Walaupun belum berkembang menjadi kota yang memadai sesuai perkembangan zaman, letak daerah ini strategis di lintas batas Indonesia Malaysia. Kota Kukup, walau kecil tapi sering digunakan sebagai tempat perlintasan awal baik barang maupun manusia antar negara bertetangga. Letaknya persis berada di pesisir selat Malaka dan berjarak setengah jam-an saja dari pulau Karimun kecil di wilayah Kepri.
Tidak ada yang terlalu istimewa dengan kota kecil ini. Jika anda pernah singgah ke Tanjung Uban di utara Bintan, ya mungkin bisa dimirip-miripkan-lah. Etnis aslinya juga sama, Melayu. Tapi jangan heran, di Kukup perbandingan antara etnis asli dan pendatang hampir berbanding rata. Etnis pendatang terbanyak adalah kaum Tionghoa. Di hampir setiap bidang kehidupan di sana, etnis Tionghoa cukup mendominasi.
Tapi kalau bicara ekonomi walau cuma kota kecil, warga kota ini punya tingkat kehidupan yang lebih baik dibanding warga kota kecamatan kecil lain seukurannya di Indonesia. Barometer yang saya ambil gampang saja. Di Kukup, tidak sulit menemui kendaraan-kendaraan mewah keluaran baru. Sedan sekelas Mercy saja, malah digunakan untuk kendaraan angkutan taksi. Sementara untuk kendaraan pribadi, warga di sana ternyata masih cukup bangga menggunakan mobil nasional mereka : Proton.
Saya bisa menangkap maksudnya. Kira-kira mungkin begini ; dengan menggunakan speed boat berdaya PK tinggi, kemungkinan untuk bisa lolos dari kejaran polis merin bisa lebih besar! Sementara jika pakai perahu sampan, apalagi kalau bukan untuk mengelabui pemasukan para TKI kita sebagai nelayan!
Oh ya, di Kukup ada hal yang cukup unik. Paling tidak, sampai saat saya berkunjung ke sana beberapa tahun lalu. Poster-poster “Artis lokal etnis keturunan” yang siap memberikan pelayanan show time pada tamunya. Usia rata-rata masih belia. Kalau melihat dari wajah di poster, paling tua mungkin sekitar 30-an tahun. Banyak juga yang kelihatannya masih remaja. Dandanannya menor dengan baju yang agak seronok. Photo mereka dibuat berjejer dan diberi nomor. Oh Malaysia, pikir saya. Ternyata yang “begituan” bisa sangat vulgar ditawarkan di sini!! Beberapa warga di Kukup yang coba saya tanyakan komentarnya tentang “ hiburan jenis ini” menyikapinya biasa saja : “SEKEDAR HIBURAN, kata mereka. Dan, itu sudah berlangsung cukup lama.
Kalau sudah begitu, saya jadi teringat dengan tempat hiburan sejenis di daerah Karimun. Orang di sana sering menyebutnya “Villa”. Komplek perumahan yang disulap dan berubah jadi lokalisasi hiburan esek-esek. Dibilang legal, sebenarnya tidak juga. Mau dibilang illegal, tapi kok rasanya tidak tepat. Masalahnya. Lokasinya begitu tertata. Persis seperti lokalisasi pada umumnya, tapi lebih ekslusif. Hampir seluruh rumah di komplek perumahan itu menyediakan wanita penghibur. Bisa dipakai di tempat, atau kalau mau lebih privacy, ya dibawa pergi dengan membayar DP terlebih dulu ke sang Mami atau Papi-nya.
Di Villa, yang membedakan antara rumah bordir dengan rumah tinggal warga, mungkin bisa ditandai dari iklan produk esek-esek yang terpasang. Rumah yang dijadikan tempat bordir biasanya dipasangi iklan seperti DUR..xxx dan “kawan-kawannya”. Yang rumah warga, cenderung polos tanpa papan reklame. Kalau malam, rumah bordir cenderung lebih gemerlap. Dari jalan bisa dilihat seperti ada “Akuariumnya”. Sementara warga yang tinggal di sana, cenderung mematikan lampu depan rumahnya jika malam atau memasang plang sederhana. Tulisannya : “ ini rumah warga”. (bintoro suryo)
No comments:
Post a Comment