Thursday, September 18, 2008

Separuh Lelaki

Golongan waria atau wanita pria. Saya lebih senang menyebutnya separuh lelaki. sebagian orang ada yang sudah dapat menerimanya dan berbaur dalam kehidupan sosial sehari-hari. Sebagian lain tidak. Alasannya karena status mereka merupakan suatu penyimpangan seksualitas. Lebih jauh, karena dilarang agama.

Hampir semua kitab suci tidak ada yang menyebut kehadiran kelompok itu sebagai suatu hal yang lumrah dalam kehidupan. Tapi kenyataannya mereka ada dan memiliki profesi beragam di masyarakat. Sebagian kecilnya yang kurang beruntung, ada juga yang menggeluti profesi sebagai penjaja cinta jalanan.

Hampir di setiap kota, kelompok minoritas seperti itu selalu ada. Kadang, kita terkamuflase oleh dandanannya yang cantik seperti perempuan. Yang lain, tetap bergaya pria walau dibaliknya tersembunyi sifat wanita. Soal ini, saya punya cerita yang kadang membuat saya jadi senyum-senyum sendiri.

Ngomong-ngomong soal kelompok separuh lelaki ini, hampir di banyak kota besar sebenarnya selalu ada komunitasnya. Dari yang golongan High Class sampai kelompok jalanan. Di Batam, tempat saya tinggal dan bekerja sekarang, komunitasnya juga ada. Kebanyakan tergabung dalam kelompok Gaya Batam (bentuk halus dan plesetan dari kata Gay, pen).

Seorang mantan ketuanya yang sekarang sudah almarhum karena virus HIV yang diderita pernah bertutur lumayan panjang pada saya. Tidak etis jika saya menyebutkan namanya. Jadi kita panggil saja sang ketua. Orangnya jauh dari kesan “cantik”. Penampilan sehari-harinya juga tidak glamour dan menor seperti teman-temannya yang biasa mangkal di jalanan. Sang ketua memang cenderung lebih ekslusif. Penampilannya lebih pria walau sebenarnya berhati wanita. Anggotanya tersebar di seluruh Batam. Profesi kerjanya juga beragam. Ia ingin membangun sebuah imej yang positif tentang keberadaan kelompok “separuh lelaki” yang dipimpinnya. Saban akhir tahun dalam peringatan hari AIDS se-dunia, ia juga aktif mengkampanyekan tentang bahaya penyebaran virus HIV dan AIDS, walau akhirnya harus meninggal karena penyakit itu. Tragis? Mungkin.

Menurut sang ketua, secara garis besar ada dua kelompok separuh lelaki yang bisa dibedakan. Pertama, kelompok yang secara harafiah nyata sudah benar-benar kelihatan sebagai wanita. Baik dandanan, cara bicara maupun pembawaannya. Yang lain, tersamar oleh penampilan sehari-hari sebagai seorang pria. Orang awam menyebutnya sebagai kaum gay. Mereka yang tersamar, sejatinya lebih bisa diterima di kalangan masyarakat, bisa bergaul luas dan jauh dari pandangan miring. Catatannya, sisi gelap hidupnya hanya diketahui segelitir orang saja. Sementara kelompok pertama, biasanya menjalani kehidupan yang jauh yang lebih repot karena harus menghadapi cibiran dan pandangan sebelah mata masyarakat. Profesi kerja, biasanya juga sangat terbatas. Paling banyak, mereka beraktifitas di jalan sebagai penjaja cinta.

Di Batam, mereka sering menggunakan paling tidak tiga lokasi sebagai tempat mangkal sekaligus mencari nafkah. Daerah Batu Ampar mungkin bisa dikatakan yang terlama. Entah kapan dimulainya, yang jelas sejak lebih dari lima belas tahun lalu kawasan itu sudah sangat terkenal sebagai lokasi mangkal kelompok separuh lelaki yang siap memberikan layanan cinta kilat. Lokasi lain yang tumbuh belakangan adalah kawasan sekitar patung kuda Sungai Panas dan simpang jam Baloi.

Jika kondisi normal, mereka biasa beroperasi sejak pukul 21.00 WIB hingga menjelang dini hari. Dandanan menor dan penampilan seksi bak wanita sejati, memang jadi senjata andalan mereka untuk memikat pelanggan yang biasanya merupakan para pengendara sepeda motor dan mobil yang lewat di lokasi tersebut.

Karena tuntutan pekerjaan, saya sempat mengenal beberapa orang diantaranya. Contohnya Cindy, si montok asal medan yang biasa mangkal di jalan depan halte Batu Ampar. Kalau malam, aktivitasnya memang lebih banyak dihabiskan di sana. Sementara jika siang, ia lebih memilih tinggal di kamar kost-kostan di daerah Pelita, bergabung dengan beberapa rekan “sejenis” lain.

Walau terlahir sebagai lelaki, perilaku Cindy condong feminin. Untuk menunjukkan eksistensinya sebagai wanita, ia rela memperbesar ukuran payudara hingga mendekati ukuran normal wanita. Sementara karena keterbatasan dana, alat vital yang dimilikinya hingga sekarang masih orisinil. Yang agak eksktrim mungkin Julia, rekan Cindi. Selain rela memperbesar ukuran payudara, Juli juga telah melakukan operasi untuk mengganti alat vital asli yang dimilikinya.

Dalam menjalani profesi penjaja cinta, Batam ternyata hanya merupakan lokasi perlintasan sementara saja. Golongan ini sebenarnya lebih senang menjalani profesi tersebut di negeri orang. Coket, suatu tempat di Malaysia, dianggap merupakan surga bagi golongan tersebut. Alasannya, apalagi jika bukan tarif pelayanan yang diberikan mereka bisa berlipat dari penghasilan di negeri sendiri.

Agnes, seorang separuh lelaki lainnya yang masih berusia belia, malah sudah melanglang buana ke banyak kota, termasuk daerah Coket Malaysia. Agnes yang baru menginjak usia awal 20-an tahun, terpaksa jadi penjaja cinta karena dibuang keluarga. Penyebabnya apalagi kalau bukan penyimpangan yang ada dalam dirinya.

Ia seperti juga yang lainnya, menjadikan Batam sebagai kota transit saja. Di Coket, sebenarnya tidak selalu menawarkan hal yang menggiurkan. Aturan dan persaingannya ketat. Yang terjadi, mereka biasanya selalu tertangkap kemudian “dilempar” kembali ke Batam. Tapi hal itu tidak membuat mereka jera. Sekali ada waktu dan kesempatan, mereka selalu akan kembali ke sana.

Seperti rotasi alam saja, kelompok separuh lelaki dari jenis yang ini biasanya selalu silih berganti kehadirannya. Jika ada yang sudah berhasil berangkat ke Coket untuk meraup ringgit di sana, tempatnya digantikan yang lain di sini. Terus begitu hingga tidak terpakai lagi atau zaman sudah melindas mereka. (bintoro suryo)

No comments: