Friday, February 20, 2009

Di Bunga Setangkai Kehidupan Tak Seindah Namanya…

Kaum Urban Penghuni Bangunan Terbengkalai

BANGUNAN-BANGUNAN itu dulunya mungkin disiapkan sebagai karya arsitektur berdaya seni tinggi yang bisa menjadi salah satu penggerak roda ekonomi di Batam. Tapi, pengerjaannya tidak pernah benar-benar selesai. Pembangunannya mangkrak kemudian terbengkalai karena lilitan kredit yang macet. Sekarang, jadi tempat tinggal kaum urban kelas bawah. Namanya indah ; Komplek Bunga Setangkai. Tapi kehidupan di sana ternyata tidak benar-benar indah…

Bangunan Rumah Gadang itu sudah tidak utuh lagi. Tapi melihat bentuknya, dulu pasti merupakan bangunan yang megah. Pilar-pilar penyangga masih kokoh berdiri. Kerangka atap yang membentuk lekukan tanduk kerbau juga masih bisa dilihat jelas. Namun sekarang, atap-atapnya sudah banyak yang bolong. Sementara dindingnya hampir tidak bersisa, habis dimakan usia atau dibongkar paksa untuk dijadikan material bangunan lainnya.

Di beberapa sudut bangunan Rumah Gadang yang besar, ada beberapa pondokan atau rumah kecil ukuran 3 x 4 atau 4 x 4 meter yang dibangun sembarangan saja. Bentuknya menyerupai bangunan rumah liar yang banyak terdapat di Batam. Di beberapa bagian dalam Rumah Gadang, ada juga tumpukan sampah-sampah yang akan didaur ulang. Sebuah ruangan kecil terbuat dari kaca fiberglass seperti ruang ATM, menjadi penanda tentang siapa pemilik bangunan megah tapi terbengkalai itu, dulunya...

Dulu, bangunan megah itu milik grup Anrico Bank. Sebuah grup perusahaan perbankan yang dimiliki kelompok pribumi keturunan Minang. Sekarang sudah dilikuidasi oleh Badan Penyehatan Perbankan Nasional atau BPPN sekitar tahun 1998. Gedung berbentuk rumah adat itu, awalnya dibangun oleh salah satu anak perusahaan Anrico Bank, PT Bunga Setangkai. Nama Bunga Setangkai itulah yang kini jadi penanda nama lokasi ini; Komplek Bunga Setangkai.

Tapi kehidupan di komplek Bunga Setangkai ternyata tidak seindah namanya. Anda yang belum pernah ke lokasi ini jangan membayangkannya sebagai perumahan elit sekelas Dutamas atau Bukit Indah Sukajadi. Komplek bunga setangkai hanyalah beberapa bangunan terbengkalai yang saat ini diisi sekitar 76 kepala keluarga. Mereka mendiami bangunan-bangunan yang terbengkalai itu dengan cara membuat sekat-sekat sebagai pembatas ”rumah” yang satu dengan yang lainnya.

Selain Rumah Gadang yang merupakan asset dari grup Anrico Bank, ada 8 bangunan lain yang masuk dalam komplek Bunga Setangkai. Jaraknya hanya 20 meteran saja dari bangunan berbentuk rumah adat itu. 8 bangunan tersebut dulunya milik grup Thites Plaza sebelum diakuisi oleh Badan Penyehatan Perbankan Nasional atau BPPN karena masalah kredit yang macet. Saat Tithes Plaza diambil alih oleh grup Harmoni saat ini, delapan bangunan itu ternyata tidak ikut diambil alih.

Komplek Bunga Setangkai yang dikenal warga saat ini, terdiri dari dua lokasi proyek pembangunan yang berbeda. Masing-masing proyek bangunan milik Anrico Grup yang berbentuk rumah adat Sumatera Barat berikut bulevard dan taman pinggir pantainya yang masih tersisa serta proyek restoran milik grup Tithes plaza dengan delapan bangunan di dalam areanya. Kedua lokasi bangunan itu dulunya berada persis di pinggir laut. Melihat lokasi dan perencanaannya, pantai menjadi salah satu daya jual bagi para pengunjung kedua lokasi itu jika keduanya selesai dibangun dan jadi dioperasikan. Tapi, seiring dengan perubahan perencanaan, pantai yang dulu berada persis dekat dengan kedua lokasi, jadi semakin menjauh karena terus direklamasi..

***

Dua puluh meter dari bangunan Rumah Gadang, sekelompok ibu-ibu tampak sibuk memilah-milah barang dari sebuah gerobak pedagang kelontong. Beberapa diantaranya sedang menawar harga barang yang diminati pada pedagang yang menjualnya. Sementara yang lain, sibuk membanding-bandingkan barang yang satu dengan yang lain sebelum menetapkan pilihan. Anak-anak mereka asyik bermain sendiri di aspal yang panas siang itu.

”Ini berapa harganya, tidak bisa kurang?” Tanya seorang ibu yang bernama Suryani. Rupanya ia tertarik membeli sebuah ember ukuran tanggung. Ia menoleh saat Batam Pos coba menyapanya.

Suryani adalah salah satu penghuni di komplek Bunga Setangkai. Belakangan diketahui, ia dan keluarga menempati satu bagian ruang yang disekat menggunakan triplek di bangunan induk bekas restoran milik grup Tithes Plaza. Wanita ini agak bingung saat Batam Pos menyampaikan maksud kedatangan untuk bertemu dengan sesepuh atau orang yang paling lama tinggal di bangunan terbengkalai itu. Masalahnya, penghuni di sini sudah silih berganti sejak bangunannya ditelantarkan sekitar tahun 1992 silam.

”Oh, sama pak Edi saja. Dia sekarang yang paling lama tinggal di sini,” ujar Suryani. Belum sempat wanita itu memanggil pria yang disebut pak Edi, seorang pria berusia sekitar 45 tahun keluar dari sebuah musala kecil ukuran 4 x 5 meter berdinding triplek. Pria itulah yang sering disapa warga di sana sebagai pak Edi. Nama lengkapnya Junaidi. Ia keturunan Lombok-Nusa Tenggara Barat. Sudah 5 tahun pak Edi tinggal di lokasi ini.

Setelah dikenalkan, pak Edi kemudian mengajak Batam Pos untuk berbincang-bincang di sebuah pondok kecil seperti pos untuk siskamling yang terletak di bagian depan bangunan musala. Lokasi tempat didirikan pondok kecil dan musala, dulunya disiapkan untuk tempat parkir kendaraaan roda empat tamu-tamu restoran yang tidak kunjung beroperasi tersebut. Itu bisa dilihat dari paving-paving blok yang masih tertata rapi. Sekarang area parkiran dan halaman ini menjadi tempat untuk menjemur pakaian warga yang tinggal di sana.

”Saya kerja di proyek Tithes, tapi sekarang sedang stop,” kata pak Edi memulai perbincangan dengan Batam Pos. Pria ini tinggal di komplek Bunga Setangkai bersama istrinya Nur Intan (23) dan anak bungsunya Elfiansyah yang masih berusia 1,3 tahun. Lima anaknya yang lain ada di kampung halamannya, Lombok. Pak Edi ternyata sudah cukup lama tinggal di Batam. Sebelum menetap di lokasi ini, ia sempat tinggal beberapa lama di daerah Tiban.

Keputusannya untuk tinggal di Bunga Setangkai adalah karena pertimbangan lokasi kerja yang berada di Batam Centre. Bertahun-tahun tinggal di Batam, ia memang selalu bekerja dari satu proyek bangunan ke proyek bangunan lainnya di daerah Batam Centre.

Tinggal di bangunan terlantar seperti di komplek Bunga Setangkai ini menurutnya bukan pilihan, tapi keterpaksaan. Keterbatasan ekonomi adalah alasan utama. Rata-rata penghuni yang tinggal di sini memang berasal dari kaum urban kelas bawah yang punya mata pencaharian sebagai buruh bangunan, pedagang keliling atau pendaur ulang sampah dan barang bekas. Tinggal di Bunga Setangkai, mereka tidak perlu lagi memikirkan uang untuk tempat tinggal. Menurut pak Edi, sekarang sudah lebih nyaman karena aliran listrik sudah masuk, walau hanya satu meteran yang dibagi-bagi untuk 76 kepala keluarga. ”Yang penting kalau malam tidak gelap, sekedar untuk penerangan,” lanjut pria ini.

Untuk kebutuhan air bersih, para penghuni di komplek bunga setangkai tidak terlalu sulit mendapatkannya. Aliran air ATB memang tidak masuk ke lokasi mereka. Sebagai gantinya, warga memanfaatkan sebuah kolam besar yang terletak persis di depan gedung bekas restoran Bebek Bali untuk pemanfaatan MCK (mandi cuci dan kakus, red) termasuk juga untuk berwudhu. Air di kolam itu memang cukup berlimpah. ”Kolamnya memang tidak ada saluran buangannya. Jadi air hujannya jadi tertampung di sana,’’ kata Edi.

Kegiatan cuci mandi dan kakus tidak langsung berada di atas kolam. Warga Bunga Setangkai memilih menggunakan air dari kolam dengan cara memompanya pakai mesin. Lalu dengan selang yang panjangnya ratusan meter, air dari kolam disalurkan ke bak-bak penampungan warga di komplek Bunga Setangkai. ”Untuk segala keperluan kami ambil air dari sana. Air dari kolam juga untuk minum,’’ ujar Suryani. Menurut Suryani, air di kolam itu lumayan bersih dan tidak berlimbah, masih bisa untuk diminum.

Sekitar 76 kepala keluarga yang tinggal di sana sebagian besar merupakan kuli bangunan, dan ada juga pedagang kaki lima dengan gerobak di Batam Centre. Untuk buruh bangunan, rata-rata mereka dibayar Rp40 ribu-Rp50 ribu per hari. Untuk sistemnya ada yang dibayar harian dan ada juga yang dibayar kalau pekerjaan selesai. Mereka yang dibayar harian, maka siap-siap saja kalau sakit atau izin tidak masuk kerja, tidak mendapat bayaran.

Akibatnya sang istri harus pandai-pandai mencari cara untuk bisa tetap bertahan hidup. Ibu-ibu rumah tangga di komplek itupun jadi sering cash bond ke warung kecil yang juga terdapat di Komplek Bunga Setangkai itu.

”Kami suka utang dulu ke warung. Nanti bayarnya pas suami kasih uang. Saya tiap bulan dikasih Rp1 jutaan,’’ kata Suryani. Uang pemberian dari suaminya, memang diatur dan dicukup-cukupin oleh suryani untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Apalagi, Suryani masih punya tiga anak yang masih kecil. Suryani harus menyisihkan uangnya untuk beli susu ke tiga anaknya, yaitu Windi (1), Rizal (2) dan Rahmat (5).

Punya penghasilan yang minim, warga di sana coba berusaha mencari penghasilan tambahan. Ada yang membuka warung di bangunan itu, ada juga yang memilih memanfaatkan lahan di belakang bangunan terbengkalai itu. Disana terlihat ada deretan pohon singkong. Tapi karena lahannya kurang bagus, pohon singkong itu tumbuh kerdil.

***

Komplek Bunga Setangkai, mulai ditempati kaum urban kelas bawah sejak lebih 15 tahun lalu. Cerita orang-orang di sini, penghuni awal bangunan-bangunan terbengkalai di sini adalah para buruh bangunan yang mengerjakan bangunan itu sendiri. Keputusan menempati bangunan di sini terpaksa diambil karena proyek yang dikerjakan mangkrak dan penghasilan mereka tidak dibayarkan. Untuk menghemat pengeluaran, sebagian dari buruh pekerja tersebut memilih tinggal di lokasi bangunan-bangunan yang terbengkalai tersebut.

Dulunya hanya beberapa kepala keluarga saja. Namun, seiring tahun jumlah kepala keluarga yang tinggal di sini semakin bertambah. Mereka yang menempati lokasi ini silih berganti. Yang tidak kuat menjalani kerasnya kehidupan di Batam, banyak yang memilih pulang kampung. Atau, ada juga yang sudah berhasil memiliki tempat tinggal sendiri di lokasi yang lain. Orang-orang yang masuk belakangan, menempati ruang dan sekat-sekat yang sudah dibuat atau membuat sekat-sekat baru di ruangan yang tersisa. Saat ini, .Etnis yang tinggal juga semakin beragam.

“Penghuni yang tinggal di sini, ada yang membangun sendiri sekat-sekat ruangnya untuk tempat tinggal. Tapi sekarang sudah penuh” ujarnya.

Menurut pak Edi, Jumlah kepala keluarga yang tinggal di komplek bunga setangkai saat ini sudah mencapai 76 KK. Berdasarkan kesepakatan bersama, mereka akhirnya menutup peluang bagi warga lain yang ingin bergabung di komplek bangunan terbengkalai itu saat ini.

Bangunan utama Bebek Bali itu cukup besar. Disanalah Suryani dan tiga anaknya tinggal. Ruang tempat tinggal Suryani hanya berukuran 3×2 meter persegi. Lokasinya persis dipojok, di bagian depan sebelah kiri menghadap ke halaman. Karena lokasinya berada di bagian pinggir di bangunan itu, Suryani dan suaminya membuat pintu yang langsung menghadap ke luar. Ruang tempat tinggal Suryani dengan yang lainnya hanya dibatasi triplek.Demikian juga keluarga lain di dalam bangunan itu.

Selain Suryani ada sebelas kepala keluarga yang tinggal di bangunan itu. Mereka sebagian besar mendapat jatah di bagian dalam bangunan itu. Satu gedung utama itu dihuni 12 kepala keluarga. Batam Pos-pun masuk ke dalam bangunan utama itu. Untuk masuk ke dalam bangunan itu ada sebuah pintu tanpa daun pintu. Begitu masuk, yang terlihat hanyalah lorong dengan lebar 1 meteran. Kondisi sekitarnya gelap karena penerangan seadanya dan sumpek. Sepanjang lorong itu di kiri dan kanannya triplek dengan potongan yang tidak beraturan. Di kiri dan kanannya itu ada banyak pintu. Pintu-pintu itulah yang menjadi jalan untuk keluar masuk keluarga yang tinggal di dalam bangunan itu. Setiap satu pintu, di situlah satu keluarga tinggal.

Terpanggil, Dirikan Musala

Lokasinya yang tidak jauh dari gedung-gedung dan ruko yang sedang dibangun, membuat komplek Bunga Setangkai jadi tempat singgah para buruh bangunan yang sedang bekerja membangun gedung dan ruko di Batam Centre. Para buruh bangunan itu datang ke komplek ini ada yang menumpang mandi, dan paling sering singgah untuk menumpang shalat.

Karena waktu itu belum ada musalla, Edi -pun dengan suka hati membuka pintu rumahnya. Dia mempersilahkan orang-orang itu untuk shalat di rumahnya. Hampir setiap hari ada yang menumpang salat di rumahnya. Karena itu, melihat banyak orang yang numpang shalat di komplek Bunga Setangkai, Edipun jadi terpanggil untuk mendirikan musalla. Ia -pun mendirikan musalla yang ala kadarnya dari triplek dengan dana pribadi. ‘’Kebetulan saya ada rezeki setelah mengerjakan proyek. Jadi saya bangun musala dari dana pribadi. Ya kebetulan saya dibukakan hati,’’ katanya.

Soal mendirikan Musala bukan hal sulit bagi warga di sana. Pasalnya sebagian besar warga di sana merupakan buruh bangunan. Musala yang dibangun oleh Edipun kini telah berusia dua tahun. Keberadaan musala di komplek itu cukup membantu para buruh bangunan yang bekerja di sekitar komplek Bunga Setangkai.

Musala jadi satu-satunya fasilitas umum yang ada di sana. Warga di sana juga merasa senang dengan keberadaan musalla, khususnya yang beragama muslim. Mereka jadi bisa shalat berjamaah. Bagi mereka Komplek Bunga Setangkai, adalah tempat tinggal yang nyaman bagi mereka sekarang. Meski tempat tinggal mereka bocor di sana sini. Tapi itulah satu-satunya tempat tinggal yang super murah. Apalagi masa sekarang dengan kondisi ekonomi yang kian menghimpit. Tinggal di Komplek Bunga Setangkai jadi satu-satunya jalan untuk menghemat pengeluaran. Mereka tidak perlu bayar seperti warga Batam lainnya yang tinggal di rumah kontrak atau kos-kosan. Setiap bulannya, mereka hanya mengeluarkan untuk biaya listrik Rp1,5 juta per bulan. Itupun ditanggung ramai-ramai.

Meski cukup murah tinggal di Komplek Bunga Setangkai, tapi warga sadar mereka suatu saat akan digusur. ‘’Kami tinggal disini, sampai tempat ini belum digusur,’’ kata Edi yang juga diiyakan oleh Suryani.

Kabag Humas Dokumentasi Pemerintah Kota Batam, Rudi Panjaitan mengatakan di Batam ada beberapa bangunan terbengkalai. Dari sisi keindahan kota, bangunan terbengkalai memang mengurangi keindahan Kota Batam. Kendati demikian, bangunan-bangunan itu tidak bisa langsung dirobohkan. Sebab ada kaitannya langsung dengan Izin Mendirikan Bangunan. Rata-rata bangunan mangkrak itu IMB yang lama. ‘’Untuk bangunan mangkrak, tentu ada masalah-masalah, dan tidak akan mangkrak ketika masalah itu sudah selesai,’’ ujarnya. (andriani susilawati)

No comments: