Thursday, September 18, 2008

(Ini Bukan Kampanye) Golput



Senin, 9 September 2008 pukul 00.45 Wib, iseng-seng saya buka saluran sebuah televisi swasta nasional. Di sana ada bincang-bincang santai antara presenternya, Chantal De La Concheta dan Rektor Universitas Paramadina Jakarta, Anes Balwedan. Tema yang diangkat ringan saja. Mereka sedang mengomentari sebuah tayangan liputan dari salah seorang reporternya yang melakukan jajak pendapat ringan tentang lambang Parpol. Hasilnya cukup mencengangkan! Tidak ada satu pun orang yang ditanyakan, hafal dengan lambang parpol yang sengaja diperagakan secara acak dan tanpa nama parpol kecuali lambang!.

Hampir semuanya menjawab dengan kalimat tidak tahu atau menggelengkan kepala sembari tersenyum. Hanya seorang ibu yang ditanyakan di jalanan saat traffic light menyala merah. Jawabannya hampir benar, tapi membuat orang tersenyum simpul. Sang reporter menunjukkan lambang banteng-nya PDIP dan memberi pertanyaan lambang dari parpol apa itu. Sang ibu menjawab dengan ragu-ragu. Begini jawabannya : ”Kalau nggak salah itu lambang PDI yang suka marah-marah ya…”

Wah, bagi saya ini cukup mencengangkan. Saya saja yang sudah beberapa periode pemilu memilih jadi golput, masih cukup hapal dengan beberapa lambang parpol yang terdaftar untuk ikut pemilu 2009 mendatang. Tapi ternyata, di luar saya masih banyak warga lainnya yang tidak tahu tentang lambang parpol. Apalagi diminta membicarakan visi misi dan tujuan masing-masing parpol. Cukup menyedihkan juga karena prosentase kemungkinan warga yang akan golput bisa jadi akan semakin besar. Oh ya, sebelum tulisan ini saya lanjutkan, perlu digaris bawahi bahwa saya tidak sedang mengajak anda untuk jadi golput dalam pemilu mendatang. Saya juga tidak sedang mengkampanyekan untuk memilih golput. Semuanya terpulang kepada anda.

Kembali ke soal dialog santai-nya Chantal dan Anes, saya jadi ingat dengan program televisi yang saya produksi dan juga sedang berjalan saat ini. Namanya “Hallo Partai”. Tapi membandingkan program televisi saya dengan program yang dipandu Chantal memang jauh berbeda walaupun secara garis besar dan tema sama saja, yakni mengupas masalah politik parpol secara santai. Yang harus saya akui juga, program-nya Chantal begitu segar, kaya ide dan objektif tanpa memihak salah satu parpol. Menyentil tapi tidak membuat sakit. Sementara program televisi saya. Lebih banyak mengandalkan kelucuan wajah sang presenter -Bagong Sastranegara- untuk membuatnya jadi sebuah tayangan politik yang segar dan berharap sentilan yang disampaikan tidak membuat orang sakit hati!

Oh ya soal fenomena jajak pendapat yang saya sampaikan tadi, mungkin bikin kaget orang parpol. Padahal kampanye mereka sudah dimulai sejak beberapa bulan lalu. Di lain pihak, Pemilu 2009 juga sudah semakin dekat. Oke-lah, mungkin bagi partai baru sosialisasi pengenalan memang butuh waktu yang tidak sebentar. Namanya juga mengenalkan sesuatu yang baru dan belum ada sebelumnya. Tujuan pencapaian sosialisasi tentu bukan hanya sekedar kenal saja. Tapi juga harus melekat dalam ingatan!. Tapi bagi partai lama? Wah keterlaluan juga ya.. Ternyata masih banyak warga yang belum mengenal mereka. Kemana saja mereka selama ini? Apa program sosialisasi-nya tidak sampai ke masyarakat? Atau mungkin masyarakat yang sudah apatis untuk mau mengenal partai-partai politik? Saya punya beberapa hipotesa walau belum tentu benar karena memang tidak pernah diikutkan dalam uji kebenaran di lembaga penelitian manapun. Ini dia :

Pertama, jumlah parpol yang ikut sejak tiga kali pemilu terakhir sangat banyak. Logikanya, orang lebih mudah mengenal sesuatu yang sedikit daripada menghapal sesuatu yang banyak. Saya beri contoh : Anda toh lebih mudah menghapal dan mengenal lebih dalam anggota keluarga di rumah daripada menghapal dan mengenal tetangga anda satu RW? Mungkin bisa, tapi butuh waktu. Belum lagi jika ada yang pindah atau ada warga baru lagi di lingkungan RW anda. Begitulah yang terjadi dalam situasi perpolitikan kita tiga periode pemilu terakhir ini. Jumlah parpolnya banyak dan silih berganti. Tiap periode pemilu pasti ada parpol yang baru dan jumlahnya tidak pernah tetap. Belum lagi nomor urut yang selalu berubah-ubah.

Kedua, lambang dan warnanya hampir sama. Kalau anda jeli, 38 parpol yang sudah dipastikan ikut dalam pemilu 2009 punya lambang dan warna bendera parpol yang hampir mirip satu sama lainnya. Lebih dalam lagi, lambang yang mereka gunakan rata-rata mengambil simbol-simbol yang ada dalam Pancasila ; Bintang, Rantai, Banteng, Pohon Beringin serta Padi dan Kapas! Saya ambil acak seingat saya saja. Yang menggunakan lambang Bintang ada partai PPP, Demokrat dan PKB. Sementara yang menggunakan lambang banteng ada PDI, PDIP, PDP atau PNI Marhaenisme! Yang menggunakan lambang kepala Burung Garuda? Ada partai Gerindra dan PKPI. Mungkin yang sedikit beruntung partai PAN karena menggunakan lambang di luar pakem lambang yang biasa digunakan partai lainnya, yakni Matahari. Tapi ingat, sekarang mereka sudah ada yang menyamai yaitu Partai Matahari Bangsa yang notabene pecahan dari partai itu! soal kemiripan juga bisa dilihat dari warna yang digunakan parpol-parpol peserta pemilu. Rata-rata kalau tidak menggunakan warna hijau, biru, kuning ya Merah….

Ketiga, belum ada satu partai pun saat ini yang benar-benar bisa menarik hati masyarakat untuk sukarela memilih dan mencintainya. Kenapa? Mereka baru pada tahap tebar janji, belum memberi bukti! Saya punya alasan yang logis untuk hipotesa ketiga ini. Alasan apa yang membuat anda bisa selalu ingat dengan seseorang atau sebuah benda atau sesuatu tempat? Mungkin karena kesan yang pernah anda rasakan dan kenangan yang terpatri dalam pikiran anda. Kesan dan kenangan yang bagaimana? Bisa kesan dan kenangan baik. Jika begitu anda akan menempatkan orang itu atau benda tersebut atau sesuatu tempat tertentu dalam ruang yang khusus di kepala anda. Ruang yang berisi hal-hal baik! Orang atau benda atau tempat tersebut akan jadi referensi prioritas yang akan anda pilih jika sebuah momen berkaitan dengan mereka muncul. Begitu juga sebaliknya!

Keempat, parpol sekarang banyak diisi kalangan oportunis/ petualang politik yang selalu mengutamakan kepentingan diri sendiri dan kelompoknya dengan mengatasnamakan rakyat banyak. Orang masuk parpol karena mencari hidup, mencari rezeki. Ini seperti simalakama. Kondisi Negara kita yang dihujam berbagai deraaan krisis ekonomi memaksa hampir semua lini kehidupan tidak stabil. Angkatan kerja membludak, sementara lapangan kerja terbatas. Di sisi lain, ada kisi untuk bisa hidup makmur dengan jalan cepat. Ada peluang menambah penghasilan melalui jalur politik yang sedang dalam situasi euphoria karena kerannya dibuka lebar-lebar. Sisi inilah yang dimanfaatkan oleh segelintir kalangan oportunis untuk meraih peluang kemakmuran dengan mengatasnamakan rakyat banyak. Pada awal-awal reformasi dulu, perubahan baru di politik ini mereka harapkan bisa membuka harapan baru untuk hidup lebih baik lagi dalam situasi negara yang lebih tertata, aman dan tentram daripada di era orde baru yang didengung-dengungkan oleh “para reformis” sebagai zaman kegelapan bangsa Indonesia dengan berbagai macam “penyimpangan” yang terjadi. Tapi, seiring berjalannya waktu, euphoria politik kita seperti jalan di tempat. Itu ke itu saja dan baru sebatas bisa mengobral janji tanpa bukti. Sementara kalangan oportunis politik yang berkecimpung justru sibuk memperkaya diri sendiri di tengah kemelaratan masyarakatnya.

Kelima, hipotesa kelima saya sebenarnya masih berkaitan dengan hipotesa keempat. Kondisi Negara kita sekarang amburadul. Semuanya seperti berjalan sendiri-sendiri. Rakyat susah, hidup semakin mencekik leher. Sementara, elit pemerintah walau juga mengaku susah, tapi tetap bisa hidup bermewah-mewah. Harga-harga barang naik, lapangan kerja menyempit. Tidak ada yang bisa mereka lakukan selain berusaha sendiri untuk bertahan. Rakyat sekarang banyak yang miskin. Pemerintah dan juga orang-orang yang mengaku wakil-wakil rakyat di legislatif yang notabene orang Parpol, memang mendengung-dengungkan program pengentasan kemiskinan. Tapi kebanyakan hanya lipsync. Banyak program yang tidak sampai ke masyarakat. Kalaupun sampai, hanya separuhnya atau hanya sisa setelah dipotong sana-sini di tingkat atas. Yang terjadi kemudian adalah sikap apatis dan tidak mau lagi peduli!

Wah, pemaparan saya jadi berapi-api, tapi memang itulah yang terjadi saat ini. Euphoria politik kita seperti jalan di tempat kalau tidak mau dibilang kebablasan. Penduduk Indonesia sekarang 200 juta. Sebuah data menyebut 30 persennya hidup di bawah garis kemiskinan. Itu kira-kira sama dengan 60 juta penduduk! Saat ini, mereka seperti bertahan sendiri untuk bisa tetap hidup. Tidak ada yang bisa mereka perbuat untuk merubah berbagai kebijakan pemerintah yang didukung wakil-wakil rakyat kita di legislative yang tidak pro mereka. Mulai dari pusat hingga daerah, “lagu”-nya selalu sama. Sementara penduduk yang hidupnya rata-rata dan belum masuk di bawah garis kemiskinan, kondisinya juga tidak jauh berbeda. Mereka juga berjuang sendiri di dalam negeri yang katanya makmur, gemah ripah loh jinawi agar tidak terpuruk di dalam lembah kemiskinan seperti saudara-saudara mereka. Mereka menyaksikan kemeriahan “aksi panggung hiburan politik” dari para aktor elit birokrat dan politik. Temanya macam-macam. Mulai dari perselingkuhan hingga korupsi. Kebanyakan memang aksi-aksi yang tidak menyenangkan hati. Nah, memasuki masa pemilu 2009, tanpa rasa berdosa, banyak politikus seperti itu yang mulai kembali mengobral janji. (bintoro suryo)

No comments: