Thursday, April 7, 2011

Maaf Tuhan, malam Ini saya berhutang seribu padanya


SAYA SELALU melihatnya, hampir tiap malam usai pulang kerja. Biasanya, ia selalu ada di sudut jalan yang sama di perempatan Kalista. Posisinya juga hampir selalu begitu. Tertidur ayam-ayaman dengan posisi duduk di bahu beton pinggir jalan. Tangannya yang memegang setumpuk koran didekapkan di dada.

Umur bocah itu saya tebak tidak lebih dari enam tahun. Masih terlalu kecil untuk menjadi seorang penjaja koran pinggir jalan. Apalagi hingga selarut ini. Tapi kondisi memaksanya untuk mau melakukan pekerjaan itu.

Malam ini, entah sudah malam ke berapa saya melihatnya lagi. Waktu sudah menunjukkan pukul 22.00 WIB. Posisinya tetap sama ; tertidur ayam-ayaman dengan posisi duduk. Tangannya memegang tumpukan koran yang didekapkan di dada.

Sekarang, saya lebih leluasa mengamatinya. Lampu pengatur jalan sedang menyala merah. Kendaraan saya berada di posisi terdepan dalam antrian ini. Tapi, bising mesin diesel jip saya ternyata tidak cukup ampuh untuk membangunkannya. Ia tetap tertidur. Sesekali kepalanya hampir terjatuh pertanda ia sebenarnya sudah hampir terlelap.

Saat lampu pengatur jalan menyala merah, seharusnya jadi kesempatan baginya untuk menjajakan koran. Menawarkan dari satu pengemudi kendaraan ke pengemudi kendaraan lainnya. Kesempatan itu sepertinya bakal terlewatkan untuk kali ini.

Lima… sepuluh… lima belas…. dua puluh detik! Bocah itu tetap dengan posisinya.

Saya merogoh-rogoh kantong celana, mencari uang receh yang mungkin terselip sisa kembalian membeli rokok tadi siang.

“Kok nggak ada”, ujar saya dalam hati.

Tangan saya kemudian beralih ke kantong bagian belakang untuk mengeluarkan dompet. Tiba-tiba, lampu sudah berubah jadi hijau. Spontan, tangan ini beralih lagi ke laci mobil yang ada di bagian samping. Berharap ada uang recehan yang biasa sengaja saya siapkan untuk membayar biaya parkir kendaraan. Tapi, saya hanya menemukan selembar ribuan saja.

“dik, dik…. Dik” teriak saya dari balik mobil berusaha membangunkan bocah itu. Ia bereaksi dan langsung menoleh. Secepatnya ia bangkit dan kemudian setengah berlari menghampiri kendaraan saya.

“Ini ambil, ambil saja” kata saya sambil mengulurkan tangan padanya. Saya sudah harus bersiap-siap jalan. Suara klakson yang bersahutan di belakang memang sudah tidak sabar menunggu.

“Nggak, om beli saja” kata bocah itu. Ia mengambil uang di tangan saya kemudian memasukkan satu eksemplar korannya ke dalam mobil.

“korannya bawa saja” kata saya sambil berjalan perlahan dengan kendaraan.

Tangan saya mengambil koran yang tadi dimasukkannya ke dalam. Tapi bocah itu sudah beralih ke kendaraan di belakang, berusaha menawarkan korannya lagi. Sepertinya, ia berusaha memanfaatkan sedikit waktu sebelum kendaraan-kendaraan di perempatan ini benar-benar jalan. Ia ingin mengganti waktunya yang tadi terbuang karena tertidur.

Mendadak terlintas kekhawatiran terhadap bocah itu. Takut terjadi apa-apa padanya. Tubuhnya yang kecil, bisa saja tidak terlihat pengendara lain yang sedang bersiap-siap menjalankan kendaraannya lagi. Apalagi, kesadarannya juga belum pulih setelah tadi sempat tertidur sejenak.

Jika terjadi apa-apa padanya, saya akan merasa jadi orang yang paling berdosa. Sayalah yang tadi membangunkannya. Dari balik spion kendaraan, saya mengamati sampai akhirnya tubuh mungil itu menghilang ditelan malam.

“Alhamdulillah, anak itu baik-baik saja” gumam saya.

Sambil mengemudikan kendaraan menuju rumah, saya lihat lagi koran yang tadi dilemparkan bocah itu ke dalam. Saya cuma bisa tersenyum kecut saat melihat bandrol harganya : 32 halaman – Rp 2000,-

“Maaf Tuhan, malam ini saya berhutang seribu padanya”. (***)

No comments: