Thursday, September 18, 2008

Krakatau


Saya sering mengibaratkan dan membayangkannya sebagai letusan dahsyat dari dalam laut saat Krakatau meletus tahun 1883. Posisinya juga unik karena berada di kedalaman laut antara dua pulau, Jawa dan Sumatera. Walau sekarang tinggal nama, tapi ada “anak”-nya yang belakangan terus tumbuh membesar dan punya aktifitas vulkanis yang menarik perhatian para peneliti. Nama Krakatau juga sangat familiar bagi para penggemar musik di era 80 hingga 90-an. Berbeda dengan gunungnya yang mengesankan kekokohan, tangguh dan punya pengaruh, musik dari band krakatau sangat jazzy…

Gunung berapi Krakatau pernah meletus tanggal 23 Agustus 1883. Letusannya sangat dahsyat dan tsunami yang diakibatkannya menewaskan sekitar 36.000 jiwa. Sumber di Wikipedia menjelaskan suara letusan Gunung Krakatau juga sampai terdengar di Alice Springs Australia dan pulau Rodrigues dekat Afrika yang jaraknya 4.653 kilometer. Daya ledaknya diperkirakan mencapai 30.000 kali dari bom atom yang meledak di Hiroshima dan Nagasaki di akhir perang dunia kedua.

Letusan Krakatau menyebabkan perubahan iklim global. Dunia sempat gelap selama dua setengah hari akibat debu vulkanis yang menutupi atmosfer. Matahari bersinar redup sampai setahun berikutnya. Hamburan debu juga tampak di langit Norwegia hingga New York.

Dalam otak saya, “Krakatau” memang seperti sesuatu yang kokoh, tangguh dan punya pengaruh! Tapi saat mendengarkan musik dari band Krakatau, pikiran yang muncul malah sebaliknya. “Krakatau” muncul sebagai sesuatu yang lembut, elegan dan high taste…Sesuai dengan alunan irama musik yang diusungnya, jazz. Di dalamnya ada suara Trie Utami yang bisa mendayu-dayu sahdu, tapi kadang menghentak. Krakatau, secara harfiah nama itu diambil ratusan bahkan mungkin ribuan tahun lalu dari bahasa Sansekerta.

Anda mungkin bingung, kemana arah tulisan ini. Rada mbulet mungkin. Jujur, tulisan ini saya buat saat anak pertama saya lahir. Jenis kelaminnya lelaki. Saya ingin anak saya seperti gunung Krakatau yang kokoh, tangguh dan punya pengaruh. Gunung yang memberi “magnet” tersendiri bagi saya sejak kecil. Tulisan beberapa sumber yang sempat saya baca menyebut kata Krakatau memang dekat dengan bahasa Sansekerta ; Rakata.

Peta modern yang pertama kali menggambarkan pulau Krakatau adalah peta buatan Jan Huyghen Van Linshoten tahun 1595. Ia membuat peta itu dari sumber lain, bukan hasil pengamatan atau pengukuran sendiri. Nama pulau “Krakatau” sendiri pertama muncul di peta buatan Lucas Janszoon Waghenaer, atau lebih dikenal sebagai Waggoner. Pulau kecil antara Sumatra dan Jawa itu dinamakan Pulo Carcata.

Ingat “Krakatau”, saya juga jadi ingat dengan kata “Nusantara”. Krakatau ada di Nusantara kita ini. Berbanggalah kita sempat punya gunung Krakatau yang walaupun kini hanya tinggal nama saja. Tapi, untuk diingat, namanya belum pudar sampai sekarang. Masih ada “anak”-nya yang biasa disebut orang sebagai Anak Krakatau. Anak Krakatau ada di Nusantara..

Kenapa harus “Nusantara”? Saya ingin identitas asal anak saya langsung diketahui begitu orang mengenal namanya. Maklum, makin tahun dunia ini makin sempit. Era globalisasi dunia sudah makin luas. Interaksi antar bangsa sudah menjadi hal yang dimaklumi dan sangat biasa sekali. Dalam bayangan saya, 20-30 tahun ke depan arus globalisasi sudah semakin menyeluruh. Bukan tidak mungkin orang-orang Indonesia semakin banyak yang tinggal dan menetap di negara lain. Begitu juga sebaliknya. Percampuran antar bangsa sudah menjadi hal yang lumrah sekali.

Pertimbangan lain, saya juga ingin tidak ada pengkotak-kotakkan asal suku secara sempit seperti yang sekarang sedang menggejala di tengah masyarakat Indonesia seiring dengan demam otonomi daerah. Suku adalah sesuatu yang terberi, bukan sesuatu yang bisa dipilih seperti kata Hasan Aspahani (salah satu orang yang saya hormati karena ilmunya, pen). Kata Nusantara menurut saya juga sudah mewakili sebuah kesatuan banyak suku yang ada di negara kita. Juga mewakili percampuran darah yang ada dalam dirinya. Percampuran antara darah saya dan darah istri saya.

Terakhir, saya ingin anak saya jadi seorang ksatria yang berani membela yang benar dan menentang yang salah. Seperti seorang pejuang besar (Yodha, bahasa sansekerta, pen). Kenapa harus jadi ksatria sementara sekarang banyak yang pengecut tapi bisa punya status kehormatan tinggi di masyarakat? Kenapa juga harus jadi ksatria sementara jadi durjana malah bisa cepat kaya? Karena, saya tetap yakin ada jalan lain yang lebih terhormat untuk mencapai hal-hal seperti itu.

Oh ya, nama anak lelaki saya : Yodha Krakatau Nusantara…

Contact person :noe_saja@yahoo.co.id

No comments: