
Parameter pembandingnya jelas hanya satu, wanita. Bagi saya yang alhamdulillah masih lelaki tulen, jawabannya ya. Tentu ini subjektif karena saya memberi penilaian sementara saya ada dalam bagian itu. Tapi toh jaman sekarang yang namanya subjektif juga sah-sah saja.
Ambil contoh anggota DPR. Dari pusat hingga daerah tingkat satu dan dua. Isinya notabene kebanyakan lelaki. Memang sih, isu kesetaraan gender mulai menempatkan wanita di dalamnya. Tapi, prosentasenya masih kecil sekali, kalau nggak mau dibilang hampir nggak ada arti dibanding suara anggota yang lelaki.
Di DPR RI, mereka punya kewenangan membuat undang-undang. Di daerah tingkat satu dan dua punya taji bikin perda. Mereka meramu, menggodog rancangan undang-undang Atau rancangan perda-lah untuk yang lebih bawah. Karena label wakil rakyat, yang dibuat adalah dengan mengatasnamakan kepentingan masyarakat banyak. Padahal mereka sebenarnya juga bagian dari masyarakat banyak itu. Kemudian, mereka merumuskan hingga menjadi sebuah aturan
Saya sih nggak mengganggap itu sebuah dosa. Nggak sampai sejauh itu, karena rasa egois muncul dari sebuah proses alamiah yang lumrah. Lumrah kok karena lelaki masih manusia. Anggota DPR yang notabene kebanyakan lelaki, juga masih manusia..
Oh ya, masih soal egois. Saya pernah baca biografi ringkas tokoh kontroversi dunia, Adolf Hitler. Terus terang “beliau” bukan tokoh idola saya. Tapi ada sesuatu yang menggelitik rasa ingin tahu saya tentang kedigdayaan dan ketenarannya. Minimal, ia begitu dipuja oleh kaum NAZI-isme. Pun sampai puluhan tahun setelah kematiannya. Ke-aku-annya soal trah unggul bangsa Arya yang melebihi bangsa-bangsa mana pun di dunia, kebenciannya yang begitu dalam terhadap Yahudi atau cita-cita gilanya yang ingin jadi penakluk dunia, lahir dari dalam jiwanya. Dari rasa ke-aku-an seorang Adolf Hitler. Ia nggak begitu peduli dengan rasa kemanusiaan saat memutuskan membangun kamp-kamp konsentrasi sebagai “neraka” dunia bagi bangsa yahudi yang tertawan. Egois? Iya.
Sama dengan rasa egois lelaki pada umumnya pada saat ia terlecut untuk dapat mempertahankan apa yang dia yakini sebagai sebuah kebenaran. Rasanya nggak berlebihan jika saya menebak bahwa lelaki mana pun di dunia pernah berada pada situasi yang demikian. Cuma mungkin porsi dan latar belakangnya saja yang berbeda-beda. Dengan ke-aku-an yang kita miliki, kita berusaha mempertahankan kebenaran yang kita percayai walau kenyataannya, kebenarannya sendiri masih absurt yang tidak dapat kita pastikan sebagai yang hakiki kecuali kebenaran Tuhan. (bintoro suryo)
Contact Person :
email : noe_saja@yahoo.co.id
No comments:
Post a Comment