih objektif.

Nafsu, ini merupakan program untuk melawan hawa nafsu dan sikap mau menang sendiri dalam posisi yang bersangkutan sedang mengemban tugas melayani. Apa sebenarnya yang bisa menghadang nafsu serakah manusia, membuat manusia mau berkoban dan mengesampingkan kepentingannya sendiri itu? Mungkin rasa sakit, ya.

Chips berisi program implan itu saya bayangkan akan bereaksi memberikan rasa sakit yang luar biasa saat tubuh yang dipasanginya melakukan perbuatan atau sikap yang kontra dengan program yang dipasang.

Memang, masih ada cela untuk tetap berbuat yang menyimpang. Tapi, itu akan sangat kelihatan sekali dan terasa begitu menyakitkan. Si tubuh yang dipasangi program implan akan terus didera kesakitan selama ia melakukan “perlawanan”. Indikator seperti itu mudah saja diketahui oleh misalnya tim “provost” di instansi tempatnya bekerja yang juga sudah dipasangi program implan yang sama.


----------------o------------------

MINGGU (17/ 10) kemarin, aktifitas saya lebih banyak di rumah. Libur kali ini saya ingin me-recovery tubuh setelah seminggu lelah dengan urusan kerja. Saya juga ingin lebih banyak bermain-main dengan anak semata wayang yang lagi lucu-lucunya itu. Jadi bapak rumah tangga yang baik dengan mengurusi rumah. Termasuk mengeluarkan sampah-sampah rumah tangga agar mudah diangkut mobil petugas sampah.

Di depan rumah, bungkusan sampah-sampah yang sudah saya masukkan dalam plastik-plastik ternyata masih ada. Berarti sudah hampir satu minggu ini petugas sampah tidak melaksanakan kewajibannya mengangkut sampah –sampah saya. Biasanya tiga hari sekali sampah sudah diangkut, pikir saya.

Koran lokal hari itu ternyata memuat headline masalah sampah di salah satu halamannya. Saya baca, rupanya usulan tentang kenaikan tarif sampah dari perusahaan pengelola PT SSET. Ada juga komentar dari kepala Dinas Kebersihan dan Pertamanan (DKP) Batam, Azwan.

Kata Kepala DKP Azwan, PT SSET memang sudah beberapa kali mengajukan usulan kenaikan tarif iuran sampah warga. Tapi pihaknya belum memberikan respon. Azwan menjelaskan, kalau PT SSET hanya mengandalkan tarif pemungutan sampah, kondisinya akan terus merugi. Seharusnya perusahaan itu sudah mulai melaksanakan kesepakatan kontrak tahun ketiganya ; mencari solusi untuk merubah sampah menjadi energy listrik.

“Nah lho, pantas sampah rumah tangga saya belum diangkut”, pikir saya. (***)