Friday, August 13, 2010

Penjual Rokok versus Pedagang Obat


BEBERAPA WAKTU kemarin, saya bertemu sahabat lama. Kami sudah bersama sejak sebelum mengenyam bangku sekolah, kemudian bersama-sama saat di TK, SD hingga SMP. Kami baru berbeda sekolah saat SMA dan baru-benar-benar berpisah saat kuliah.

Dia lebih memilih teknik Arsitektur di sebuah perguruan tinggi di Jogja. Saya memilih teknik Elektro Sistem Tenaga di kota Malang. Hanya sekali-sekali kami bertemu. Malah beberapa tahun terakhir, kami sudah tidak bertemu lagi karena kesibukan kerja masing-masing.

Suatu siang menjelang sore di bulan Juli kemarin, saya melihatnya sedang merokok santai di koridor keberangkatan salah satu terminal domestik bandara Soekarno-Hatta Jakarta. Itu sebenarnya daerah bebas asap rokok. Ia tidak merokok di ruang yang telah disediakan. Hanya satu tangannya saja yang dimasukkan ke sisi pintu ruang smoking area. Itu juga sebenarnya lebih berfungsi untuk menopang badannya saja agar tidak terlalu lelah berdiri. Sementara badan dan tentu saja asap rokoknya, berkeliaran bebas di koridor yang menghubungkan ke ruang tunggu keberangkatan domestik.

“ Inilah penyakit kebanyakan perokok”, begitu pikir saya. Mau bebas merokok, tapi tidak mau terbelenggu dengan asap yang dihembuskannya.

“Mas, tolong kalau mau merokok di dalam saja. Kasihan penumpang yang lain”, tegur saya dari belakang sambil bergaya seperti satpam bandara.

Teman saya spontan menoleh dan kaget melihat saya. Ini jelas bukan pertemuan yang disangka-sangka sejak hampir tiga tahun kami putus kontak. Ia kemudian tertawa dan mendorong salah satu bagian dada saya. Sementara, di ujung tangannya yang lain masih terselip sebatang rokok menthol putih.

“Aku nggak tahan di dalam, asap semua!”, katanya santai sambil menghembuskan kembali asap rokoknya ke udara. Karena ada teman, saya juga mulai mengeluarkan sebungkus rokok dari dalam saku baju, mengambil sebatang dan menyalakannya.

“Lho, rokokmu ganti ya? Kok nggak samsu kretek lagi?’” tanyanya heran.

“Aku sudah setahun lebih pindah ke filter ini. Nggak tau, kalau ngisap samsu rasanya pahit”, kata saya sambil tersenyum.

Kami kemudian terlibat dalam pembicaraan tentang rokok. Tanpa sadar, aksi kami berdua menarik perhatian para penumpang lain untuk melakukan hal yang sama, merokok di koridor bebas asap rokok tersebut.

———-O———-

“Mohon maaf bapak-bapak. Kalau mau merokok silahkan di dalam ruang smoking area saja. Asap bapak-bapak sudah mengganggu penumpang yang lain”. Teguran seorang wanita manis berseragam keamanan bandara mengejutkan kami. Termasuk penumpang-penumpang lain yang melakukan hal yang sama.

“Aduh mbak, kami kan sudah berdiri dekat smoking area. Asapnya masuk ke dalam kok”, jawab teman saya sambil tersenyum.

“Tetap mengganggu, bapak. Silahkan ke dalam saja”, kata si petugas dengan nada tegas.

“Saya nggak kuat asapnya, tuh banyak orang di dalam. Saya matikan saja ya’, kata sahabat saya sambil kemudian mematikan puntung api rokoknya.

“Baik, pak. Tapi tolong kalau mau merokok lagi di dalam saja ya”, jawab si petugas kemudian bergegas meninggalkan kami.

“Mau merokok saja sekarang susah ya”, kata seorang penumpang pria yang sedari tadi berada di dekat kami. Ia juga terpaksa mematikan puntung api rokoknya karena enggan masuk ke ruang smoking area.

“Bayangkan, bandara semegah ini masak hanya menyediakan satu ruang smoking area di sepanjang koridor ini”, lanjutnya lagi.

Saya pikir, sedari tadi ia memang menyimak pembicaraan kami berdua tentang rokok. Ia kemudian sudah asyik berbicara tentang rokok bersama kami berdua. Katanya, ia pesimis dengan Perda larangan merokok di tempat umum yang diterapkan pemerintah DKI baru-baru ini…

———-O———-

Teringat soal Perda larangan merokok di tempat umum tersebut, saya jadi ingat dengan seorang CSR PT Djarum Tbk, Gabriel Mahal. Sehari sebelumnya, kami bertemu dalam sebuah acara di Jakarta.

Dia orang Nusa Tenggara. Badannya tinggi besar dengan kepala plontos. Tapi, kulitnya tidak hitam dan logat bicaranya juga sudah banyak dipengaruhi dialek Inggris. Salah satu kesenangannya, tentu saja merokok.

Saat itu, ia bercerita panjang lebar tentang masa depan industri rokok nasional, nasib petani tembakau kita dan juga para buruh pabrik rokoknya sendiri. Kata Gabriel, mereka sebenarnya jadi korban kampanye global “terselubung” anti tembakau yang sedang gencar dilakukan dengan motornya adalah organisasi kesehatan dunia WHO.

Gabriel juga mengkritisi sikap pemerintah kita yang seakan memusuhi rokok, tapi di sisi lain justru menikmati pajak paling besar dari bisnis tembakau ini melalui cukai tembakaunya. Ia menyebutkan kampanye terselubung dengan mengungkap data-data yang dianggap valid. Menurut Gabriel, terlepas dari masalah rokok dan kesehatan, kampanye global anti tembakau faktanya dibiayai oleh perusahaan-perusahaan besar farmasi dunia yang punya tujuan bisnis memasarkan produk obat-obatan anti nikotin.

Untuk menjelaskan lebih dalam, ia memberikan sebuah buku hasil riset dan tulisan Wanda Hamilton, seorang jurnalis sekaligus akademisi di 3 perguruan tinggi di AS. Judulnya, Nicotine War ; Perang Nikotin vs Pedagang Obat.

Buku itu adalah hasil risetnya selama sembilan tahun menjadi periset independen yang menulis isu-isu ilmu pengetahuan dan kebijakan publik yang berhubungan dengan merokok dan hak-hak para perokok.

Di sana ia memaparkan tentang peranan pemain industri farmasi dalam pembuatan produk-produk “penghenti merokok”. Contohnya Glaxo Smith Kline (GSK). Itu sebenarnya merupakan dua perusahaan raksasa bidang farmasi, Glaxo Wellcome dan Smith Kline yang melakukan merger pada 27 Desember 2007 lalu.

Hasil riset Wanda, GSK merupakan anggota pendiri koalisi hari anti tembakaau sedunia. Sebuah organisasi nirlaba yang ditujukan untuk meningkatkan pengetahuan tentang Hari tanpa tembakau di Dunia. Saat ini GSK tercatat sebagai salah satu perusahaan farmasi terbesar di dunia berdasarkan penjualannya. Produk anti nikotin produsi GSk dan memiliki pasar besar diantaranya Zyban (buproprien), koyok nikatin bermerk Nicoderm CQ dan permen karet Nicorette.

Dalam bukunya, Wanda juga mengupas peran industri farmasi dalam pembatasan peredaran tembakau melalui aturan. Misalnya aturan tentang pengurangan kandungan tar yang signifikan pada rokok serta penerapan harga tinggi pada rokok industri. Tembakau dalam hal ini nikotin akan diposisikan seperti emas yang punya harga melambung. Pada akhirnya nanti, tembakau akan seperti emas. Tidak setiap orang bisa membelinya. Walaupun misalnya, ia adalah seorang perokok.

Solusi yang diharapkan dari kondisi itu ; akan banyak perokok yang terpaksa melepas ketergantungannya pada nikotin dengan mengkonsumsi produk-produk kesehatan anti nikotin yang harganya jauh lebih murah dari tembakau….

———-O———-

Gabriel jelas pro nikotin. Ia membawa misi dari perusahaannya agar industri rokok bisa terus eksis. Tapi, tantangan besar memang sedang menghadang industri rokok saat ini dalam bentuk kampanye global anti tembakau.

Menurutnya, ketika para penggiat anti tembakau masih sibuk mengkampanyekan bahaya-bahaya tembakau dan ngotot menekan pemerintah untuk membuat regulasi pengontrolan yang ketat terhadap tembakau, korporasi-korporasi besar yang mendapat keuntungan dari agenda ini justru sibuk menghitung peluang-peluang meraup keuntungan dari bisnis anti nikotin tersebut.

Free tobacco addictif, Gabriel menyebutkan sebagai proyek Haliburton. Sebuah proyek besar dengan agenda inti pengontrolan terhadap tembakau yang mulai digulirkan sejak 1998. Di balik agenda itu, ada kepentingan-kepentingan bisnis dari perusahaan-perusahaan farmasi dunia.

Di Indonesia dan banyak negara lainnya, sosialiasi seperti itu dilakukan dengan melekatkannya dalam regulasi-regulasi yang diterbitkan pemerintah. Baik melalui anjuran internasional badan kesehatan dunia WHO, maupun dalam bentuk regulasi-regulasi titipan di peraturan-peraturan daerah.

“Saya mengatakan ini bukan berarti menganjurkan orang untuk merokok. Itu (merokok, pen) merupakan pilihan. Tapi, katakanlah dengan jujur”, kata Gabriel tentang agenda anti tembakau yang dianggap kampanye terselubung dari perusahaan-perusahaan farmasi dunia.

———-O———-

Sudah hampir tiga jam saya, sahabat saya dan teman baru saya berada di koridor keberangkatan bandara dan berbicara tentang rokok. Pesawat yang akan membawa kami pulang ke Batam ternyata mengalami penundaan keberangkatan.

“Saya pernah ditawari produk anti rokok yang bentuknya mirip rokok. Ya dibakar.. ya dihisap dan ada asapnya juga, persis rokok. Cuma, kalau sudah mencoba sebungkus, kita jadi ketagihan dan tidak ingin lagi mencoba rokok yang biasa kita gunakan”, kata teman baru saya. Ia menyebut sebuah produk anti nikotin yang bentuknya mirip rokok.

Teman baru saya itu ternyata pernah punya niat berhenti merokok. Ia menggunakan produk yang tadi disebutkannya. Cuma yang jadi masalah, produk itu ternyata tidak dijual bebas. Tapi menggunakan sistem Multi Level Marketing (MLM). Alhasil, ia juga sempat bergabung menjadi salah satu downline produk tersebut. Masalah lain ternyata timbul. Ia jadi punya ketergantungan baru terhadap produk anti tembakau yang bentuknya mirip rokok tersebut.

“Saya putuskan berhenti karena bikin repot. Kita nggak bisa beli di warung-warung. Harus pesan dulu. Parahnya kalau pas habis malam-malam, mau cari kemana? Akhirnya ya kembali lagi. Saya paksa saja menghisap lagi rokok yang sebelumnya”, kata si teman baru saya ini sambil tertawa. (***)

No comments: