Thursday, October 16, 2008

Metamorfosa Aktivis Jalanan


Ini baru kejutan. Tapi, kejutan yang membingungkan!! Minimal bagi saya yang awam politik. Satu kelompok “rekan” yang dulu satu visi, kini terpecah dan duduk berseberangan. Yang satu tetap sebagai “aktivis” yang dulu disebut “kiri” karena selalu bersuara vokal tentang ketidakadilan. Kelompok lainnya sudah mulai menjelma jadi “aktivis” yang lebih lembut dan cenderung “kanan” karena mulai bisa bertoleransi dengan iklim politik di Indonesia. Mereka bertemu dalam debat yang digelar sebuah stasiun tv.

Di satu sisi ada Sangap Surbakti – aktifis dan pendiri Forum Kota di era reformasi tahun 1998 lalu. Ada juga Yenny Rosa Damayanti – aktifis vokal di era 80-an yang tetap bersuara lantang sampai saat ini serta Henri Panjaitan – aktifitas mahasiswa di era reformasi yang sempat jadi korban penculikan aparat. Di sisi lainnya ada Budiman Sujatmiko – dedengkot Partai Rakyat Demokratik (PRD) yang dulu dikenal sangat “kiri”. Ada juga Dita Indah Sari – rekan Budiman sesama pendiri partai PRD. Satu lagi adalah Pius Lustrilanang – aktifis era reformasi yang juga sempat jadi korban penculikan.

Yang membedakan, Budiman kini sudah jadi Caleg nomor satu DPR RI dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Dita Indah Sari jadi Caleg untuk Partai Bintang Reformasi (PBR). Yang terakhir dan cukup mencengangkan adalah Pius Lustrilanang. Pius jadi Caleg untuk partai Gerindra. Partai yang didirikan oleh Prabowo Subianto, orang yang paling bertanggung jawab terhadap aksi penculikan yang dialaminya hampir 10 tahun lalu!! Para aktivis “kiri” itu sudah mulai bermetamorfosa untuk berubah jadi aktivis yang lebih “kanan”.

Debat yang digelar antara kelompok Yenny cs dengan kelompok Budiman cs di program Barometer-nya SCTV Rabu dini hari (16 oktober 2008) pukul 00.30 Wib, membuat saya yang sebenarnya sudah siap-siap untuk tidur jadi “segar” lagi. Sangap Surbakti, Yenny Rosa Damayanti dan Henri Panjaitan masih sama seperti beberapa tahun lalu. Tetap vokal, keras dan cenderung blak-blakkan. Sementara Budiman Sujatmiko, Dita Indah Sari dan Pius Lustrilanang sudah lebih santun. Cara bicaranya juga mulai seperti “Politikus Senayan”. Ada beberapa poin menarik yang saya tangkap dari acara debat itu.

Misalnya saja tentang sikap politik Budiman, Dita dan Pius yang memilih pindah dari politik jalanan ke politik parlemen. Hal itu mengundang kekhawatiran tersendiri bagi rekan-rekannya yang masih tetap setia di jalanan. Yenny, Sangap dan Henri khawatir dengan “ketulusan niat” rekan-rekannya itu untuk memberi warna baru dan melakukan perubahan dari dalam terhadap situasi politik nasional yang rasanya semakin tidak mendapat simpati rakyat. Sangap dan Yenny sepertinya juga ragu dengan kapabilitas Budiman cs saat ini. Bagaimana bisa seorang Budiman Sujatmiko yang dulu dikenal nasionalis kiri, bisa bergabung di partainya Megawati. Menurut mereka, walau mengaku sebagai partai nasionalis, PDIP merupakan partai yang sangat feodal. Budiman berada di partai itu juga bukan sebagai “apa-apa” selain Caleg untuk Pemilu 2009 nanti. Mereka menangkap ada nuansa kepentingan dan kekuasaan dalam diri Budiman saat ini. Budiman sendiri mengaku, ia bukan seperti caleg artis yang sekarang banyak diusung parpol-parpol. Ia punya visi untuk membawa perubahan, khususnya di Parlemen.

Tapi, sebuah pernyataan counter lanjutan dari Yenny dan Sangap Surbakti cukup menarik perhatian saya dalam acara itu. Menurut mereka, untuk melakukan sebuah perubahan, apalagi menyuarakan kebenaran secara utuh, tidak bisa hanya diperjuangkan di Parlemen. Tapi dari sumbernya, yakni parpol-parpolnya. Budiman harus “menguasai” PDIP. Tapi hal itu sepertinya akan sangat sulit dilakukan mengingat PDIP yang menurut mereka sangat feodal. Hanya ada dua opsi untuk Budiman. Jika ia memang benar tetap punya idealisme, ia akan terlempar keluar. Atau, ia akan larut dalam situasi politik yang pragmatis seperti sekarang.

Sementara Henri Panjaitan –si aktivis jalanan lainnya- menyoroti sepak terjang rekan seperjuangannya dulu, Pius Lustrilanang yang membuat manuver mengejutkan. Bergabung di partai orang yang dulu paling bertanggung jawab dalam insiden penculikannya, partai Gerindra pimpinan Letjend (purn) Prabowo Subianto. Prabowo sendiri adalah Danjend Kopassus saat peristiwa penculikan itu terjadi. Ini merupakan partai ketiga tempat Pius berlabuh. Sebelumnya ia juga sempat bergabung di PAN dan PDIP.

Pius yang sekarang sudah berubah jadi seorang pengusaha penyedia jasa keamanan hanya menjawab mengambang. Menurutnya, berada di dalam sistem politik sudah merupakan niatnya sejak dulu. Saat dulu ia bergerak di jalanan, ia yakin perubahan ke arah sistem politik Indonesia yang lebih baik dan demokratis adalah jika Soeharto lengser. Dan, itu sudah dilakukan melalui gerakan reformasi yang terjadi tahun 1998 lalu. Saat inilah merupakan waktunya untuk ikut di dalam bagian untuk menciptakan dan menggerakkan proses perubahan itu. Tapi, Pius sama sekali tidak mau menyinggung alasan mengapa ia bisa “berkolaborasi” dengan Prabowo dalam partai Gerindra.

Yang cuma kebagian sedikit sorotan dari rekan-rekannya, mungkin Dita Indah Sari. Rekan seperjuangan Budiman Sujatmiko di PRD dulu itu, cukup brilian meng-counter keragu-raguan rekan-rekannya di aktivis jalanan. Keputusan Dita bergabung di Partai Bintang Reformasi minim kritikan, walau agak dipertanyakan kelangsungan idealismenya. Masalahnya, wanita itu adalah penganut faham Lenin! Bagaimana bisa ia tetap dengan idealismenya dalam partai yang “hijau”?

Tapi kata Dita, yang penting visi dan platform perjuangannya sama. Policy (kebijakan) yang diterapkan oleh PBR menurut wanita itu juga mengakomodasi idealismenya. Dita mengaku sudah sejak tahun 1992 berada di jalanan.

Walau agak membingungkan, bagi saya manuver politik yang dilakukan Budiman, Dita dan Pius dengan bermetamorfosa dan jadi bagian parpol di dalam system politik Indonesia adalah sebuah Pilihan. Sama halnya dengan apa yang tetap dijalani dan diyakini oleh Sangap Surbakti, Yenny Rosa Damayanti dan Henri Panjaitan.

Saya sendiri sebenarnya lebih condong berpihak pada Sangap, Yenny dan Henri. Untuk membuat sebuah perubahan besar, terutama dalam system perpolitikan Indonesia saat ini, memang akan sangat sulit sekali dilakukan. Misalnya hanya dengan menjadi legislator perwakilan parpol. Karena masalah sebenarnya terletak di parpol-parpol itu sendiri. Iklim pragmatis-nya terlalu kental. Saya juga ragu, “orang-orang baru” seperti Budiman, Dita dan Pius bias berkiprah bebas dalam parpol barunya sesuai idealisme yang mereka bawa sebelum ini. Tidak semudah itu. Ingat, jumlah parpol di Indonesia saat ini yang terdaftar di pemilu 2009 saja mencapai puluhan. Ada 38 parpol yang berkiprah mencari simpati rakyat!

Kondisi politik Indonesia saat ini mungkin bisa dimisalkan seperti sebuah sungai yang tercemar kotoran minyak. Kotorannya terus mengalir hingga ke hilir dan hampir bermuara ke laut. Sulit sekali jika harus membersihkan kotoran tersebut di sisi hilirnya karena kotoran serupa terus ada dan mengalir dari arah hulu. Cara terbaiknya adalah datang ke hulu dan membersihkan kotoran itu di sana. Memang bukan hal yang gampang. Kita harus jadi “penguasanya” di hulu sehingga bisa memberi arahan untuk mebersihkan kotoran minyak yang terus tumpah di sana. Ini tidak gampang. Tapi percayalah, akan lebih efektif begitu sehingga akhirnya keluaran air di hulu bisa jernih mengalir hingga hilir dan akhirnya bermuara di laut.

Fenomena aktivis jalanan yang bermetamorfosa jadi aktivis parlemen, seingat saya juga bukan hal yang baru dan hanya dilakukan Budiman cs saat ini saja.Jauh tahun sebelumnya, ada Akbar Tanjung cs di angkatan 66 yang kemudian sukses jadi birokrat dan politikus parlemen. Ada juga Rizal Ramli cs di dekade 70-an yang sempat aktif di salah satu parpol yang sempat ditentangnya dan bahkan jadi menteri!! Taufik Kiemas merupakan nama lainnya. Yang agak lebih muda lagi mungkin Trimedya Panjaitan. Aktivis di jalanan yang sudah berubah nasib jadi politikus Senayan dari partai PDIP. Tentang bagaimana mereka setelah bermetamorfosa, apakah mereka tetap konsisten memperjuangkan kepentingan rakyat banyak seperti halnya saat di jalanan, anda sendiri sajalah yang menilai masing-masing. (bintoro suryo)

No comments: