Saturday, July 14, 2007

Melawat ke Bunda Tanah Melayu

Deretan meriam di Bukit Cening di Pulau Mepar, Kabupaten Lingga, Provinsi Kepulauan Riau ini tampak berkarat dan telantar. Meskipun demikian, meriam-meriam itu sesungguhnya menyimpan nilai sejarah tinggi dan menjadi saksi sejarah bagi kejayaan Kesultanan Riau-Lingga yang menghadapi masa kejayaannya pada abad ke-18.

Laut tak berombak. Angin yang berdesir hanya menggoyang daun-daun pohon kemunting yang tengah berbuah lebat. Buahnya yang hitam sebesar kelereng itu tiba-tiba lepas dari putiknya. Dentuman keras dari meriam-meriam yang sejak fajar memuntahkan bola-bola besi belum juga surut.

Dari arah laut tampak kepulan asap membubung tinggi. Bayangan memerah dari kapal-kapal yang membara memantul dari muka laut yang jernih. Dari balik bayangan itu tampak pula sebuah kapal yang separuh tubuhnya tenggelam di perairan, di balik Pulau Mepar, tempat tiga benteng pertahanan dan puluhan meriam terus beradu kekuatan dengan meriam-meriam dari armada Belanda.

Tembakan bantuan dari arah Bukit Cening, tempat pohon-pohon kemunting tengah berbuah lebat tadi, terus-menerus menggelegar menyambut kapal-kapal Belanda yang berhasil lolos dari hadangan meriam dari atas Pulau Mepar.

Angin berembus lagi. Bayangan rekaan tentang perang di tahun 1700-an itu mendadak lenyap bersama angin gunung itu. Sambil memandangi deretan 19 meriam yang tersusun rapi di tengah-tengah benteng Bukit Cening dan kemegahan Gunung Daik yang bercabang tiga, terbayangkan betapa hebatnya Kesultanan Riau-Lingga dulu menyusun pertahanan untuk melindungi wilayah kesultanan dan rakyatnya.

Meriam sumbing

"Ada sekitar empat benteng utama yang dibangun untuk mempertahankan Daik," tutur seorang staf Dinas Pariwisata Kabupaten Lingga, Lazuardi. Salah satu benteng pertahanan dibangun di Kuala Daik yang berada di sebuah teluk kecil sebelum Pelabuhan Tanjung Butun saat ini.

Menurut Lazuardi, pada benteng pertahanan itu setidaknya ditemukan 35 meriam. Benteng pertahanan itu merupakan pagar pertama yang harus dihadapi musuh sebelum menyerbu Lingga.

Jika mereka lolos dari hantaman meriam-meriam, armada kapal perang itu harus menghadapi gempuran meriam-meriam yang dipasang di Pulau Mepar. Ada sekitar lima benteng pertahanan di sekitar pulau itu. Dari lima benteng itu, saat ini baru tiga benteng pertahanan yang telah direnovasi dan menjadi obyek wisata.

Di benteng pertahanan di pulau itu pula terdapat satu meriam yang menjadi legenda Kesultanan Riau-Lingga. Nama meriam itu meriam sumbing atau meriam serpih. "Meriam itu bertuah. Kisahnya, meriam itu sebenarnya belum layak untuk digunakan sebagai alat tempur karena belum selesai dikerjakan dan pada bagian mulut meriam itu sumbing," tutur Lazuardi.

Padahal, ketika itu, Lingga tengah menghadapi serbuan armada Belanda. Pada satu malam, meriam itu menangis dan minta untuk dilibatkan dalam pertempuran. Singkat cerita, ungkap Lazuardi, meriam sumbing itu justru menjadi pahlawan pertempuran. Dibandingkan dengan meriam-meriam lain yang juga terlibat dalam pertempuran
mempertahankan Pulau Mepar, meriam sumbinglah yang dianggap sering menjadi bintang. Ia acap berhasil menghentikan laju armada Belanda.

Selain meriam sumbing, ada lagi meriam-meriam lain yang juga dianggap bertuah. Meriam-meriam itu diletakkan di benteng pertahanan Bukit Cening. Uniknya, meriam-meriam itu justru merupakan meriam-meriam buatan VOC, sindikasi perdagangan milik Belanda di negara-negara jajahan mereka. Di bawah benteng Bukit Cening itu terdapat sebuah benteng pertahanan lain yang berada di mulut sungai. Namanya Benteng Bungin dan dilengkapi dengan 15 moncong meriam.

Bagi Kesultanan Riau-Lingga, benteng-benteng itu merupakan titik-titik pertahanan yang sangat penting dan diletakkan pada posisi yang sangat strategis. Bahkan, jika musuh bisa lolos dari incaran meriam-meriam itu, mereka masih harus menghadapi ratusan prajurit dan juga meriam-meriam yang disiagakan di sekitar Istana Damnah yang saat ini hanya tinggal puing-puing.

Pendek kata, tak mudah untuk menjamah kawasan yang disebut sebagai "Bunda Tanah Melayu" ini. Tidak mengherankan jika Istana Damnah yang menjadi tempat tinggal para Sultan Kesultanan Riau-Lingga dapat bertahan lama, sebelum dipindahkan ke Pulau Penyengat pada tahun 1900 oleh Sultan Abdulrahman Muasyamsyah.

Rumah asli

Meriam dan benteng-benteng pertahanan itu hanyalah sebagian kecil dari kisah Kesultanan Riau-Lingga. Di kawasan Daik, ibukota Kabupaten Lingga, masih banyak terdapat sisa-sisa kejayaan Kesultanan Riau-Lingga itu. Di kawasan itu masih banyak dijumpai makam-makam kerabat istana, masjid Sultan Riau-Lingga, rumah-rumah asli Melayu yang dimiliki oleh para datuk, hingga berbagai alat rumah tangga dan senjata peninggalan masa kesultanan.

Tidak hanya itu, di tengah kawasan hutan di kaki Gunung Daik, banyak ditemukan tempayan dan buli-buli buatan China yang dulu digunakan para pengusaha gambir mengolah hasil kebun mereka. Sayang, banyak pemburu harta karun yang telah membawa tempayan-tempayan indah itu pergi dari tanah Lingga.

Oleh karena itu, untuk menyelamatkan yang masih ada, Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Dinas Pariwisata Kabupaten Lingga Muhammad Ishak semasa menjabat Camat Lingga berinisiatif mengumpulkan sisa-sisa peninggalan sejarah itu dari warga dan menjadikannya cikal bakal museum seperti yang saat ini ada.

Banyak naskah-naskah kuno juga disimpan di museum itu. Tak kurang dari 1.000 jenis benda bersejarah disimpan di museum itu. Museum itu sendiri dibangun di dalam kompleks Istana Damnah yang tapak-tapaknya masih dapat dijumpai.

Sayang, bangunan yang hampir 90 persen terbuat dari kayu itu telah hancur dimakan usia dan hanya tinggal sisa-sisa bangunan yang terbuat dari tembok batu bata saja yang tersisa. Namun, pengunjung masih dapat menyaksikan bentuk istana tersebut karena di sisi kanan tapak istana itu telah dibangun sebuah bangunan yang merupakan tiruan dari Istana Damnah.

Marwah Melayu

Bagi banyak orang, Lingga tidak hanya menawarkan keelokan masa lalu itu dan segala bukti sejarah yang menarik untuk dikaji dan dinikmati pesonanya. Lingga juga menawarkan sejuta kisah berbau misteri. Misalnya, tidak setiap orang dapat seenaknya pergi ke Benteng Bukit Cening tanpa dipandu oleh penduduk setempat sebab kawasan di sekitar benteng itu dianggap keramat. Sebagaimana yang
dipercayai, kawasan itu masih dijaga oleh para roh halus. Orang harus menjaga sikap dan bicaranya.

Lalu, Gunung Daik yang juga masih menyimpan banyak misteri dengan komunitas masyarakat bunian yang dipercaya menghuni bagian tengah dan puncak gunung tersebut. Namun, yang menjadi kekuatan utama kawasan itu justru pada kultur masyarakatnya yang masih menjunjung tinggi marwah melayu dan sikap untuk selalu menjaga nilai-nilai keislaman dan sopan santun.

"Suatu kali ada seorang anak bersepeda dan tiba-tiba di tengah kebun sagu sepedanya rusak. Ia tidak dapat memperbaiki. Terpaksa sepedanya ia tinggal di tempat itu, lalu ia pulang dengan berjalan kaki. Sepekan kemudian, ayah si anak datang mengambil sepeda tersebut. Meskipun telah berselang sepekan, ternyata sepeda itu masih berada di tempatnya semula," tutur Dadang, warga Daik.

Kisah itu untuk melukiskan warga Daik yang masih menjunjung tinggi kejujuran dan sikap menghargai milik orang lain. Menurut dia, tidak ada cerita tentang rumah yang dimasuki pencuri, pemerkosaan, atau tingkah maksiat lainnya. Warga, sambung Dadang, masih sangat menjunjung tinggi ajaran leluhur untuk menjaga agar Lingga tetap berdiri kokoh dengan nilai-nilai kemelayuan dan keislaman.

Oleh karena itu, tidak mengherankan jika aura nilai-nilai itu terasa kuat ketika bertandang ke bekas pusat Kesultanan Riau-Lingga. Perkembangan dunia yang makin cepat sekarang ini oleh sebagian warga Lingga diharapkan tidak mengubah budaya masyarakat kabupaten baru itu.

Mereka sadar bahwa konsekuensi dari dunia yang makin berkembang pesat dengan tingkat kebutuhan yang terus meningkat dapat berdampak buruk bagi sebagian warga Lingga. Sebagai contoh, hutan perawan dilereng-lereng Gunung Daik dapat terancam kelestariannya jika pemerintah tidak memperkuat kemampuan ekonomi warga pedesaan di sekitarnya.

Desakan kebutuhan yang makin menguat pun dapat menyebabkan banyak warga memilih untuk melepaskan berbagai barang antik yang mereka miliki kepada para pengumpul yang menawarnya dengan harga tinggi. Akibatnya, berbagai aksesori yang punya nilai sejarah pun terputus. Selain itu, arus budaya baru juga dikawatirkan dapat melunturkan ketaatan warga untuk menjaga marwah.

Oleh karena itu, kebijakan dan kearifan pemimpinlah yang juga dibutuhkan untuk mengarahkan warga agar senantiasa setia menjaga keluhuran nilai-nilai budaya dan sejarah itu.


Sumber: Kompas
Penulis: B Josie Susilo Hardianto

ultimate tsunami



A clip from a recent Nat Geo special in which the island of Oahu is obliterated by a super tsunami generated by a landslide on the Big Island.

LEOPARD VS BABOON

 

NAMANYA ADALAH LEGADEMA (BACA : LAH-HEH-DEEM-UH) SETSWANA. IA MENDOKUMENTASIKAN SEBUAH FILM DARI DERECK JOUBERT YANG MENGERTI BAGAIMANA SEEKOR LEOPARD BERTAHAN HIDUP DI ALAM LIAR. LOKASI DI SEBUAH DELTA OKAVANGO - BOTSWANA.

SEPERTI DIKUTIP DARI SITUS ASLINYA DI : nationalgeographic.com

Saturday, July 7, 2007

pemilihan walikota bacang


Tersebutlah kota bernama Bacang di sebuah negeri Antah Berantah. Walikotanya sudah mundur karena sesuatu hal. Untuk menjalankan roda pemerintahan sehari-hari, telah ditunjuk seorang pelaksana tugas yang selama ini dikenal sebagai staff ahli dan orang dekat sang walikota.


Beberapa bulan lagi, pesta demokrasi untuk memilih walikota yang baru akan segera digelar. Ini adalah proses pemilihan walikota perdana yang langsung melibatkan warga kota Bacang. Asal memenuhi persyaratan yang telah ditentukan oleh badan pemilihan walikota, semua warga bebas mengajukan calon atau bahkan mencalonkan untuk diri sendiri. Demam demokrasi langsung memang sedang menggema usai revolusi besar yang melanda negeri Antah Berantah. Banyak yang tertarik. Contohnya saja si Obet, pedagang kain keliling. Ada juga Meneer Van Bronkos dan Jeans (baca : Zang) Philip Tulalit yang bertahun-tahun mengabdikan diri sebagai abdi praja di kota Bacang. Yang lain adalah Louis Jempol yang meng-klaim punya massa setia karena menduduki jabatan pimpinan di sebuah organisasi kemasyarakatan.

*********
Kalau Obet, jujur saja, ia ingin merubah nasib. Termasuk harkat dan derajatnya. Siapa tahu dipercaya warga Bbacang, begitu pikirnya. Menjadi seorang pimpinan, tentu akan banyak memperoleh kehormatan. Belum lagi fasilitas lainnya yang bikin hidup jadi lebih hidup. Wow asyik dong… Realita yang wajar bagi seorang kecil seperti Obet. Tapi tentu, mencalonkandiri sebagai calon walikota tidak bisa hanya modal dengkul saja. Paling tidak ia harus cetak kartu nama sebanyak-banyaknya supaya warga kota Bacang yang belum kenal, jadi familiar dengan seorang Obet.
Tetangga sekeliling di kampung Dodol –tempat tinggal Obet- banyak yang berpikir impian Obet sebagai hal yang naif dan tidak mengukur diri. Mau dibawa kemana kota ini kalau memang benar Obet yang terpilih jadi walikotanya, begitu pikir mereka. Pailul, ketua RT kampung Dodol setengah mengumpat saat Obet bermaksud memperpanjang katepe-nya yang sudah tiga tahun mati sebagai pelengkap persyaratan di partai Lele. Obet sendiri begitu berharap dapat diusung sebagai kandidat dari partai berlambang kumis ikan lele tersebut.
“Aje gile lu bet, emang lu punya ijazah sekolahan?”
“Masalah ijazah sih gampang mas Pailul. Aye udah pesen supaya dibikinin Lagian aye udah berhasil ngeyakinin koh Ahong, juragan ikan asin terbesar itu untuk menjadi donator dalam pencalonan aye. Pokoknya beres dah, tinggal cari simpati orang-orang”.
“Berapa duit lu punya?”
“Kalo itu sih gak usah dipikirin. Pokoknya cukup!” ujar Obet sambil menyerahkan map berisi kartu keluarga, trus ngeloyor pergi.
**************
Hari ini Obet nggak jualan kain keliling. Ia benar-benar sibuk dengan urusan pencalonan sebagai walikota Bacang. Di rumah koh Ahong –donatur dan juga langganan kain jualan obet selama bertahun-tahun- Obet lagi berembuk deal-deal politik. Ceile… begitu sih kata politikus.
“Pokoknya koh Ahong tinggal nyiapin dana aye untuk maju sebagai calon walikota, entar kalo udah jadi, aye gampangin deh urusan koh Ahong”, begitu Obet sambil tangannya bersedekap di dada kayak pejabat.
“Oe oe, gua minta distribusi ikan asin nanti jadi monopoli gua. Nggak ada yang boleh masukin ikan asin ke kota bacdang selain gua, gimana?”
“Oke dah atur saja, koh Ahong mo minta monopoli yang lain juga aye jabanin!” Obet langsung nyambar omongan koh Ahong dengan nada meyakinkan. Sementara koh Ahong dengan semangat mirip soe hok gie waktu jaman mahasiswa orde lama getol-getolnya menyuarakan aspirasi rakyat. Koh Ahong terlihat sibuk dengan sempoa di tangannya. Sudah terbayang keuntungan berlipat yang didapat bila hak monopoli distribusi ikan asin sudah dipegangnya.

******************

di sudut lain kota Bacang, sebuah mobil bmw merah tampak berhenti tepat di depan sebuah warteg yang selalu ramai pengunjungnya. Dari kejauhan muncul kepala kecil dengan tubuh dibalut setelan hem rapi. Saat menoleh, kumis tebal disisir klimis langsung terasa sangat familiar. Wajah ini sudah begitu sering muncul di media-media massa terbitan lokal kota bacang. Dialah meneer van broncos. Abdi praja, kepala salah satu instansi di sini. Badan kecilnya, memang tidak mampu menghalangi ketenarannya. Termasuk soal pro dan kontranya saat van broncos memutuskan maju sebagai salah satu kandidat calon walikota bacang. Yang tidak pernah lepas dari wajahnya adalah seulas senyuimnya yang begitu berwibawa. Dengan senyum itu pula ia menyapa hamper seluruh pengunjung saat memasuki warteg.
Warteg itu adalah miliknya. Jadi wajar jika ia menebar senyum sebagai pertanda kermahan seorang tuan rumah. Begitulah ia selalu menyapa pengunjung di sepuluh warteg miliknya. Hamper saban makan siang, van broncos selalu menyempatkan diri untuk berkeliling di setiap lokasi usaha wartegnya. Ketelitian itu juga yang membuat usahany bisa berkembang pesat hanya dalam waktu beberapa tahun saja. Faktor kesuksesan lainnya? ehm… sebagai seorang abdi praja, meneer van bronkos memiliki kartu truf dan resep jitu untuk membuat usahanya semakin beranak pinak.
“Selamat siang meneer, apa kabar nih?” sapa seorang penujung sok akrab.
“Baik-baik saja,” balas meneer van broncos seraya bergerak mendekati si penyapa. Lagi-lagi dengan seulas senyum yang seakan sudah melekat mati di wajahnya.
“gimana nih kabar persiapan pencalonannya. Meneer benar-benar sudah yakin sepertinya?” lanjut si pengunjung dengan sikap ramah berlebihan.
“Yah sepertinya begitu, niat baik tiodak boleh setengah-setengah dik. Saya ingin memberikan seluruh kemampuan saya untuk membangun negeri ini, membuatnya semakin maju dan bla…bla…” sederetan kalimat yang diucapkan dengan rapi dan sistematis sekali meluncur dari bibir kecil meneer van broncos yang sediit tertutup kumis tebalnya. Ucapan seperrti itu sebenarnya sudah sering diulang-ulang dalam setiap kesempatan pidato di depan khlayak ramai. Baik itu peresmian pasar, undangan kawinan dan acar-acra lain yang mengundangt dirinya.
“…pokoknya, dimana ada kemauan disitu pasti ada jalan”. Pungkas meneer van broncos dengan nada berwibawa sekali.
Si penyapa kelihatanmengangguk manggut-manggut mendengar penuturan meneer van broncos barusan.
“wah, kalau begitu saya mendukung meneer, semoga meneer jadi pemimpin yang baik dan mampu memabwa aspirasi masyarakat kecil seperti saya ini”. Sambil menyeka keringat di keningnya, si penyapa masih terlihat senum dengan rasa hormat yang tinggi sekali.
Menner van broncos hanya membalas denga senymj wibawanya. Ia menepuk-nepuk bahu sang penyapa kemudian bergegas jalanmemanggil pelayannya.
“sssst… tolongyang di sudut itu jangan diminta bayarannya. Dia pendukung saya,” bisik sanga menner pada pelayannya.
**************

Jenas (baca : Zang) Philip tulalit adalah orang yang beruntung. Bagaimana tidak. Waktu kecil dulu ia sudah divonis oleh keluarganya tidakmemiliki masa depan yang cerah. Selain karena hasil psikotesnya yang selalu menelurkan ip yang jongkok, ia tergolong orang yang susah mencerna pembicaraan orang lain. Cuma, ia berasal dari keluarga kaya. Makanya walau penuh dengan perjuangan diikuti dengtan plus-plus yang lain, ia bis amenyelesaikan opendidikan S1-nya. Dengan modal ijazahnya itu juga dan faktir kedekatan orang tua dengan birokrat pemerintahan, jeans Philip tulalit bisa diterima sebagaai abdi prajadengan pangkat golongan awal IIIA. Saat itu, orang tuanya hanya berharap jeans Philip tulalit memiliki pekerjaan dan penghasilan tetap. Juga bekal tunjangan bila pensiun nantinya. Jadi tidakmelulu merongrong dan merepotkan harta orang tua saja.
Tapi itu dulu. Lima belas tahun lalu. Nasib baik membawa jeans Philip tulalit yang sekarang sebagai salah satu kepala di sebuah instansi pemerintahan kota bacang. Walau sering tulalit seperti namanya, jeasn Philip tulalit ternyata cukup pintar mengambil hati atasan. Apapun dilakukan untuk membuat atasan senang. Tidak heran, karirnya kini bisa setara dengan meneer van broncos di lingkungan pemerintahan kota bacang. Satu lagi, ia memmiliki rasa kepercayaan diri yang tinggi. Pencalonannya sebagai calon wali kota bacang juga berawal dari gosok-gosok kerabatnya. Sebagai seorang pejabat teras, jeans Philip tulalit dianggap layak untuk maju sebagai calon walikota. Apalagi modal keuangan lebih dari cukup. Hasikl warisan orang tuanya yang pengusaha dan kedudukannya sebagai salah satu pejabatteras.
“sudahwaktunya pak Philip maju dalam pemilihan walikota bacang sekarang. Bapak punya segalanya. Modal, kedudukan…”, ujar salah satu kerabatnya dalam kesempatan bincang-bincang ringan di teras rumahnya yang mentereng.
“yang perlu saat ini adalah memundulkan nama bapak agar dikenal orang. Bapak juga harus sering-sering muncul di media massa untuk memuluskan langkah politis bapak”, gosokan sang kerabat benar-benar membuat hati jeans Philip tulalit jadi berbunga-bunga.
“lantas, apa yang harus saya lakukan?”
“ini masih beberapa bulan lagi sebelum pemilihan digelar. Bapak tinggal menyediakan waktu untuk secara rutin bertemu wartawan. Dengan demikian warga akan lebih mengenal bapak.. bla…bla…bla…. Sokongan dana juga jadi poin penting lainnya. Asal bapak percaya, saya akan urus semuanya”. Begitu saran panjang lebar dari si kerabat. Tapi yang disampaikan jujur saja malah membuat jeans Philip tulalit kebingungan dalam mencernanya.
“tapi, anda tahu sendiri kan, seoama ini urusan pekerjaan banyak yang saya delegasikan ke staf saya. Saya agak bingung denan saran anda”.
“tenang pak, bapak percaya saja denagn saya. Semuanya akan beres,bagaimana?” keriling nakal sang kerabat dianggap jeans Philip sebagai sinyal dukungan oeuh terhadapnya.
“oke, atur saja semua. Saya percaya anda”.
************************

paar jotrok terlihat ramai sekali hari ini. Bukan karena banyak orang yang sedang tarnsaksi jual beli. Tapi lagi ada keributan dua kelompok preman. Masing-masing mengaku punya hak untuk mengutip uang keamanan dari para pedagang. Kelompok jon hebat yang selama ini menguasai wilayah selatan pasar jorok, bersitegang dengan kelompok mat jago yang punya wiayah kekuasaan di utara. Pedagang pada lari ketakutan. Dagangan mereka banyak yang jdi korban. Diacak-acak kedua kelompok preman yang berantem.
Informasi tentang tawuran massal tersebut, sampai ke telinga polisi. Puluhan petugas dalmas diekrahkan untuk menetralkan suasana. Saat petugas tiba, kedua kelompok preman lari ponrang-panting menyelematkan diri. Dari pada diseret jadi tersangka ierbutan, mending kabur. Begitu pikir mereka. Situasi reda bukan berarti masalah selesai. Kali ini ganti puluhan pedagang yangmendatangi polisi untuk mengadukan soal barang dagangan mereka yanghancur akibat tawuran tersebut. mereka juga minta ketegasan polisi untuk lebih mengamankan lokasi pasar jorok dari oknum-oknum anak buah jon hebat dan mat jago. Rombongan penjabat walikota sementara kota bacang –aristoteles- juga tidak luput dari protes para pedagang.
“gimana ini pak, dagangan kami rusak” seru seorang pedagang.
“iya pak, siapa yang harus menggantinya. Anak kami butuh makan, kami sekarang tidak bisa jualan!!” seru yang lain.
Suasana yang semula mulai reda jadi kembali ribut. Para pedagang mulai berteriak minta keadilan dan perlindungan.
“sabar bapak-bapak, tenang ibu-ibu. Semua ada penyelesaiannya. Terus terang kami tidakbia memnggantibarang dagangan bapak-bapak dan ibu-ibu yang rusak. Tapi kami jamin bahawa peristiwa seperti ini tidak akan terulang kembali. Kami akan menindak tegas para pelaku kerusuhan. Saya jamin itu!!” seru penjabat walikota bacang –aristoteles- untuk meredam suasana. Ia menggunakan sebuah toa yang memang sengaja dipersiapkan dari kantor. Wajahnya tampak memerah dan berkeringat karena waktu berbicara tadi setengah berteriak. Batere toa yang dipakai ternyata sudah separuh soak dan lupa diganti.
Tapi para pedagang sepertinya tidak terima dengan jawaban sang penjabat walikota tersebut. mereka mulai merangsek maju dan berteriak-teriak semakin riuh. Polisi dalmas terpaksa membuat barisan rapat untuk melindungi aristoteles dan rombongan dari kemungkinan amuk massa. Namun mendadak, dari tengah kerumunan massa, muncul satu rombongan kecil yang langsung mengambil alih situasi.
“saudara-saudaraku yang tercinta, jangan khawatir tentang nasib dagangan kalian. Saya louis jempol akan mengganti semua barang dagangan kalian yang rusak. Saya melakukannya karena saya peduli dengan nasib kalian sebagai rakyat kecil yang sering tertindas, bla… bla… bla…
seorang pria empat puluhan tahun dengan emnggunakanbtoa yang hampir sama dengan milik aristoteles, beritikad baik mengganti semua barang dagangan yang rusak. Ia tampak begitu percaya diri dengan dikelilingi oleh belasan pemuda berbadan tegap.
“hidup louis jempol, hidup pengayom orang kecil”. Entah siapa yang memulainya, suara mengelukan louis jempol langsung ramai terdengar.
Ditengah suasana riuh karena kegembiraan para pedagang, louis jempol segera merangkul seorang anak buahnya.
“sssst… jangan lupa bagikan selebaran itu”.
Kemudian dengan sigap dan trampil seorang anak buahnya langsung bergerak membagi-bagikan selebaran kepada para pedagang yang tengah diliputi kegembiraan. Isinya :

“LOUIS JEMPOL, PENGAYOM ORANG KECIL
KANDIDAT WALIKOTA BACANG TERBAIK
MOTTO : BERSATU TEGUH MEMBELA YANG MISKIN”

**************
beberapa bulan kemudian…..

hari ini tanggal 30 januari. Waktunya gawe besar pemilihan kepala daerah secara serentak digelar di seluruh negeri antah berantah. Obet, salah satu kandidat yang akhirnya bisa meyakinkan partai lele untuk mengusungnya, berpasangan dengan ando bibir sebagai wakil walikotanya. Ando adalah fungsionaris partai lele yang sengaja diapsangkan dengan obet. Saat ini soal donatur bukan masalah bagi Obet.obet yang saat ini menyandang predikat mantan pedagang kain keliling, mulai merasakan nikamtanya hidup dari berbagai sumbangan donatur yang mengalir melalui media center yang didirikannya beebrapa waktu lalu. Kabar baiknya lagi, koh ahong ternyata bisa meyakinkan rekan-rekaan bisnisnya yang lain untuk mendukung pencalonan obet sebagai calon walikota bacang. Tapi tentu bukan dukungan kosng begitu saja. Ada deal-deal yang harus dipenuhi obet jika terpilih nantinya.
Keyakinan sepertinya terpancar dari wajah obet. Bagaimana tidak, survey terakhir dari polling yang diadakan partai lele di sejumlah kantung pemilihan, popularitas seorang obet melejit belakangan ini. Kata tim sukses obet, itu karena obet menuruti saran untuk mendekati massa pemilih secara langsung di lapangan. Taktik serangan fajar tadi pagi, diyakini juga bisa ikut mengatrol perolehan suara obet hari ini. Keberhasilannya? Wallahuallam…..
Di lokasi berbeda, rasa yakin yang tinggi juga terlihat dari raut wajah meneer van broncos pagi ini. Ia yakin, program makan gratis selama sebulan penuh di sepuluh warteg miliknya, memiliki pengaruh yang besar merangkum suara pemilih hari ini.menurut van broncos, massa pemilih tnetu beranggapan van broncos adalah pribadi yang murah hati. Ini penting ungtuk membangun imej di tengah-tengah masyarakat kota bacang. Untuk maju dalam pemilihan kali ini, meneer van bronkos rela merogoh kocek hingga menyusutkan tabungan di rekeningnya. Ia di usung oleh partai gurem yang berlambang kutu untuk maju sebagai walikota bacang. Pasangannya adalah sir kawat gigi yang tercatat sebagai sekretaris partai gurem. Tekad sang meneer sepertinya sudah bulat. Walau untuk itu, Ia harus rela menanggalkan jabatan sebagai abdi praja di kota bacang. Pro kontra soal pencalonannya hingga dugaan penggunaan uang negara untuk proses pencalonannya, tidak begitu dipedulikan. Sekali maju, pantang surut ke belakang. Begitu mottonya…..
Bagaimana dengan jeans Philip tulalit? Abdi praja yang satu ini ternyata tidak memperoleh cukup dukungan partai pengusungnya untuk maju sebagai orang nomor satu di kota bacang. Namun, kekayaan yang diperoleh semasa menjabat sebagai abdi praja dan hasil warisan orang tua, masih bisa diandalkan sebagai penyokong dalam berduet dengan louis jempol. Mereka berdua diusung oleh koalisi partai tahu dan partai tempe.

******************

di lokasi-lokasi pemungutan suara, warga kota bacang mulai menggunakan hak pilihnya. Penjabat walikota bacang, aristoteles berkeliling dari satu lokasi TPS ke lokasi TPS lainnya untuk memastikan pemilihan berlangsung lancar dan aman. Siapapun yang terpilih bukan masalah baginya. Ia sudah memutuskan untuk mengantarkan sampai pemilihan ini saja. Selanjutnya, aristoteles memilih untuk pensiun dan bermain dengan cucu di rumah. Waktu senggang lain menurutnya, akan dipergunakan untuk bercocok tanam. Menyalurkan kembali hobinya yang selama ini terluipakan karena kesibukan sebagai abdi praja. Sebagai seorang badi praja tulen, ia enggan terlibat dalam hiruk pikuk dunia politik. Itu adalah pilihannya yang tidak bisa ditawar lagi.
Saat tengah berkeliling memeriksa lokasi TPS, mendadak ponselnya berdering… nada deringnya milik ratu dengan lagu TTM yang lagi populer... Dan dia juga katakan, kuingin jadi kekasihmu… cukuplah berteman denganku…janganlah kau meminta lebih…ku tak mungkin mencintaimu, kita berteman saja, teman tapi mesra…..

“ya kenapa, wah itu kan di kota anda. Di bacang masih kondusif kok. Semua berjalan lancar… oh begitu, iya…”
aristoteles mendapat kabar bahwa saat ini di berbagai kota di neegri antah berantah, proses pemilihan kepala daerah yang digelar berlangsung rusuh. Imbasnya, di ibu kota negara –trombosit- aksi penolakan terhadap penerapan undang-undang baru otonomi daerah jadi dipersoalkan ribuan mahasiswa. Menurut mahasiswa pendemo, negeri antah berantah belum siap untuk menerapkan secara penuh undang-undang otonomi daerah. Menurut mereka lagi, masyarakat negeri antah berantah belum siap menerima proses demokrasi langsung. Rusuah pemilihan kepala daerah di berbagai tempat jadi barometernya.mereka minta agar presiden negeri antah berantah, hakul yakin dan wakil presiden selamat sentosa untuk segera megambil langkah darurat berupa pembekuan sementara undang-undang otonomi di daerah dan mengentikan proses pemilihan kepala daerah yang saat ini tengfah berlangsung rusuh di mana-mana.
Baru saja aristoteles memasukkan ponsel ke sakunya, mendadak gelombang massa dalam jumlah besar bergerak cepat memporakporandakan lokasi TPS yang baru dikunjunginya. Massa marah dan membakar lokasi karena proses pemilihan yang dianggap yang diduga sarat kecurangan. Saat itu juga, aristoteles segera lari menyelamatkan diri dari amuk massa. Dari laporanyang diterimanya setelah tu, keributan juga terjadi di berbagai lokasi kota bacang….

**************

malam hari, keributan sudah reda. Tapi sedikit dari dokumen pemeilhan yang bsa diselamatkan. Badan pemilihan walikota bacang hanya berhasial mengumpulkan sisa-sisa kertas suara yang habis dibakar massa. Pemilihan ini, mau tidak mau dinyatakan gagal. Hampir tidak ada kertas suara yang bisa dihitung untuk menentukan pasangan calon yang menang.
Di saluran televisi, pemerintah pusat negeri antah berantah melakukan blocking time semua jam tayang stasiun televisi untuk sebuah pengumuman penting. Pr4esiden hakkul yakin didampingi wakil presiden selamat sentosa mengumumkan suatu maklumat tentang pembekuan seluruh hasil-hasil pemilihan kepala daerah di seluruh kota negeri antah berantah. Keputusan ini sekaligus mengabulkan tuntutan ribuan mahasiswa yang melakukan demo sejak siang hari. Presdiden berkesimpulan bahwa rakyat negeri antah berantah belum dewasa dalam menyikapi sebuah perbedaan. Dan yang lebih jauh lagi, para kandidat di daerah belum bisa bersikap arif dan bijaksana dalam melihat proses demokrasi langsung. Keputusan yang disampaikan menurutnya, berlaku secara nasional dan tidak dapat diganggu gugat hingga terbitnya keputusan baru yang merevisi keputusan ini. Untuk menejlankan roda pemerintahan di daerah, p5residen hakkul yakin tetap menunjuk kepala daerah lama atau pelaksana tugasnya untuk menaggunlangi situasi dan pemerintahan.

Di kampung dodol kota bacang, obet sedang memperhatikan dengan serius maklumat yang dikeluarkan presiden melalui televisi. Sorot matanya kosong. Sejak sore tadi, ia resmi terusir dari kediaman yang dipinjamkan koh ahong padanya. Koh ahong dan kawan-kawan langsung menarik dukungan mereka begitu mengetahui situasi yag tdak lagi kondusif di kota bacang…..
Meneer van broncos juga begitu. Ia menyesali keputusannya keluar dari abdi praja kota bacang. Sepuluh warteg yang dimilikinya kemungkinan bakal disita bank untuk melunasi pinjaman kredit yang disalahgunakan untuk proses pencalonannya. Sementara rekening tabungannya, sudah jauh terkuras dan belum terisi kembali. Sepertinya meneer van bronkos harus memulai dari bawah dengan keringatnya sendiri sebagai seorang wiraswasta murni tanpa embel-embel jabatan abdi praja yang dipegangnya bertahun-tahun.
Jeans Philip tulalit? Yang pasti bernasib sama dengan meneer van broncos. Namun saat ini, ia masih sulit menerima dan mencerna maklumat yang disampaikan presiden hakkul yakin melalui pesawat televisi. Kerabat yang jadi orang kepercayaannya, masih sibuk menerangkan maksud maklumat yang dikeluarkan presiden…
Louis jempol adalah orang pasar. Ia tidak begitu peduli dengan hasil kacau pemilihan walikota bacang dan juga kota-kota lain di negeri antah berantah hari ini. Toh menurutnya, dana pemilihan yang dikeluarkan selama ini adalah uang orang lain. Bukan uangnya sendiri yang harus perlu diratapi. Kegagalan saat ini, tidak begitu membuatnya patah semangat.
Sementara itu, di rumah dinas penjabat walikota bacang, aristoteles masih termenung mengingat kejadian tadi siang. Ia tidak mengira warganya bisa berubah jadi begitu brutalnya karena mengikuti hawa nafsu. Membela kandidat yang dijagokan, tanpa berpikir lebih dalam lagi. Namun, aristoteles adalah seorang abdi praja yang baik. Ia sudah memtuskan untuk mentaati maklumat yang dikeluarkan presdiden hakkul yakin untuk menjalankan roda pemerintahan di kota bacang sampai keluarnya keputusan baru. Itu artinya, ia harus menunda keinginan untuk bermaina bebas dengan sang cucu atau menyalurkan hobi bercocok tanam di halaman belakang rumahnya yang luas…. (noesaja)

Tentang penulis :
Noesaja, warga negara Indonesia yang tinggal di Batam.

nanar saja..


“Siang ini, aku hanya bisa menatap nanar apa yang terhidang di meja makan. Harga BBM yang melambung tinggi benar-benar membuatku harus berpikir keras untuk ikhtiar mencari tambahan uang dapur…”

Hari ini, istriku Murni hanya menyediakan satu piring nasi putih, empat potong tempe goreng dan daun singkong rebus untuk makan kami berdua. Tidak lebih… Tak terasa ada buliran hangat yang mengalir di pipi. Hasil kerja mengais sampah sehari-hari, rasanya memang cukup sulit untuk menghadapi kenyataan BBM naik!! Apalagi harus memikirkan usia kandungan Murni yang kini memasuki bulan ketujuh. Rasanya mau pecah kepalaku!!

Hartoyo, juragan penampung barang-barang bekas tempat sandaran hidup selama ini, selalu mematok harga pasti yang jauh dari menyenangkan hati. Aku bukan tidak ingin berontak. Tapi resikonya, barang -barang bekasku jadi sulit terjual. Hartoyo memang satu-satunya juragan barang bekas di lokasi tempat tinggalku ini. Berpindah ke lain juragan, hampir mustahil dengan ekonomi sulit seperti ini. Ongkos transport mungkin lebih mahal dari dagangan barang bekas milikku. Mengelola sendiri, lagi-lagi terbentur dengan kucuran modal yang tidak sedikit.


Dari kamar di gubuk kecilku, kulihat Murni rebah. Entah tidur atau melamun. Tapi yang jelas, santap siangnya belum terjamah karena menungguku pulang. Setengah berjingkat, kudekati dia. Tertidur… Hanya raut wajah kosong dengan perut yang semakin hari semakin membesar yang terlihat. Aku memandang lama perut besar Murni yang berisi jabang bayi benihku. Pria atau wanita aku tidak peduli. Kondisi memang membuatku begitu. Mendeteksi kelamin lewat USG adalah suatu hal yang tidak pernah terbayang. Aku percaya Tuhan akan memberikan yang terbaik bagiku sebagai penerus kehidupan dan keturunan.

“Abang sudah pulang?” teguran halus Murni membuyarkankan pikiranku yang seperti meneropong isi dalam perutnya.Tidak ada yang keluar dari bibirku, selain seulas senyum. Dengan menggapai tangan wanita yang kusayang, aku hanya memberi isyarat untuk menemani makan siang…



“ Ini pinjaman terakhir yang bisa kuberikan. Hutangmu sudah terlalu banyak Bur”.. ucapan setengah menghardik juragan Hartoyo, benar-benar menyengat emosi. Tapi apa yang bisa kulakukan karena padanyalah selama ini aku bergantung hidup. Memang susah jadi seorang pengais barang bekas sepertiku. Akhirnya aku hanya bisa mengiyakan saja sembari berlalu. Satu lembaran lima puluh ribu dari si tua Hartoyo, rencananya akan kugunakan untuk ongkos urut Murni pada bu Sri, dukun beranak yang tersohor di sini. Belakangan Murni memang mengeluhkan sesuatu yang aneh pada kandungannya. Ketika dibawa ke Bu Sri, ada kecenderungan istriku mengalami kehamilan sungsang. Rencananya, malam ini adalah kedatangan kedua kami ke rumah dukun beranak Sri.

Gunungan sampah, jadi pemandangan lumrah yang menemani perjalananku ke rumah sore ini. Kondisinya hampir tidak berubah seperti tiga tahun lalu, saat aku memutuskan kehidupan baru bersama Murni di kota ini. Kota yang menurut orang-orang di kampungku bisa menyulap kehidupan jadi lebih baik. Tapi kenyataannya, di sini aku hanya sebagai seorang pemulung. Ijazah SMA milikku hampir tidak ada harganya di tengah kerasnya persaingan hidup.

Dari kejauhan kulihat bang Horman, pemulung lama di sini berteriak-teriak sambil melambaikan tangan ke arahku. Sepertinya ada sesuatu yang ingin diperlihatkan. Aku segera lari mendekat.

“Bur, kau lihatlah itu..lihat” ujung telunjuk bang Horman terus menunjuk-nunjuk ke arah sesuatu yang sepertinya kepala bayi. Saat kudekati dan kusingkap menggunakan kayu ranting, ternyata memang kepala bayi. Bukan hanya kepala!!. Saat kusingkap lagi sampah yang berada di atasnya, terlihat wujud yang masih lengkap. Tapi sayang, sudah tanpa nyawa!!

Entah sudah yang ke berapa kali kami para pemulung menemukan mayat bayi di tumpukan gunung sampah di TPA ini. Nyawa orok-orok tersebut seperti sudah tidak ada artinya. Entah kenapa dibuang dan mengapa begitu tega.. aku jadi teringat sendiri dengan janin milikku yang kini dikandung Murni. Sekonyong-konyong, ingin rasanya cepat sampai ke rumah. Memandang dan meraba dengan sepenuh hati calon bayiku di perut Murni. Mengabarinya agar tidak lagi gusar karena kini aku sudah mengantongi uang untuk ongkos ke dukun beranak Sri. Ah… kenapa lagi-lagi ada orang yang tega berbuat seperti ini??

.


Aku sudah bergegas kembali menuju rumah. Bang Horman sudah mengabari petugas TPA dan polisi untuk penemuannya. Rasanya sudah tidak sabar lagi melihat wajah berseri-seri Murni yang tentu gembira dengan lembar lima puluh ribuan yang kubawa. Sakit di perutnya akibat jabang bayi yang sungsang, mungkin sudah bisa teratasi malam ini. Aku harap Murni bisa tidur nyenyak setelah diurut bu Sri. Tapi…

“auu!!”…. Sebuah paku 8 inchi menembus sandal jepit bututku. Akibat terburu-buru, aku menginjak kayu broti bekas yang memiliki banyak paku. Darah terlihat keluar dari tumit kakiku. Cukup nyeri dan perih rasanya. Kududukkan saja pantatku di atas tumpukan sampah di pinggir jalan. Darah segera kuseka dan kusumbat menggunakan sebuah kertas bekas yang masih lumayan putih dan bersih. Seraya bergumam bahwa ini adalah rezeki tambahanku hari ini selain hasil menjual barang bekas ke juragan Hartoyo, dan selembar lima puluh ribuan pinjaman. Walau nanar memandangi luka, aku cukup ikhlas mendapat “rezeki” tambahan ini... Jalanku sekarang memang agak terpincang-pincang. Tapi hatiku tetap gembira karena membawa kabar baik buat istriku, Murni.


Aku hampir tiba di rumah. Tapi kulihat Rosma, istri tetanggaku histeris. Sambil berlari, ia berusaha mengabari setiap orang yang ditemuinya di jalan dengan satu kabar, KEBAKARAN!!!

“Kebakaran dimana Ros? Rumah siapa yang terbakar?” Teriakku menjawab kabar Rosma.
Rumahmu Bur, rumahmu!! Istrimu masih di dalam terkurung api!!

Astagfirullah... Kebakaran di rumahku. Walau terseok karena luka di tumit, aku berusaha lari sekencang-kencangnya. Yang terpikirkan hanya satu. Murni dan bayi yang dikandungnya. Mudah-mudahan semua belum terlambat…

Dengan nafas tersengal-sengal, aku sudah berada di depan rumah. Kulihat api begitu mudahnya membakar dinding-dinding rumahku yang memang terbuat dari potongan kayu palet bekas dan triplek sisa bangunan. Aku dengar suara Murni terus berteriak-teriak dari dalam rumah. Tapi, api tidak mau kompromi. Terus membesar dan memakan hampir seluruh bagian rumah. Beberapa tetangga kulihat berusaha membantu dengan menyiramkan air dari sumur umum yang terletak di samping rumah. Semua berusaha membantu memadamkan nyala api yang terus menggila. Tapi, Murni masih di dalam saat ini!!

“Jangan nekad Bur.. sabar”, sebuah rangkulan keras menahan keinginanku menerobos masuk ke dalam nyala api yang membesar. Bang Horman ternyata sudah ada di sini dan berusaha menahan langkahku.

“Tahan sebentar lagi Bur, Pardi dan Fuad sedang berusaha membuka jalan dari samping rumah. Mudahan-mudahan Murni masih bisa diselamatkan” ucapan bang Horman sedikit menahan emosiku untuk nekad menerobos masuk. Aku tidak menjawabnya. Hanya melihat nanar saja amuk api yang terus menghabisi rumah tinggalku. Mungkin juga Murni dan calon jabang bayiku…


Sore menjelang magrib, aku hanya bisa tepekur dalam. Di depanku ada jasad Murni setengah terbakar. Pardi dan Fuad memang berhasil mengeluarkannya dari dalam rumah. Tapi sudah tanpa nyawa. Murni meninggal akibat kesulitan bernafas. Sebagian luka bakarnya akibat tertimpa tiang broti penyangga atap. Rumah gubuk yang selama tiga tahun terakhir kami diami bersama, ludes bersama kepergiannya.

Seperti tadi siang, aku masih melihat perut Murni yang mengandung janin bayiku. Masih sama besarnya. Hanya, aku tidak merasakan lagi gerakan-gerakan dari dalam perutnya, yang selama ini selalu membuatku bangga karena akan jadi seorang ayah…. Tanpa sadar, aku merogoh kantung celana kumalku. Ada lembaran lima puluh ribu di sana. Kulirik sekilas dan yang terlihat hanya nanar saja. Kuyakinkan diri bahwa Tuhan sayang pada Murni dan calon anakku. Ia tidak ingin melihat mereka terus menanggung beban kesulitan hidupku yang belakangan ini terasa makin berat saja… (bintoro suryo)


pria apa aku ini?!


Kring….kring… kring….

Bunyi jam beker kecil yang tergeletak begitu saja di sudut lantai kamar, pagi ini terasa sekali mengganggu tidurku yang memang belum jenak. Maklum, aku baru pulang jelang subuh dengan kondisi tubuh yang sangat letih. Kerjaan di kantor seperti nggak ada habisnya…

Pukul 06.00 pagi saat kupelototi jarum-jarum jam yang tergeletak di sudut lantai. Hari ini, aku ada janji ketemu dengan relasi kerja pukul 08.00. Makanya, biar otak masih mengawang untuk terus untuk melanjutkan sisa waktu tidurku yang kurang, aku paksakan saja berdiri. Di dapur kudapati kucing hitam putih kesayanganku, sedang menjilati sisa makanan kemarin siang di tempat cucian piring.

Si Goblok, begitu biasa aku memanggilnya, ternyata sudah lebih dulu bangun. Naga-naganya goblok memang kelaparan. Seharian kemarin, aku memang lupa memberinya makan. Goblok terkurung di dalam rumah sampai aku pulang subuh tadi. Aku hanya memandangi saja aksinya mengais-ngais sisa-sisa makanan sambil tersenyum kecut. Agak malas, aku mulai aktifitas hari dengan menjerang air untuk secangkir kopi hitam pekat, teman sarapan pagi…


……..

“Iya iya aku tau, tapi kamu jangan gusar gitu. Hari ini aku ada janji ketemu orang. Mungkin kita baru bisa ketemu rada-rada siang untuk membicarakannya, gimana?”

klik, tut…tut…tut…

“Sialan, malah ditutup!!”

Goblok memandangiku bingung. Sesekali buntut pendeknya coba diputar-putar di antara sela kaki. Aku sudah selesai mandi dan berpakaian rapi. Kopi pekat juga sudah terhidang di meja. Tapi entah kenapa hanya kupandangi saja. Pembicaraan di telepon dengan Irma tadi sedikit membuatku gusar. Irma pacarku, kembali mempersoalkan kehamilannya yang kini memasuki bulan ketiga. Wajar sebenarnya Irma bingung, dan terus mendesak status hubungan kami dengan pernikahan secepat mungkin. Wajar juga Irma marah dengan memutuskan percakapan karena aku terkesan mengesampingkannya dan lebih mementingkan ketemu relasi pagi ini. Tapi sejujurnya, aku memang belum siap untuk menjadi bapak dari janin yang kutanam di rahimnya. Makanya, aku sengaja menyibukkan diri dengan pekerjaanku kantor. Pria seperti apa aku ini??

Aku mungkin sama dengan si goblok yang kebingungan. Goblok yang bingung melihat tingkah tuannya yang mendadak sering acuh. Membiarkannya mencari makanan sendiri dari sisa-sisa di dapur. Atau bahkan berjuang di luar rumah dengan cara mencuri lauk santapan tetangga.

Tanpa terasa kopi pekat yang sedari tadi hanya kupandang, sudah mulai dingin. Waktu juga sudah menunjukkan jam setengah delapan pagi. Agak tergesa langsung saja kuseruput dan kemudian bergegas meninggalkan rumah…


Pukul 11.00 siang aku baru saja meninggalkan kantor pak Subranta, relasi kerjaku. Kantornya yang hanya sebuah ruko petak kecil. Jadi semakin sempit dan membuatku gerah. Sedari pagi tadi, aliran listrik PLN mati di kawasan itu. Ya otomatis AC yang terpasang di tiap bagian ruangan kantor pak Subranta, jadi tidak berfungsi. Parahnya, lima orang karyawati di perusahaan travel miliknya, malah memanfaatkan kesempatan ini dengan berkumpul di pojok ruangan. Dari tertawanya, aku tahu mereka ngerumpi. Khas wanita!! Tapi ya maklum saja. Mereka memang jadi tidak bisa bekerja dengan normal. Seluruh perangkat komputer untuk menyimpan data base, transaksi penjualan tiket penerbangan, tidak bisa diakses tanpa adanya aliran listrik yang menghubungkan ke perangkat tersebut.

Di pelataran parkir depan kantor pak Subranta, kemeja putihku sudah basah oleh keringat. Karena gerah, aku terpaksa melepas dua kancing paling atas. Kemudian berjalan gontai ke arah Jimni butut yang kuparkir sepuluh meter dari kantor pak Subranta. Agak santai aku di dalam mobil. Usai menghidupkan mesin, mataku agak terpejam merasakan desiran air conditioner yang ternyata bisa melumerkan kegerahanku selama pembicaraan dengan pak Subranta di kantornya yang pengap.

Saat persneling mobil mulai kugerakkan maju, mendadak suara handphone di sakuku berbunyi. Dari nada panggilnya aku tahu itu pasti panggilan dari Irma.

“Ya Ir, aku masih di jalan, baru selesai nemuin… Apa? Iya iya aku tahu. Kan udah aku bilang rada siangan nanti kita bicarakan lagi masalah yang itu. Kamu sekarang lagi di mana?”

“Ya udahlah nggak usah terlalu dipikirkan, nanti kita bicarakan jalan keluarnya. Pokoknya kamu sabar dulu sampai nanti siang…”

Tut…tut…tut…

“Ah, dimatiin lagi…. Sial!!”


Pukul 14.00 siang aku di kantor. Mataku menyorot tajam tiap kalimat yang kutuliskan di layar komputer. Aku memang termasuk teliti untuk urusan yang satu ini. Tapi sejujurnya, mataku sudah mulai lelah untuk terus kujadikan alat sensor hasil kerja. Tidur dua jam sebelum beraktifitas, ternyata belum cukup untuk menopang kinerjaku yang padat seharian ini.

Tiiiit….tiiiit….. bunyi melengking alert sms ericsson lawas milikku, sedikit membuyarkan konsentrasi kerjaku di depan komputer. Sms dari Irma.

Kutnggu di rmh jam 3 sr.bagi mas ini mngkn kurang pentng, tp tdk utkku. Aku tdk ingin ke2 ortuku tahu kondsiku sprti ini, sblm ada kepstian siap nikah dari mas. Tlg mngrti mas.

Tombol reply langsung ketekan dan kemudian sibuk menulis balasannya.

Iya syng, km tenang2 sj di rmh. Slesai dr kntr aku lngsng ke sn, ok.

Hp kemudian ku-geletakkan saja di meja. Aku sibuk kembali dengan pekerjaanku yang belum kelar. Entah kenapa, beberapa hari belakangan, rasanya enggan saja bertemu Irma. Aku belum siap menerima tantangannya untuk menikah.



Pukul 15.45 sore aku baru sampai di halaman depan rumah Irma. Sepanjang perjalanan tadi, pikiranku berkecamuk hebat. Segera menikahi Irma atau mencari jalan keluar lain terlebih dahulu untuk menyelesaikan masalah kami. Namun yang jelas, aku sangat mencintai gadis itu. Gadis manis yang mencintaiku sepenuh hati dan rela memberikan milik berharganya saat kami berdua dilanda gelora nafsu yang hebat. Entah sudah berapa kali kami melakukannya. Yang jelas kami menginginkannya karena kami saling cinta. Tapi, aku tidak menyangka bakal secepat ini. Janin yang tertanam di rahimnya, meminta kami untuk segera mengikrarkan diri dalam satu kehidupan rumah tangga yang sah secara norma agama dan masyarakat.

Setelah sepuluh menit dalam Jimni, aku baru sadar rumah ini kelihatan sangat sepi. Pintu dan jendela, tertutup rapat. Jarang-jarang rumah yang ditinggali Irma dan seorang adiknya ini, dalam kondisi begitu. Biasanya selalu terbuka di bagian depan. Paling tidak, ada aktifitas beberapa orang anak muda teman Bonny, adik Irma, yang kongkow-kongkow di depan. Di halaman depan rumah yang sengaja dibeli Keluarga Irma karena aktifitas pekerjaanya di kota ini. Irma seorang eksekutif di sebuah perusahaan soft ware. Jauh dari kota kelahirannya sendiri di Jawa Barat.

Aku kaget saat turun dari mobil dan dihampiri seorang pria tetangga sebelah. Menurut pria tua yang tidak kuketahui namanya, Irma baru setengah jam yang lalu dibawa ke rumah sakit. Ia mengalami pendarahan hebat. Tapi kenapa??


Pukul 16.40 sore, banyak orang di ICU rumah sakit. Aku lihat wajah-wajah sedih saat mendekat. Ada Ade, teman sekantor Irma yang kelihatan masih sembab wajahnya. Lalu kulihat Bonny, adik Irma yang masih mahasiwa, tepekur di depan sebuah jasad tertutup kain putih. Siapa?

“Irma… Irma….”. Spontan aku lari mendekat dan langsung mendekap jasad yang tertutup kain putih. Walau belum kupastikan dengan membuka selubung yang menutupi, aku tahu itu Irma. Aku meraung sejadi-jadinya. Sama sekali tidak terbayang olehku bakal seperti ini kejadiannya. Cukup lama aku begitu, sampai akhirnya bertemu pandang dengan sorot mata benci dari wajah sembab Bonny. Aku coba meredakan suasana dengan mendekatinya. Tapi ia membalikkan badan dan menjauhiku. Bonny marah karena tahu Irma meninggal saat coba menggugurkan sendiri janin yang dikandungnya. Bonny baru tahu sore ini kalau Irma mengandung. Dialah yang pertama kali menemukan Irma dalam kondisi sekarat di kamar mandi.

Wajah-wajah di sekelilingku kini, menatap dengan pandangan aneh terhadapku. Keterangan dokter yang diberikan sebelumnya, jelas membuatku terpojok. Ini semua salahku. Irma hamil karena aku. Begitu juga sampai ia nekad menggugurkan kandungannya yang berakibat fatal, meninggal. Ia mungkin sampai pada kesimpulan tentang sikapku yang tidak cukup serius menanggapi masalah kami. Seperti isi sms-nya sore tadi. Padahal, ia sudah begitu bingungnya. Pria seperti apakah aku ini?

Tiba-tiba kepalaku berat. Sangat berat. Tidak seharusnya aku bersikap menjauhinya belakangan ini. Hanya karena egoku pribadi, aku kehilangan gadis yang kusayangi, dan… anak yang berada dalam rahimnya.

“Aahh…”. aku berteriak keras. Keras, sekeras kerasnya...


Pukul 23.30 malam aku baru sampai rumah. Pikiranku masih kalut. Jenazah Irma malam ini sudah dibawa kembali ke rumah. Aku ikut mengantarnya tadi walau terus berhadapan dengan sorot benci Bonny. Irma rencananya dimakamkan besok pagi setelah kedua orang tua dan sanak keluarganya yang lain datang ke kota ini. Pengajian baru selesai dilakukan di kediamannya setengah jam lalu. Aku sebenarnya terus berkeinginan bersama Irma hingga saat-saat pemakaman dilakukan besok pagi. Tapi Bonny berkeras dan tidak menghendaki kehadiranku lebih lama lagi di sana. Aku mengalah dan pulang ke rumah…

Suasana gelap. Aku ternyata lupa menghidupkan sebagian lampu luar saat pergi tadi pagi. Begitu di dalam dan menghidupkan lampu, badan langsung kurebahkan di sofa panjang ruang tengah. Rasanya berat sekali hari ini. Kenyataan yang baru saja kuhadapi, begitu menjejal sel-sel putih otakku. Berat harus kehilangan gadis yang kusayangi dengan cara yang tragis. Meninggal saat coba menggugurkan janin dalam kandungannya. Dan itu…itu terjadi karena kealfaanku menanggapi sinyal-sinyal khawatir Irma!!

“Goblok!! Makiku pada diri sendiri.

Usai memaki aku malah ingat pada kucing peliharaanku, si Goblok. Sudah seharian ini kutinggalkan sendiri di rumah. Aku saja lupa, apa dia di dalam rumah saat kutinggalkan tadi, atau malah sudah bermain-main di luar dan tidak bisa masuk karena pintu terkunci. Mendadak aku jadi ingin membelai-belai bulu hitam putihnya yang lembut. Selama ini Goblok selalu setia menemani kesendirianku di rumah.



Pukul 00.00 malam, saat aku dengar sayup-sayup dentangan dua belas kali jam dinding di ruang tengah. Aku lihat sosok tubuh Goblok tergeletak diam di teras samping. Diam walau berulang kali kupanggil namanya. Saat kubalik tubuhnya, ada darah yang kelihatan setengah mengering dari lambung mungilnya. Goblok ditembak dan mati...

Tak terasa, bulir-bulir hangat air mataku kembali menetes. aku menangis lagi. Tubuh kaku Goblok langsung kurengkuh dan kudekap erat. Dari balik tubuh yang kuangkat, aku lihat sepotong paha ayam goreng utuh yang baru dikerat sedikit. Goblok ditembak saat ketahuan mencuri!!

Langsung terbayang dalam benakku, tingkahnya mengais-ngais sisa makanan di tempat cucian piring tadi pagi… Tanpa sadar, ingatanku buyar dan samar. Tubuhku limbung dan terbanting keras di lantai samping rumah.…


tentang penulis :
Noesaja. Senang nulis berawal dari iseng. Hobinya mendeskripsi-kan catatan perjalanan, kehidupan dan tingkah polah teman-temannya saat masih kuliah di S1 teknik energi listrik institut teknologi nasional malang. Kini menekuni profesi jurnalist tv.

berpikir dengan sel sel kelabu otak


Dulu saat masih kecil, saya sering diterangkan oleh guru tentang perkembangan batam yang bakal pesat ke depannya. Bagi saya yang sekolah di pinggiran batam dengan kondisi yang serba terbatas saat itu, sepertinya hanya dongeng saja. Dulu juga, waktu ditanyakan oleh guru tentang walikota Batam saat itu, saya agak kerepotan menjawabnya. Yang lebih terhapal dalam benak saya malah kepala badan pengembangan daerah industri pulau batam atau Kabalak Otorita Batam. saat itu masih dijabat oleh almarhum bapak Soedarsono. Walikota, rasanya hanya sebagai simbol dan belum memiliki banyak pengaruh di pulau batam. Banyak hal yang masih bermuara ke Otorita sebagai otoritas pengelola pulau industri tersebut.

Yang saya ingat lagi waktu masih kecil, Cuma urusan KTP saja yang harus diurus ke jajaran pemerintah kota. Kecamatan khususnya. Selebihnya dan semuanya ditangani Otorita. Saya memang tidak begitu kenal dengan sosok walikota saya waktu itu. Hanya sekedar tahu dari cerita guru. Sekilas nama, Usman Draman. Itu tahun 80-an lalu. Cuma sebatas itu saja. Hal demikian juga yang saya rasakan waktu meniggalkan pulau ini sepuluh tahun lalu.

Dengung reformasi saya dengar, lihat dan rasakan saat ada di tanah seberang. Semuanya berubah begitu cepat. Positifnya, banyak hal yang dulu seperti terbelenggu, mulai mendapat jatah porsinya masing-masing. Semua bebas menyalurkan suara. Semua bebas menyalurkan pendapat, aspirasi, termasuk juga pegawai negeri yang dulu begitu terdoktrinasi dengan kontrak politiknya. Orang pintar bilang, “ini namanya reformasi dalam berdemokrasi di negara kita”. Sistem dan peta perpolitikan tanah air berubah. Kita jadi mengenal arti demokrasi secara langsung. Bukan demokrasi antara yang dibungkus nama demokrasi pancasila (itu yang saya pelajari dulu waktu sd)

Waktu kembali ke Batam lima tahun lalu, saya benar-benar meraskan magis dari penerapan undang-undang tentang otonomi daerah. Walikota di sini sudah punya gigi. Bukan sekedar simbol tanpa taji. Walau belum dipilih secara lagsung, walikotanya juga mulai jadi motor penggerak perubahan tentang era otonomi daerah. Banyak kebijakan yang sudah ditangani atau diambi alih dari pengelolaan awal Otorita Batam sebagai pioneer pembangunan di sini.

Tapi, perubahan terjadi karena reformasi. Saya nggak terbayang bakal seperti ini kejadiannya, jika reformasi tidak terjadi tahun 1998 lalu. Selain membawa perubahan sistem, kondisinya juga menyebabkan perubahan di banyak segi kehidupan. Semua memang telah berubah kini. Terutama bagi rakyat kecil yang merasakan harga-harga barang jadi membumbung tinggi. Angkatan Muda Pengangguran Indonesia juga ikut membludak!! Kata pakar ekonomi, kondisi ini karena pengaruh kurs tukar mata uang kita yang labil, serta kondisi belum stabilnya ekonomi nasional pasca reformasi. Saya pribadi mencoba maklum. Tapi bagaimana dengan masyarakat lainnya yang sudah bosan menunggu? Wow kesuen… belum lagi kebijakan pemerintah baru-baru ini yang menaikkan harga BBM dalam negeri hingga lebih 100 persen dari harga lama. Tapi sudahlah. Pemerintah pusat mungkin punya pikiran lain tentang itu. Kita coba sikapi secara arif saja supaya baik ke depannya.

Pemilihan langsung
Kembali ke masalah pemilihan langsung, sekarang ini kita punya presiden yang dipilih secara langsung oleh rakyat. Wakil-wakil rakyat kita yang duduk di DPR pusat hingga di daerah-daerah juga melalu proses pemilihan secara langsung. Seperti apa dan bagaimananya, bisa kita lihat sekarang. Kepala daerah juga menyusul dipilih secara langsung oleh rakyatnya belakangan ini. Lewat pilkada. Kata teman saya, “ini demokrasi langsung bung!” Kandidat calon bebas menyampaikan visi misi tentang program kerja bila nanti terpilih. Tapi kartu truf ada di tangan rakyat . Rakyat yang menentukan pilihan mereka sendiri tentang kepala daerah yang diharap mampu megembangkan daerahnya ke depan. kenyataan yang kita lihat belakangan, Pilkada yang digelar di banyak daerah berlangsung panas. Malah ada yang anarkis. Banyak massa pendukung calon kepala daerah yang saling ribut satu sama lain. Demo penolakan hasil pilkada hingga melayangkan gugatan ke mahkamah agung tentang hasil yang dianggap tidak fair. Ada apa ini? Siapa yang salah? Apa sistemnya yang salah? Atau, memang kita yang belum siap menjalani demokrasi langsung secara dewasa?

Melihat kondisi ekonomi bangsa kita, pada satu sisi pemilihan kepala daerah yang digelar di berbagai daerah cenderung membawa sikap apatis sebagian masyarakat. Siapapun yang terpilih, banyak yang cenderung pesimis dan tidak mau tahu. Sisi lain, ada juga yang begitu menggantungkan harapan setinggi langit pada calon pujaannya. Tapi tidak siap menerima hasil yang mengecewakan bila jagonya kalah. Ironis memang!! Umur republik ini sudah lebih setengah abad. Tapi kita tetap saja dihadapi masalah yang itu-itu juga. Ketidakdewasaan berpikir. Atau juga kepentingan golongan yang selalu lebih utama. Rasanya seperti siklus lingkaran setan yang terus saja berulang di negeri ini.

Beda dulu dan sekarang
Apa sih bedanya pemilihan jaman dulu dan sekarang? Jaman dulu seluruh kepala daerah dipilih dari pusat. Istilahnya sentralisasi. Semuanya harus ada restu dari kementrian dalam negeri republik ini. Peluang? Cuma terbuka bagi birokrat pegawai negeri golongan atas atau TNI yang dikaryakan. Jangan Tanya apakah kepala daerah itu perlu mendapat restu atau dukungan masyarakat setempat. Yang ditunjuk sudah pasti “diterima” karena memang belum jamannya menolak atau melakukan demo ketidakpuasan. Apalagi sampai gontok-gontokan atau tawuran antar pendukung seperti kompetisi sepak bola kita yang carut marut itu. Jaman sekarang? Kalau menurut aturan di UU no 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, pada prinsipnya semua warga boleh mencalonkan atau dicalonkan. Tapi tentu dengan batasan-batasan aturan teknis. Seperti harus ada parpol yang mengusung atau mendukungnya. Parpol pendukung atau pengusung, juga harus yang memiliki kursi wakil rakyat di DPRD. Khusus pemilihan walikota, ya tentu parpol yang memiliki kursi di DPRD kota. Restu Parpol adalah mutlak untuk maju bersaing dalam bursa pencalonan. Malah, ada yang menerapkan kebijakan restu dari DPP-nya di Jakarta. Restu di daerah saja belum jadi modal kuat untuk maju sebagai kandidat calon.

Kalau ditilik, sepertinya sama-sama terpusat dengan sistem jaman dulu. Bedanya, dulu ke departemen dalam negeri, sekarang ke masing-masing parpol. Tapi yang jelas, setelah masa penjaringan parpol ini, ada proses yang langsung melibatkan masyarakat banyak, itulah pilkada!

Bagi saya dan mungkin juga masyarakat biasa lain, ini gampang-gampang susah. Dibilang gampang karena kita dengan mudah dapat menentukan pilihan yang sesuai dengan hati nurani kita sendiri. Susahnya, belum tentu pilihan kita itu merupakan suara terbanyak dan yang menjadi pemenang pilkada. Satu hal lagi, banyak dari kita yang belum mengenal secara utuh kandidat calon yang diusung. Seperti membeli kucing dalam karung. Kita hanya dapat mendengar janji-janji mereka saat ini melalui media massa atau juga saat kampanye terbuka. Praktek nyata dari realisasi janji, baru dibuktikan bila calon terpilih. Tapi masalahnya, mulut siapa yang bisa dipegang? Deraan cobaan hidup yang bertubi-tubi dalam beberapa waktu terakhir, serta kebijakan pemerintah di pusat dan daerah yang sering tidak berpihak ke rakyat banyak, membuat sebagian ada yang merasa apatis.

Januari tahun depan, kalau jadi kita bakal menggelar pemilihan langsung walikota Batam. ini jadi ajang pemilihan langsung pertama di sini. Kita bakal punya walikota baru hasil pemilihan perdana. Mau seperti apa walikotanya, kita sebagai warga yang menentukan. Tentu yang memperoleh suara terbanyak. Tapi apa memang sesederhana itu? Siapa yang benar-benar layak dipercaya? Perlu kedewasaan berpikir tentunya.

Kalau saya boleh mengutip sedikt ucapan dari salah satu tokoh fiksi legendaris –Hercule Poirot- “kita sebenarnya hanya belum menggunakan sel-sel kelabu otak kita dengan baik dan benar untuk memecahkan persoalan dan pilihan”. Secara konteks, apa yang diucapkan Poirot soal sel-sel kelabu otak-nya memang beda peruntukan. Poirot bukan ahli politik. Bukan juga sosiolog atau ahli filsafat. Ia hanya seorang detektif fiksi hasil khayalan novelis Agatha Cristhie.

Diceritakan, ia kerap menggunakan sel-sel kelabu otaknya untuk mencari pemecahan terbaik setiap kasus-kasus kejahatan yang dihadapi. Caranya dengan merenung seorang diri. Berpikir dalam untuk mencari benang sari masalah dan menarik kesimpulan terbaik dari masalah yang dihadapi. Nah, menurut saya sel-sel kelabu otak setiap manusia khan tidak hanya digunakan untuk memecahkan kasus-kasus kejahatan seperti yag dilakukan Poirot. Jadi bagaimana? Ya mungkin seperti yang diungkapkan Poirot tadi. Menggunakan sel-sel kelabu otak kita untuk menentukan yang terbaik. Dari calon-calon kandidat yang muncul, mungkin ada yang terbayang tentang sebuah wajah yang layak jadi walikota pertama warga di sini. Atau, malah tidak sama sekali karena tidak ada yang muncul dari sel-sel kelabu otak kita. Semoga bukan itu hasilnya. (bintoro suryo)

Email : www.noe_saja@yahoo.co.id

untuk teman



Akhirnya semua akan tiba pada hari yang biasa.
Pada sesuatu ketika yang telah lama kita ketahui.
Apakah kau masih selembut dahulu?
Memintaku minum susu dan tidur yang lelap?
Sambil membenarkan letak leher kemejaku?.Kabut tipis pun turun pelan-pelan di lembah kasih, lembah mandala wangi….
Kau dan aku tegak berdiri, melihat hutan-hutan yang menjadi suram.
Meresapi belaian angin yang menjadi dingin.
Apakah kau masih membelaiku semesra dahulu?
Ketika kudekap, kau dekaplah lebih mesra, lebih dekat.
Apakah kau masih akan berkata ; “kudengar detak jantungmu”?
Kita begitu berbeda di dalam semua, kecuali di dalam cinta...

Dedicated soe hok gie


Mahameru…
Jujur, aku nggak kenal dekat dengan Soe Hok Gie seperti yang ada dalam tulisan kertas ini.. Aku juga nggak tau siapa orang yang sengaja atau mau bersusah-susah membawa kopian kertas yang kini ada di tanganku kemari, ke puncak Mahameru ini. Bermil-mil jaraknya dari permukaaan laut! Bayangkan, tinggi semeru 3748 meter dpl. Tapi, puisi yang kutemukan persis di bawah himpitan sebuah batu di Mahameru ini, begitu membuatku merinding.

Sekejap, aku coba melepaskan daypack yang sedari tadi berada di punggungku. Rasanya lebih lega sekarang. Sebotol air yang kubawa sejak dari kalimati, makin melegakan tubuhku yang berpeluh. Tapi, rasa dingin kini yang ganti menusuk hingga sumsum tulangku.. Termometer yang sengaja kubawa menunjukkan suhu lumayan dingin, 5 derajat celcius! Rasanya jaket bulu angsa yang kupakai ini tidak mampu mengusir hawa dingin yang terus dihembus-hembuskan angin yang lumayan kencang bertiup.

Basir kulihat mulai berjalan tertatih ke arahku. Sedari arcapada tadi, ia terus kutinggalkan di belakang karena mendaki terlalu lambat. Wajahnya kulihat juga mulai berubah pucat seperti kapas. Cuaca memang tidak begitu bersahabat bagi kami saat ini. Tapi perjalanan kali ini membuatku senang. Ini adalah adalah kali pertama Basir bisa mencapai puncak Semeru bersamaku. Pendakian lalu, ia menyerah di arcapada karena mengalami hypotermia.

“Kita.. jangan.. terlalu.. lama berada di sini.. Angin…terlalu …kuat bertiup. Mungkin..bakal ada… badaaaiiiiiii”, Basir yang sudah dekat segera menghempaskan pantatnya di sampingku. Nafasnya masih tersengal-sengal karena lelah. Ditambah lagi, oksigen memang terlalu tipis di sini.

Di ujung kawah sana, kulihat putaran angin memang berubah-ubah. Gas belerang yang keluar dari dalam kawah tersapu angin tidak beraturan. Itu artinya, waktu aman berada di atas Mahameru ini, mungkin tidak sampai pukul 08.00 pagi. Angin yang membawa asap beracun, bisa dengan mendadak bertiup ke arah puncak dan membahayakan kami berdua. Belum lagi lontaran batu panas yang setiap lima menit keluar dari kawah dan bisa saja melukai bahkan membunuh.

Kabut tipis kulihat juga mulai turun perlahan. Beradu dengan tiupan angin yang bertiup kencang. Arloji di tanganku sudah menunjukkan pukul 05.30 pagi. Hitungan normal, masih ada waktu dua setengah jam lagi untuk berada di atas puncak ini sebelum semuanya menjadi suram oleh asap-asap tipis beracun bawaan kawah semeru. Perlahan, kubuka kembali lipatan kertas kopian di tanganku :


Kabut tipis pun turun pelan-pelan di lembah kasih, lembah mandala wangi.
Kau dan aku tegak berdiri, melihat hutan-hutan yang menjadi suram.
Meresapi belaian angin yang menjadi dingin.
Apakah kau masih membelaiku semesra dahulu?

“Mesra? Bah.. ini sudah hampir beku”, hampir tidak sadar aku bergumam sendiri.
“Apa yang kau baca Yod, kertas apa itu?” Basir yang mulai normal dari kelelahannya, kelihatan bingung sambil menatapku..

- “Nih, ada orang iseng suka puisi yang membawanya sampai puncak. Kutemukan di balik batu itu”
.
+ “Ladalah.. Soe Hok Gie! Hok Gie kan mahasiswa UI yang mati di sini!” ini puisinya atau puisi orang yang nge-fans dia ya?

- “Entah.. tadi iseng saja kuambil terus kubaca. Tapi aku jadi merinding sendiri Sir. Isinya dalam sekali.”

Mendadak Basir mengembalikan kertas ke tanganku, kemudian beranjak bangkit. Temanku yang berbadan tambun itu tiba-tiba berteriak lumayan keras.

“ Hok Gie.. Hok Gie.. kamu di sini? Aku berhasil Gie.. berhasil. Aku di puncakmu sekarang, ha ha ha . akan kukatakan pada Anie di rumah kalau aku tidak selemah yang dikira ha ha ha , Joni juga, Gie.. Joni juga yang selalu meremehkan kemampuanku”. Basir terus berjalan sambil merentangkan kedua tangannya. Aku jadi tau, Basir girang karena berhasil menggapai puncak yang selama ini selalu diimpi-impikannya.

“ Husss, nggak pantas kau panggil dia hanya nama saja. Kalau dia masih hidup, umurnya sudah sepantaran bapakmu”, timpalku sambil tersenyum.

“ Ha ha ha, benar benar. Om Gie, maafkan aku… maafkan aku. Aku datang ke puncakmu sekarang…”, Basir masih berjalan sambil terus merentangkan kedua tangannya seperti pemain bola yang berhasil menjebol gawang lawan. Udara dingin yang menusuk hingga sumsum tulang, tidak begitu diperdulikan. Juga ketakutannya soal badai saat awal tiba tadi.

Kubiarkan Basir dengan kegembiraannya. Aku sendiri mulai sibuk mencari notes dari dalam daypack-ku. Mencoba merekap kembali waktu perjalanan kami berdua dan mulai merencanakan jadwal kembali. Soalnya, cuti tahun kelimaku sudah hampir habis. Tapi aku puas karena bisa kembali ke puncak ini setelah lama disibukkan dengan pekerjaan harian di kantor.

********************

Tak terasa, sudah cukup lama juga aku sibuk menulis di atas kertas notes-ku. Kalau saja tangan ini tidak terasa semakin beku dan dingin yang menusuk masuk pori-pori tidak semakin menggila, aku nggak bakal tahu bahwa cuaca sekarang memang sudah benar-benar tidak bersahabat. Kabut yang turun sudah semakin tebal. Sementara hembusan angin dari arah kawah sudah mulai mengarah ke puncak. Aku juga tidak lagi mendapati Basir. Pandanganku terhalang oleh tebalnya kabut. Rasanya, hanya satu - dua meter saja di depan mata yang dapat kulihat dengan jelas. Selebihnya, suram.

“ Sir, Basir..”
“ Baasiir, Baasiir..”
“ Baaaassiiiiir, Baaaassiiiir….” Tak sabar aku akhirnya berteriak sekeras-kerasnya. Tapi tetap tidak ada sahutan. Aku mulai mengkhawatirkan teman gendutku itu. Setengah berlari, segera kususul ke arah terakhir aku melihatnya. Tapi cuaca benar-benar suram. Aku tidak bisa bergerak cepat. Tiupan angin dan jarak pandang yang terbatas, membuatku benar-benar seperti orang yang sedang meraba-raba.

Pada jarak 200 meter dari tempat aku beristirahat tadi, kutemui Basir. Sudah tergeletak diam. Hembusan angin dari arah kawah membuat pernafasanku tersedak. Bau menyengat belerang dan larutan kimia lainnya benar-benar membuat pembuluh darahku seperti mau pecah. Setengah memaksa, kuseret tubuh besar Basir menjauh dari arah tiupan angin.Terus dan terus sampai akhirnya aku menemui sebuah gundukan batu lumayan besar untuk berlindung dari terpaan angin jahat pembawa racun. Pipi Basir kutepuk untuk memastikan kondisinya. Sedikit gerakan yang dibuat membuat aku tau masih ada kehidupan dari temanku itu.

*********************

Arcapada…
Hampir siang ketika aku dan Basir sampai di Arcapada kembali. Tenda yang kami tinggalkan sejak dini hari masih kelihatan utuh. Begitu juga barang bawaan kami. Walau tidak sedingin di puncak, cuaca di sini juga tidak kalah membuat badan gemetaran. Beban berat karena menopang tubuh gendut basir, tidak cukup membuat suhu tubuhku naik. Wajah Basir sendiri kulihat lebih pucat dari yang kulihat saat ia baru tiba di puncak tadi pagi. Racun kawah yang sempat terhirup lama temanku ini serta hypothermia yang lagi-lagi menyerang membuat kesadarannya kolaps. Aku hanya berharap bisa terus membawanya turun hingga menemukan pertolongan yang bisa menyelamatkan nyawanya.

Persediaan air dalam botol minumku hanya tersisa seperempatnya saja. Kubuka tutup botol dan kubasahi sedikit tenggorokanku. Sisanya kuminumkan ke mulut Basir. Masih perlu perjalanan dua jam normal untuk bisa sampai di kalimati dan menambah persediaan air kami.

“ Tubuhku dingin sekali… dingin sekali…”, Ini sudah yang kesekian kali Basir merintih begitu. Padahal, aku sudah menambahkan satu lagi jaket bulu angsa untuk dipakainya.

Aku tidak mau terlalu berlama-lama di sini. Jarak perjalanan kami untuk sampai ke desa terakhir di Ranu pani, masih cukup jauh. Setelah kukemasi seluruh peralatan dan memindahkan sebagian barang bawaan Basir ke carrier milikku, kami segera melanjutkan perjalanan. Karena keterbatasan tenaga, sisa barang Basir terpaksa kutinggalkan. Tapi, huh…. lagi-lagi, aku harus berjalan sambil menopang tubuh gendutnya..

******************

Kalimati…
Tulang-tulangku seperti mau lepas semua. Setelah merebahkan tubuh Basir di sebuah tanah datar berumput, aku sendiri langsung terbaring lemah. Nafasku tersengal. Setelah mengatur nafas, aku coba mengeluarkan peralatan P3K dan memberi beberapa obat lagi padanya. Sisa seteguk air yang ada di botol airku, kuminumkan habis untuknya. Setelah menyelimutinya dengan jaket yang kukenakan, aku segera bergegas turun ke sumber mata air kalimati untuk menambah air persediaan kami.

Sepanjang jalan, kukutuk habis sikap teledorku yang membiarkannya begitu saja di puncak tadi pagi. Seandainya sempat kucegah dan kularang untuk bergerak terlalu jauh,mungkin tidak begini keadaannya. Apalagi cuaca puncak memang tidak bersahabat. Tapi sudahlah.. semua sudah terjadi.

Di sumber air, sambil menunggu tetes demi tetes air mengisi botol-botol airku, iseng – iseng kubuka kembali kertas fotokopi yang kutemukan di puncak. Beberapa bait puisi yang tertulis kutebak sendiri dengan mengartikannya.


Ketika kudekap, kau dekaplah lebih mesra, lebih dekat.
Apakah kau masih akan berkata ; “kudengar detak jantungmu”?
Kita begitu berbeda di dalam semua, kecuali di dalam cinta.

Di kepalaku langsung muncul sosok Basir. Ya, aku dan Basir memang begitu berbeda dalam banyak hal. Sejak kuliah dulu hingga sekarang satu kantor, hanya satu yang membuat kami bisa terus bersama. Kecintaan pada alam yang hijau, udara yang segar dan gunung-gunung tinggi yang menjulang. Selebihnya, kami lebih banyak berseteru dan berseberangan. Pun di dalam urusan pekerjaan. Ide-idenya yang sering dilontarkan dalam rapat kerja, bagiku terlalu mengangkasa dan tidak berpijak pada realita yang ada. Entah, apa yang ada di kepalanya tentang aku. Rasanya tidak akan jauh berbeda dari sikapku memandangnya. Basir adalah orang yang meledak-ledak. Sementara aku tidak. Ia juga tipe pemuja wanita yang rela menyerahkan kepalanya pada wanita yang disayang. Aku sendiri lebih berpegang pada prinsip untuk tidak ingin takluk di kaki wanita.

Ya, hidup memang aneh. Kami bisa satu jika sudah membicarakan tentang hutan, gunung, edelwijs yang cantik atau juga rangkaian perjalanan ke alam yang tidak pernah bosan kami lakukan dan terus ulangi. Pun di saat usia kami bukan lagi kelas mahasiswa dan sudah seharusnya sibuk mengurusi hidup masing-masing atau berumah tangga. Tidak ada yang bisa menghalangi kesenangan dan kecintaan kami pada alam yang hijau, rumput savanna yang membentang luas serta bermain-main di danau bening dengan sekumpulan bangau putih.

Tak terasa botol-botol airku sudah penuh terisi air semua. Aku jadi ingat lagi dengan Basir yang kutinggal sendirian di padang rumput. Oh, jangan-jangan dia sudah membeku kedinginan atau dimakan si kumbang penjaga hutan. Atau malah sebaliknya? Tiba-tiba punya energi tambahan dan sudah menyiapkan makan siang yang seharusnya kusiapkan? Entahlah. Aku bergegas menuju check point kami berhenti tadi.

*************************

Ranu Kumbolo…
Dari atas bukit, aku bisa melihat lembah danau kumbolo begitu menakjubkan dipandang. Sebentar kuperhatikan tiap sudut lembah yang bisa terekam semua dalam pigura pandangku. Sementara tubuh Basir yang berat kusandarkan begitu saja di sisiku. Memang lelah, tapi inilah hiburanku satu-satunya setelah 4 jam berjalan dengan terus menopang tubuh berat Basir dari kalimati. Pikiran kalutku karena terus mengkhawatirkan kondisi Basir, kubuang sejenak.

Aku ingat, lima tahun lalu aku dan Basir juga berada di tempat ini. Basir ada di sudut danau dan selalu terdengar tawa riangnya karena berkali-kali umpan pancing selalu sukses menghasilkan ikan. Malamnya kami pesta ikan bakar berdua. Menari-nari, mengitari api unggun yang kami buat...

“ Sir, sepertinya kita harus bermalam di sini. Sudah sore sekarang. Terlalu beresiko kalau terus melanjutkan perjalanan ke desa terakhir”, ujarku memecah kesunyian kami berdua di atas bukit.

Aku hanya mendapati sorot mata Basir saja yang mengiyakan. Ia sepertinya sudah pasrah dengan kondisi yang dialami. Jangankan untuk berbicara, melangkah saja berkali-kali harus kubantu dengan cara menyeret. Jujur saja, aku tidak mampu jika harus sampai membopong badan besar Basir.

Tenda yang kudirikan untuk bermalam kami berdua, hanya berjarak lima meter saja dari tepian danau Kumbolo. Selain memudahkanku mengambil air untuk keperluan memasak, dari jarak sedekat ini aku juga bisa menyaksikan kumpulan bangau putih yang sedang bermain-main di air menjelang maghrib. Basir sendiri telah kurebahkan di dalam tenda. Setelah kukenakan jaket bulu angsa di tubuhnya, ia kuselimuti dengan sleeping bag agar bisa membantu suhu tubuhnya bertahan di ambang normal. Tapi sepertinya, tidak banyak membantu. Wajahnya tetap pucat. Sementara bibirnya masih biru. Walau sering berseteru soal kerja dan prinsip, jujur aku takut kehilangan sahabatku ini. Terlalu banyak pengalaman bersama yang telah kami lalui. Aku takut cuaca tidak lagi bersahabat dengan kami malam ini. Kulihat mendung hitam menggayut di langit. Tidak juga ada bintang yang kelihatan.Sementara tiupan angin yang kurasakan, semakin mengencang sejak kami tiba sore tadi.

***************

Aku terbangun karena terpaan keras yang kurasakan pada tenda. Pukul 01.00 dini hari saat ini. Dugaanku soal angin dan kemungkinan badai terbukti. Badai angin yang datang hampir saja menerbangkan tenda ini. Beruntung pasak yang kutanam sebagai penahan cukup kuat. Ditambah lagi, mungkin bobot kami berdua yang berada di dalam tenda. Kulirik ke samping, Basir masih pada posisi semula. Tetap diam dengan wajah dan bibir pucat. Mulutnya agak ternganga. Saat kuraba, tubuhnya sangat dingin. Dingin sekali seperti tidak ada lagi darah yang mengalir. Aku jadi begitu khawatir dengan kondisinya.

“ Basir, Basir”. Aku menepuk-nepuk pipinya berharap ada sedikit gerakan. Tapi Basir tetap diam. Mulutnya terus menganga dengan kelopak mata yang menutup. Aku semakin khawatir. Kusingkap beberapa bagian penutup tubuhnya dan meraba denyut jantung Basir. Rasa gusarku semakin menjadi-jadi karena tidak sedikit pun kurasakan denyut walau lemah.

Tanpa berpikir lebih jauh segera kusingkapkan semua penutup tubuh sahabatku ini hingga hampir telanjang. Aku kemudian melakukan hal yang sama. Melucuti seluruh pakaian yang jadi penghangatku malam ini. Cuaca yang semakin dingin dan hembusan angin kencang yang berusaha masuk lewat celah-celah tenda tak kuhiraukan. Segera kurangkul dan kudekap erat-erat tubuhnya dan membalut tubuh kami berdua dengan sleeping bag yang ada. Aku berusaha memindahkan panas tubuhku untuknya.

“ Ayo sir, bangun… bergeraklah… bergerak Sir”

“ Ayo, ingat Anie…. Lakukan untuk Anie, Sir. Dia menunggumu… bergerakkk lah untuk Jhoni juga, kau bukan orang lemah, ayyoooo”. Teriakku.

Aku terus memompakan semangat, memeluknya dan berharap dia masih bisa mendengar. Kupandangi tajam-tajam wajahnya yang kini sudah tidak berjarak lagi dengan wajahku. Aku terus mendekapnya dan berharap ada denyut jantung yang bisa kurasakan. Sementara di luar, badai angin terus saja berusaha membanting-banting tenda yang kami tempati..aku terus memeluknya, mendekapnya. Entah sudah berapa lama aku “bersetubuh” dengan sobatku ini.

“ Bangun, bangun Sir… bangun. om Hok Gie tidak akan suka melihat kau jadi lemah. Belum ada yang bisa kau banggakan padanya sebelum kita sampai di bawah,” asaku untuk berharap Basir untuk kuat, kini sudah mulai habis. Tanpa terasa air mataku keluar dan langsung membasahi wajah serta bibirnya yang pucat. Tapi Basir tetap diam membisu. Akhirnya, Aku juga terdiam. Samar-samar teringat lagi dua bait pertama puisi yang sempat membuatku merinding tadi pagi :

Akhirnya semua akan tiba pada hari yang biasa.
Pada sesuatu ketika yang telah lama kita ketahui.

………

Dini hari ini, aku hanya bisa tercekat sendiri di dalam tenda yang sepi. Di sampingku, hanya ada tubuh kaku Basir. Basir, temanku…

************************

Rabu - Kamis, 7 – 8 Februari 2006

PUISI : Sebuah Tanya - SOE HOK GIE

Katalog :
Arcapada : Base camp terakhir sebelum puncak mahameru, berjarak dua jam perjalanan ke puncak
Carrier : Ransel ukuran besar untuk membawa seluruh keperluan perjalanan
Dpl : Di atas Permukaan Laut
Daypack : Ransel/ tas punggung kecil
Edelwijs : Bunga yang hanya terdapat di pegunungan. Jika kering, bunganya tetap awet hingga bertahun-tahun
Hypothermia : Penyakit yang muncul di lokasi yang tinggi dan dingin karena minimnya oksigen
Kalimati : Lokasi sumber air terakhir di gunung semeru. Berjarak 4 jam perjalanan ke puncak mahameru.
Mahameru : Puncak gunung semeru
Notes : Buku catatan kecil
Ranu Regulo : Ranu = danau. Regulo adalah desa terakhir di kaki gunung semeru, ada danau yang disebut ranu regulo
Ranu kumbolo : Ranu = danau. Ranu kumbolo adalah danau yang terletak di sebuah lembah pegunungan semeru.

Contact person
Email : noe_saja@yahoo.co.id



The Person


Dari kursi nomor 27F di kabin pesawat, aku terus memperhatikan wajah aneh yang terpaut dua kursi di depanku. Rasa-rasanya, wajah itu cukup familiar di kepalaku. Tapi, sulit sekali mengingatnya dengan jelas…

Sudah sejak di terminal keberangkatan bandara ini aku coba mengorek dan mengaduk-aduk isi kepalaku untuk mengingatnya. Wajahnya khas, ada tompel kecil di bagian kiri. Tampangnya sangar dengan kumis lebat yang menutupi hampirseluruh bibirnya yang kecil. Pria berusia lebih lima puluhan tahun itu begitu menyita perhatianku begitu tiba di bandara ini. Entah kenapa aku begitu tertarik dengan wajahnya. Seperti dikenal, tapi sulit untuk menebak siapa dia.

“ Selamat siang pak, bisa dilihat tiketnya?” sapaan seorang gadis petugas di checking counter membuyarkan pemikiranku yang berusaha keras mengingat. Sementara pria tua aneh yang jadi perhatianku sudah mulai berlalu dengan bawaan koper kecilnya.

“ Oh iya, ini… jawabku sembari menyerahkan selembar tiket tujuan Balikpapan – Jakarta pada gadis yang kupandang-pandang ternyata manis juga…

“Ada bagasi?”

“Tidak, tas kecil ini biar saya bawa ke kabin saja”

Wajah manis gadis petugas di checking counter keberangkatan bandara ini, ternyata belum bisa sepenuhnya mengalihkan perhatianku pada wajah sangar yang kulihat tinggal punggungnya saja di kejauhan. Selesai dari konter pemeriksaan tiket, aku langsung bergegas menuju ruang tunggu bandara. Bapak tua sangar itu pasti punya tujuan sama denganku, Jakarta, begitu tebakku dalam hati.

Benar saja, ia terlihat di sudut ruangan. Sedang membaca sebuah surat kabar lokal kota ini. Aku mengambil posisi duduk tidak jauh darinya. Hanya berjarak tiga kursi saja. Dari sini, aku bisa kembali memandangnya sambil berusaha keras untuk mengingat siapa sebenarnya pria tua yang membuatku penasaran ini. Tapi rupanya agak sulit karena wajahnya selalu tertutup dengan lembaran koran yang dibaca.

Sesekali kulihat ia meraba bagian pinggang. Sementara pandangannya tetap serius mengamati huruf demi huruf koran lokal yang dibentang. Entah apa maksudnya. Aku hanya bisa menebak-nebak saja. Mungkin ada sesuatu barang yang disimpan di balik pakaiannya dan ia hanya ingin memastikan barangnya aman tersimpan di sana. Atau, mungkin ada alasan yang lain dan tidak kuketahui.

Beberapa kali aku terpaksa membuang muka ke arah lain untuk menghindari kecurigaan bapak tua itu dan juga penumpang-penumpang lain di sekitarku. Jujur, untuk mendekati langsung dan menanyakan identitasnya, rasanya kok kurang sopan…

Aku mencoba mengalihkan rasa penasaran dengan memeriksa kembali barang-barang bawaan di tas kecil yang sedari tadi kusandang. Pistol, ya barang ini hampir sama dengan fungsi celana dalam yang selalu kupakai. Jarang sekali aku bepergian tanpa senjata yang satu ini. Sebenarnya cukup riskan bawa-bawa senjata saat bepergian seperti ini. Apalagi peraturan penerbangan cukup jelas melarangnya. Tapi, dasar pemeriksaan petugas yang masih asal-asalan, saban bepergian dengan pesawat, pistolku selalu saja bisa lolos sensor. Hanya cukup dengan membalutnya dengan kain dan menyamarkan di dalam kotak besi berbentuk kotak. Sensor X-ray bandara di Indonesia masih payah juga rupanya….

Sembari memeriksa barang-barang bawaan di dalam tas, ekor mataku kembali memperhatian pria tua itu yang kembali meraba-raba bagian samping pinggangnya. Sementara matanya tetap fokus membaca.

Aku coba mengaduk-aduk kembali isi kepalaku untuk berusaha mengingat siapa lelaki tua menyeramkan di sampingku ini. Hampir lima tahun berada dan bekerja di proyek tambang pedalaman rimba kalimantan, aku tidak pernah menemui sosok wajah seperti itu. Kesimpulan sementaraku,, wajah menyeramkan itu berasal dari waktu sebelum lima tahun ini. Tapi siapa?

Oh ya, setelah kuperhatikan sejak awal melihatnya di pintu masuk keberangkatan tadi, pria itu berjalan timpang!! Ya, kaki kirinya lebih pendek dibanding sebelah kanan. Setiap menatapnya, timbul kegamangan tersendiri. Seolah-olah pria tua itu begitu menakutkan bagiku, tapi juga membuat penasaran….

**********************


“Maaf pak, silahkan dipakai safety belt-nya” teguran pramugari cantik di kabin pesawat membuyarkankan pandangan dan pikiranku tentang pria tua yang kini persis menatapku. Teguran pramugari cantik kepadaku ternyata cukup keras dan membuatnya memperhatikanku.

Jantungku seperti berhenti berdetak. Aku benar-benar takut melihat sorot mata bapak tua itu. Cepat-cepat kualihkan pandangan dan mulai sibuk memasang seat belt seperti anjuran si pramugari. Kulihat dengan ekor mata, ternyata ia masih tetap menatapku tajam. Tajam seperti pisau yang coba mengiris-iris ulu hatiku….

Pandangannya baru beralih ketika pesawat mulai bergerak untuk proses take off. Aku menarik napas panjang-panjang. Bukan karena nervous dengan proses awal take off penerbangan yang bisa-bisa berujung celaka. Tapi lega karena sorot mata bapak tua itu sudah tidak lagi mengarah padaku.

Saat pesawat sudah berada di angkasa dan lampu indikator seat belt berubah hijau, pak tua aneh yang jadi perhatianku ini mendadak berdiri. Ia kemudian berjalan melewatiku dan terus menuju arah belakang pesawat. Jalannya timpang seperti tadi. “Mungkin ingin ke toilet,” pikirku…

Semenit, dua menit, tiga menit hingga lima menit berikutnya, orang tua aneh itu tidak kunjung melintasi jalur di samping kursiku kembali. Entah sedang apa ia di belakang? Apa ia tergolong orang yang suka berlama-lama saat buang air?

Mendadak pikiran jelekku muncul. Jangan-jangan dia seorang teroris yang sedang merencanakan pembajakan terhadap pesawat ini. Atau, mungkin sedang merangkai sebuah bom untuk diledakkan?? Wajah dan perawakannya sudah cukup mendukung untuk dideskripsikan sebagai seorang penjahat. Apalagi kumis tebalnya itu…. Wah wah jika benar begitu, kutembak dulu kepalanya dengan pistol yang kubawa dalam tas kecilku ini.

Selang sepuluh menit kemudian, aku dikejutkan dengan langkah seperti diseret yang mendekat ke kursiku, kemudian melintas dan kembali duduk dengan tenang. Si orang tua aneh ini sudah kembali rupanya. Tapi ngapain saja selama sepuluh menit lebih ia berada di toilet? Entahlah.. aku tidak menemukan jawabannya. Sama halnya dengan bayangan samar wajahnya yang seolah familiar tapi sulit sekali untuk kukeluarkan dalam bentuk kesimpulan identitas. Tanpa terasa aku pun tertidur dalam perjalanan Balikpapan – Jakarta…..

*****************


Bandara Soekarno Hatta – Cengkareng ternyata tidak jauh berubah dengan saat lima tahun lalu kutinggalkan. Traffic penerbangannya tetap saja ramai. Aku segera menuju garbarata begitu pesawat yang kutumpangi sudah dalam posisi parkir di apron. Pak tua aneh yang begitu menyita perhatianku berjalan pelan beberapa meter di depanku.

Langkahnya semakin pelan dan mau tidak mau, akhirnya aku berada dalam posisi sejajar dengan dirinya. Mendadak jantungnya seperti berhenti berdetak. Tangan tuanya tiba-tiba memegangku dengan keras.

“Pegang barang ini,!!” ujarnya sembari menyodorkan sebuah bungkusan kecil yang mendadak dikeluarkan dari balik pinggangnya. Ucapannya tegas. Sangat tegas bila dibandingkan dengan postur tubuhnya yang mulai ringkih. Sementara sorot matanya sama seperti waktu tadi menatapku di dalam kabin pesawat. Tajam seperti mengiris ulus hati. Tanpa sadar aku mengulurkan tangan dan menerima barang pemberiannya. Entah kenapa nyaliku jadi ciut dan aku begitu takut untuk menolaknya.

Sementara aku masih tercenung sembari berusaha memasukkan bungkusan kecil pemberiannya ke kantung celana, ia sudah berjalan kembali. Aku diam dan hanya memandangi punggung rentanya yang semakin jauh. Entah apa yang ada di balik kantung celanalku ini. Rasanya berat sekali. Tapi aku tidak berani memeriksanya….

*****************

Koridor luar terminal kedatangan domestik bandara Soekarno Hatta mendadak jadi ribut dan kacau. Dari kejauhan aku lihat beberapa orang berpakaian preman, mendadak bergerak menangkap seorang lelaki. Situasi ini memancing perhatian banyak orang yang berada di sana.

Pak tua aneh itu!! Ya , pria misterius itu ditangkap. Aku yakin pria-pria berbadan tegap yang mendadak memeganginya adalah petugas polisi!! Tapi kenapa? Apa dia diduga seorang penjahat seperti pemikiranku tentang dia di kabin pesawat tadi? Kupercepat langkahku untuk berusaha mendekati kerumunan orang yang mendadak jadi ramai di sekitar lokasi.

Pria dengan tompel di samping kiri dan kumis lebat yang hampir menutupi sebagian bibir kecilnya itu, terlihat langsung digiring menuju sebuah mobil. Ada beberapa orang lagi mengikutinya di belakang sembari berusaha memasukkan benda seperti pistol ke balik punggung. Tidak salah lagi, dia jelas orang yang diincar polisi!! Tapi untuk kasus apa? Belum jelas rasa penasaranku tentang identitas samar yang rasanya ada di kepalaku, kini aku kembali dibuat penasaran dengan soal penangkapannya.

Aku berusaha semakin mendekat ke mobil yang akan membawanya. Kulihat pria aneh itu seperti memutar pandangan ke sekeliling dan kemudian berhenti tepat di arahku. Sebentar ia seperti menyeringai. Detik berikutnya, dengan sebuah goyangan kepala, ia seperti menyuruhku pergi menjauh. Setelah itu, kepalanya dibenamkan beberapa petugas untuk memasuki mobil dan berlalu……

*****************

Sudah sehari aku berada di Jakarta. Ingatanku masih terbayang dengan wajah tua menyeramkan yang begitu menyita perhatianku saat berangkat dari Balikpapan kemarin. Bungkusan kecil yang diberikan padaku belum kusentuh-sentuh lagi. Isi di dalamnya juga belum kuketahui. Seperti ada ketakutan yang dalam untuk membukanya. Sama seperti ketakutan yang muncul setiap ia menatapku.

Iseng-iseng aku coba membolak-balik surat kabar hari ini yang tergeletak di meja. Tapi pandanganku langsung tercekat. Ada gambar pria tua itu!!

“Tanpa barang bukti, polisi akhirnya lepaskan Bandar Besar Narkoba”
… pria bernama Felix, seorang yang diduga sebagai Bandar besar narkoba dibekuk petugas di bandara. Pemantauan terhadap yang bersangkutan sudah dilakukan sejak beberapa waktu terakhir. Informasi kedatangan felix ke Indonesia diperoleh via informasi Interpol internasional. Yang bersangkutan menggunakan jalur laut dari Malaysia timur, kemudian menggunakan bandara Sepinggan di Balikpapan untuk masuk ke Jakarta kembali…. Tapi sayang, penangkapan ini jadi sia-sia karena tidak ditemukan seserbuk pun barang haram heroin. Felix akhirnya dilepas kembali hari ini….

Aku tertegun sejenak. Kemudian secepat kilat segera kuraih kantung celana yang kupakai kemarin. Barang itu masih ada…. Di dalamnya kutemukan secarik kertas dengan tulisan singkat :

Ken, kutunggu kau di pancoran dua hari setelah ini….

“Ken?Lagi-lagi dia tahu namaku… “

“Felix…. Felix…. Ya ampun….. om Felix…. !!!” ingatanku langsung terbayang pada masa dua puluh tahun yang lalu. Ya, pria tua menyeramkan itu ternyata tetanggaku sendiri.

Om Felix, pria misterius yang dulu tinggal di ujung gang ini. Orang yang selalu menyendiri dan selalu membuatku ketakutan karena wajah seramnya…. Ya aku ingat sekarang. Pria itu adalah orang yang begitu kutakuti di masa kecilku karena wajah seram dan tompel di pipi kirinya. Jangankan untuk berbicara, sekadar berpapasan saja, sudah membuat jantungku rasanya mau copot. Aku lebih memilih lari terbirit-birit menjauhinya…

Tapi, dia juga dewa selamatku!! Dia rela menubrukkan diri ke arah mobil yang melaju kencang saat aku berusaha lari menghindarinya. Kaki kirinya diamputasi karena kejadian itu. Kemudian, ia seperti menghilang. Aku tidak pernah lagi menemuinya di ujung gang. Aku juga tidak pernah merasa ketakutan lagi sejak kepergiannya.

Wajah dan rasa ketakutan itulah yang sebenarnya kurasakan saat perjalananku dari Balikpapan ke Jakarta kemarin. Kenapa aku begitu bodoh? Wajah om Felix sebenarnya masih sama seperti dulu, menyeramkan. Hanya saja sekarang ditambah hiasan kumis tebal yang menutupi hampir seluruh bibir kecilnya dan juga kulitnya yang makin keriput.

***************

Sore hari di Tugu Pancoran…..

Ini adalah hari ketiga sejak kedatanganku kembali ke Jakarta. Sudah sejak pukul 13.00 siang aku berada di seputaran tugu ini. Rasanya seperti orang bego. Celingukan dari tadi, tapi yang dicari-cari tidak pernah ketemu. Tambah nervous lagi karena ada “sesuatu” barang dalam kantong celanaku. Beratnya paling tidak sampai sekilo, tapi rasanya seperti mengantongi beras satu karung…..

Baju hem yang kupakai sudah tidak bisa lagi dibilang rapi. Selain kucuran peluh, debu-debu jalan yang sedari tadi beterbangan rasanya membuat semakin lengket saja. Tapi mendadak……

“Ken, apa kabar”, sebuah suara berat dari dalam volvo hitam yang mendadak berhenti, mengagetkanku. Itu suara om Felix seperti yang kudengar beberapa hari lalu.

Benar saja, dari jendela mobil yang kini dibuka lebar, aku dapat melihat kembali wajah seram yang selama ini begitu menakutkan. Wajah seram om Felix.

“Masuklah, “, ujar om Felix sambil membuka pintu mobil dari arah dalam. Sejenak aku tercekat. Tapi detik berikutnya kuiyakan ajakannya. Tidak berapa lama kami sudah melaju membelah jalan besar kota Jakarta.

“Masih takut padaku?” pertanyaaan Felix langsung memecah kebisuan yang sempat terjadi. Terus terang aku jadi gelagapan.

“Oh… tid… tidak om”,

“Ha ha ha, baguslah…. Om kan tidak pernah jahat padamu Ken….

“Masih kau simpan barang itu? Lanjut om Felix sambil menepuk-nepuk bahuku.

Terus terang, waktu itu om sudah punya firasat tidak bagus begitu sampai di Jakarta. Kebetulan, om sudah melihatmu sejak di kabin pesawat. Matamu… matamu itu Ken yang membuat om langsung hapal bahwa itu kau. Matamu yang penuh rasa ketakutan rasanya begitu familiar om kenal. Wajahmu memang sudah jauh berubah, tapi mata tidak bisa dibohongi, kan….

“Iy… iy… iya om, tapi kenapa barang itu om? Tanyaku terbata-bata.

“Itulah pilihan hidup Ken.. kita harus berani ambil resikonya… di dunia ini yang putih belum tentu benar-benar putih… begitu juga yang hitam. Tidak selalu seperti yang kelihatannya…. Kalau pun barang itu sudah kau buang, tidak apa-apa. Yang jelas, kau sudah menyelamatkan om. Dan ingat, itu bukan sebagai tindakan balas jasa karena om pernah menyelamatkan nyawamu, kau dengar itu Ken….?” Ujar om Felix sambil menepuk-nepuk lagi bahuku hingga aku terguncang.

“ Om tidak pernah menyesali kaki om yang jadi seperti ini, itulah hidup Ken, kita tidak pernah tahu bagaimana di depannya,” om Felix mengangkat satu ruas celananya. Terlihat jelas ia hanya menggunakan satu kaki asli untuk bertopang. Kaki lain digantikan fungsinya dengan yang buatan.

Aku merogoh bagian dalam celana dan meraih bungkusan yang seharian ini begitu membebaniku. Kuletakkan bungkusan itu persis di hadapannya. Kemudian, aku menatapnya….

“Aku tau ini salah om, tapi aku harus menyerahkan ini kembali. Ini jalan hidupmu… aku turun di halte depan sana om, ujarku.

Volvo hitam yang kutumpangi kini sudah berhenti tepat di depan sebuah halte bis. Om Felix terlihat memandangiku lama.

“Ken, jadilah orang yang benar… dan, lurus….” Ujar om Felix singkat.

“Kapan kita bertemu lagi?”, Tanyaku, kini aku tidak lagi merasakan bayang ketakutan yang selama ini kurasakan. Dalam posisi sedekat ini, aku bisa melihat air muka yang lain di balik wajah seramnya. Air muka om Felix yang merasa sendirian dalam hidup…. Ya, pria tua yang sendirian….

“Selama aku masih bisa melihat matahari terbit dari timur, kita akan bertemu lagi Ken… jalanilah kehidupanmu dengan baik…. yang harus kau cam-kan baik-bak, tidak selamanya yang putih itu benar-benar putih dan tidak selamanya yang hitam itu terlihat seperti asalnya. Jaga dirimu, anak muda,”

Aku turun dari volvo itu. Perlahan aku melihat kendaraan itu mulai melaju semakin jauh. Jauh dan kemudian hilang ditelan lalu lintas kota Jakarta yang padat. Sampai kini sebenarnya aku belum tahu banyak tentang om Felix. Om Felix yang jadi bayangan ketakutan masa kecilku. Om Felix yang jadi juru selamatku. Yang jelas, bayangan ketakutan itu sekarang sudah hilang. Aku tidak pernah menyesal pernah menolongnya lepas dari jeratan hukum negeri ini. (***)

...Juli 2007...