Thursday, August 19, 2010

Indonesia Saja


“Masalah suku ras, agama, antar golongan, kadang membuat kita jadi terkotak-kotak. Membuat kita yang seharusnya satu sebagai orang Indonesia jadi seperti asing satu sama lainnya…

SAYA DILAHIRKAN sebagai anak kedua dari lima bersaudara. Bapak Jawa tulen yang kental dengan budaya Kromo Inggil asal Kudus - Jawa Tengah. Kakek dari bapak adalah seorang tentara angkatan darat yang hidup berpindah-pindah pada zamannya. Dari satu Kodam ke Kodam lainnya sesuai penugasan. Bapak dibesarkan secara sederhana oleh nenek buyut saya.

Ibu sebenarnya juga Jawa tulen. Tapi menghabiskan masa kecil hingga dewasa di Jakarta. Pakem budaya Jawa-nya sudah pudar. Hidupnya lebih metropolis daripada bapak. Kakek dari ibu juga seorang tentara dari angkatan udara. Tugasnya sebagai Navigator pesawat kepresidenan zaman Bung Karno. Kakek selalu mendampingi tugas-tugas kenegaraan presiden Soekarno. Baik saat bepergian ke daerah-daerah di Indonesia, maupun keluar negeri dalam kunjungan kenegaraan.

Walau dari keluarga besar yang berada dalam lingkar kekuasaan, keluarga kecil kami adalah keluarga sederhana. Tidak kaya, tidak juga kekurangan. Bapak adalah lulusan Akademi Penerbangan Indonesia (API) Curuq (sekarang jadi Sekolah Tinggi Penerbangan Indonesia, pen) yang bekerja sebagai PNS dari Direktorat Perhubungan Udara. Hidupnya lurus dan punya prinsip mandiri.

Beliau memilih untuk bersekolah di Curug bukan untuk gagah-gagahan. Tapi karena biayanya yang gratis. Tidak perlu bayar, tapi begitu lulus langsung bisa dipekerjakan sesuai penempatan. Sementara ibu, hanya seorang mahasiswi abadi IKIP Jakarta yang tidak pernah menyelesaikan kuliahnya karena ikut suami bertugas di daerah. Ibu saya hanya jadi ibu rumah tangga biasa sampai meninggal tahun 1998 lalu. Kami tinggal terpisah dari lingkaran keluarga besar.

Abang saya dilahirkan di Jakarta saat bapak bertugas di sana. Sementara dua adik dilahirkan di Tanjung Pinang saat penugasan bapak di kota itu. Yang paling bungsu dilahirkan di Batam saat bapak dipindahkan ke Batam.

Masa kecil saya bersama abang dan adik-adik lebih banyak dihabiskan di Tanjung Pinang dalam suasana sederhana dan damai. Kami juga tinggal di rumah dinas bandara Kijang bersama lebih dari puluhan pegawai lain yang berasal dari berbagai suku dan daerah. Kami adik beradik berlima, memang bertempat tinggal dalam heterogenitas budaya nusantara.

Karena tinggal jauh di perantauan, kami sekeluarga juga jadi punya saudara-saudara baru. Saya jadi punya pakde angkat yang orang Jawa. paman yang orang Ambon, Batak, Melayu, Sunda dan Padang. Secara tidak langsung kami mengikat tali persaudaraan karena kesamaan nasib. Sama-sama orang perantauan. Persetan dengan suku dan keyakinan kepercayaan. Itu masalah privasi yang tidak perlu membuat kami sampai jadi terpecah. Rasanya juga tidak perlu dibesar-besarkan…..

---------------------------

Saat bersekolah di SD Negeri 030 Tanjung Pinang, teman-teman saya juga berasal dari berbagai suku dan daerah, termasuk juga guru-guru yang mengajar. Soal suku, memang tidak pernah muncul sebagai sebuah perbedaan yang membuat jurang pemisah antara yang satu dengan lainnya. Kami berbicara dengan bahasa Indonesia, belajar dengan bahasa Indonesia dan bermain dengan permainan khas anak-anak Indonesia ; main gundu, lompat jangkit, petak umpet atau tam-tam buku.

Tahun 1986, kami sekeluarga pindah ke Batam karena bapak dapat penugasan baru di bandara Hang Nadim. Sedih karena harus meninggalkan komunitas tempat tinggal lama kami yang sudah menyatu. Harus juga meninggalkan “saudara-saudara”, meninggalkan sekolah lama kami.

Di Batam yang masih sepi, saya, abang dan adik disekolahkan bapak di SD Negeri 002 Batu Besar. Sekolahnya berjarak 10-an kilo meter dari tempat tinggal saya di perumahan pengairan DAM Nongsa. Lokasi sekolah kami berada di perkampungan tradisional yang sebagian penduduknya memiliki mata pencaharian sebagai nelayan di laut. Tapi, itulah sekolah yang terdekat dengan rumah. Bapak memilihkan sekolah tersebut untuk kami karena pertimbangan praktis dan ekonomis.

Tapi kendala baru muncul. Dari kediaman kami menuju sekolah, hampir tidak ada angkutan yang bisa digunakan sebagai sarana transportasi. Saat itu, jalanan Batam walaupun sudah beraspal mulus, tapi benar-benar sepi. Sesekali memang ada melintas mobil pribadi. Tapi lagi-lagi, jumlahnya bisa dihitung dengan jari.

Untuk transportasi, bapak sebenarnya pernah mengambil sebuah mobil kuno merk Holden tahun 1964 yang digeletakkan begitu saja bersama kendaraan-kendaraan sejenis dari Singapura. Tahun-tahun segitu, Batam memang sering dimanfaatkan sebagai tempat buangan barang-barang yang dianggap sampah dan tidak digunakan lagi oleh negara itu. Dengan sistem kanibal sana – sini dan dibantu beberapa teman yang mengerti mesin, sedan Holden tua itu akhirnya bisa jalan. Kendaraan itu digunakan sebagai sarana transportasi bapak dan rekan-rekan sekerjanya untuk berangkat ke kantor di bandara Hang Nadim yang berjarak tempuh 15 kilometer. Kendaraan itu juga-lah yang awalnya jadi sarana transportasi untuk mengantar kami adik beradik ke sekolah.

Tapi itu tidak lama. Dengan modal hasil penjualan Vespa Super bapak di Tanjung Pinang dan ditambah pinjaman bank, keluarga kami akhirnya bisa memiliki sebuah sedan sendiri dengan cara membeli. Saya ingat, itulah mobil pertama keluarga kami. Merk-nya Toyota Corolla buatan tahun 1973.

Situasi di sekolah baru SD Negeri 002 Batu Besar, benar-benar berbeda. Awalnya saya senang karena letak sekolah yang sangat berdekatan dengan laut. Ya, saya memang selalu suka dengan laut. Di halaman sekolah, juga ada banyak pohon kelapa. Di sini, teman-teman baru saya punya latar belakang keluarga yang rata-rata hampir seragam, anak nelayan. Aturan sekolahnya juga tidak terlalu ketat. Murid-muridnya boleh datang ke sekolah tanpa baju seragam jika tidak punya. Ada juga yang bersekolah menggunakan sandal jepit atau bahkan tanpa alas kaki. Yang lain datang ke sekolah menggunakan sarung untuk mengaji!! Ah, tapi saya tidak perduli. Saya senang punya teman-teman baru lagi.

Perbedaan lain lagi, teman-teman baru saya di sini rata-rata berasal dari dua suku saja ; Melayu dan Bugis Selayar. Bahasa Indonesia hanya digunakan di dalam kelas saat belajar. Di luar kelas, teman-teman menggunakan bahasa ibu masing-masing. Pada awal-awalnya, saya merasa asing. Ada perbedaan yang selama ini tidak pernah saya rasakan. Saat itu, saya baru menyadari bahwa nama saya yang terlalu banyak “O” memang berbeda dengan nama teman-teman baru saya. Sesuatu yang sebelumnya tidak pernah terpikirkan. Tapi yang terjadi kemudian jadi lucu. Saya bisa berbicara dengan logat Melayu dan sedikit-sedikit mengerti bahasa Bugis Selayar.

------------------------------

Saat mulai kuliah di Institut teknologi Nasional Malang Jawa Timur, kondisi hampir serupa juga saya alami lagi. Walau nama saya banyak menggunakan “O”, tapi saya dianggap bukan orang Jawa. Saya tidak bisa menyalahkan karena memang tidak bisa berbahasa Jawa apalagi mengerti adat istiadat Jawa. Teman-teman kuliah menyebut saya sebagai “Orang Mbatam”.

Lagi-lagi saya merasa sebagai orang asing. Tapi, pengalaman dan waktu memang jadi guru yang baik untuk belajar. Lima tahun di Malang, selain dapat ijazah “Tukang Insinyur”, saya juga sudah fasih berbahasa Jawa Timuran dan mengenal sedikit sedikit budaya Jawa secara umum.

Saya mulai kenal dunia kerja saat situasi negeri sudah berubah. Saya pulang ke Batam dan sudah berada di era otonomi daerah. Semangat kedaerahan begitu bergolak seperti juga yang terjadi di banyak daerah lain di Indonesia. Otonomi daerah sebenarnya bagus karena bisa cepat mengkatrol perkembangan suatu daerah yang selama ini jauh tertinggal dari pusat.

Reformasi ini sebenarnya berkah buat daerah. Dengan otonomi daerah, kita menggeser kebijakan yang sebelumnya sentralistik menjadi pro daerah. Itu sebenarnya kebijakan bagus karena bisa mendekatkan keputusan pada tingkat yang lebih lokal. Intinya yang bisa saya simpulkan mungkin akan ada peningkatan pelayanan kepada masyarakat yang pada akhirnya bisa membangun sistem yang lebih demokrasi yang lebih pro rakyat.

Misalnya saja, daerah bisa lebih leluasa menyelenggarakan pemerintahan karena mereka yang lebih tahu masyarakatnya daripada pemerintah kita di pusat sana. Pemerintah daerah juga bisa melakukan inovasi-inovasi yang bersifat lokal untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakatnya. Iklim demokrasi jadi lebih terasa. Sejak era reformasi, masyarakat di daerah juga sudah bisa menentukan siapa yang layak untuk memimpin daerahnya sendiri melalui pemilihan kepala daerah.

Tapi prakteknya tidak mulus. Ada semangat lokal sempit yang muncul ke permukaan, pengkotak-kotakkan kesukuan serta euphoria “katak dalam tempurung”. Belum lagi munculnya raja-raja kecil di daerah. Di sisi lain, kelompok suku yang selama ini seperti terpinggirkan mulai meminta “tempat”. Clue kesukuan jadi jurus ampuh.

Beberapa kelompok orang yang mengatasnamakan kesukuan atau mereka yang mengaku-aku bagian dari salah satu suku, bisa terkatrol mendadak status sosial maupun ekonominya. Tapi sebenarnya, masih banyak kelompok suku tersebut yang cuma dijadikan senjata atau bumper untuk mencapai tujuan pribadi atau kelompok dari “orang-orang” tersebut. Tingkat status sosial dan ekonomi mereka tetap saja jalan di tempat, ironis.

Imbas lain, sering terjadi penafsiran berlebihan terhadap otonomi daerah. Seakan-akan kita bisa melakukan apa saja. Banyak aturan-aturan yang diterbitkan di daerah ternyata tidak punya sangkutan ke atasnya dan ternyata sudah dijalankan. Misalnya dalam bentuk Perda. Kesalahan pemahaman seperti itu sering menimbulkan ketidakharmonisan hubungan antara pemeritah daerah dengan pemerintah pusat. Yang lain, kedekatan hubungan membuat praktek KKN kini sudah menyebar lebih luas di masyarakat. Tidak saja di kalangan terbatas seperti zaman orde baru dulu.

Saya ada di mana? Sejujurnya, saya tidak merasa ada dalam lingkaran-lingkaran seperti itu. Saya pilih jadi orang biasa, jadi orang Indonesia saja. (***)

No comments: