SALAH SATU keinginan saya yang belum kesampaian
adalah membuat dokumentasi kabar terbaru pasangan Asui dan Pakiang Liem.
Dua sejoli yang menghabiskan hari-harinya dengan hidup berdua saja di
sebuah pulau di kawasan Barelang. Terakhir kali saya mengunjungi mereka 4
tahun lalu.
Bukan cuma kehidupan mereka saja yang menurut saya menarik.
Bertahun-tahun hanya hidup berdua di sebuah rumah sederhana di sebuah
pulau. Seperti kisah dalam film blue lagoon, ini romantis. Pemandangan
laut, pantai dan pulau itu juga begitu menggelitik saya untuk datang
lagi.
Pantainya landai dengan pasir-pasir halus
yang bersih. Airnya jernih sehingga kita dengan mudah bisa melihat
aktivitas komunitas laut di sekelilingnya. Pasangan itu juga memiliki
areal kebun yang lumayan luas, beberapa hektar ditanami tanaman seperti
kelapa, pisang dan singkong. Sementara luas pulau itu sendiri sekitar 16
hektar. Untuk bisa sampai ke sana, kita harus menempuh perjalanan laut
antara 45 menit hingga 1 jam dari lokasi Dapur Enam di sekitar perairan
Barelang.
Rumah, ah lebih tepat disebut pondok karena hanya terbuat dari
potongan batang-batang kelapa sebagai dindingnya dan beratap daun kelapa
yang sudah dikeringkan. Hanya lantai rumahnya saja yang sudah sedikit
modern. Sebagian alas rumah panggung itu ada yang sudah menggunakan
papan walaupun tidak semuanya. Mungkin mereka membelinya dari tempat
lain dan membawanya ke sana, dulu. Sisanya, tetap menggunakan
batang-batang kelapa yang dibelah pipih.
Saya masih bisa membayangkan isinya. Tidak ada kemewahan di sana.
Satu-satunya barang mewah yang dimiliki hanya sebuah radio transistor
tua untuk menangkap siaran RRI Tanjungpinang dan beberapa saluran radio
berbahasa Cina asal Singapura dan Malaysia. Pasangan itu menghiasi
dinding-dinding rumahnya dengan peralatan jaring dan jala. Jaring dan
jala itu jugalah yang digunakan sang suami untuk menghidupi mereka
berdua selain hasil kebun di belakang rumah.
Pondok berbentuk kotak itu dibagi menjadi tiga ruangan. Ruang yang
agak besar untuk ruang tamu sekaligus merangkap ruang makan dan ruang
keluarga untuk mereka berdua. Ada satu ruang yang lebih kecil sebagai
kamar tidur mereka dan satu ruang sisanya adalah dapur. Mereka tidak
punya anak. Selain hiburan mendengarkan radio, keseharian mereka
ditemani beberapa ekor anjing yang sudah dianggap anak oleh keduanya.
Umur Pakiang saat itu 54 tahun. Suaminya, Asui dua tahun lebih muda.
Belasan tahun hidup mengisolasi seperti itu membuat mereka sangat tidak
terbiasa berkomunikasi dengan orang lain. Dulu saat ke sana, saya sempat
kesulitan berkomunikasi dengan mereka. Pandangan mereka terhadap orang
luar juga tidak selalu terbuka.
Saya maklum. Beberapa kali pasangan itu sempat mengalami kejadian
tidak mengenakkan saat berhubungan dengan orang luar. Pernah menolong
sekelompok orang yang kapalnya terdampar di sekitar pulau, tapi ternyata
adalah kawanan bajak laut. Mereka juga pernah menolong seseorang yang
terluka di bagian kaki, seperti bekas tembakan. Ternyata orang itu
adalah buronan yang melarikan diri. Alhasil, bukan ucapan terima kasih
yang didapat, justru perbekalan makanan mereka yang tidak seberapa itu
yang diambil.
Asui sebenarnya bukan pria pertama bagi Pakiang Liem. Puluhan tahun
sebelumnya, perempuan yang karena terlalu lama menyepi di tempat sepi
itu jadi susah berkomunikasi dengan orang lain, pernah menikah dengan
pria lain. Dari pernikahan pertamanya, ia punya anak. Seorang perempuan
yang kini sudah dewasa.
“Dia tak mau kenal saya lagi”, kata Pakiang pada saya saat dikunjungi beberapa tahun lalu.
Tidak banyak cerita yang mau ia sampaikan perihal perpisahannya
dengan anak perempuannya itu. Yang jelas, setelah pernikahan keduanya
dengan Asui hampir dua puluh tahun lalu, keduanya memutuskan menetap di
pondok yang mereka diami tersebut.
Mereka sempat memiliki anak. Tapi, saat berusia delapan tahun anak mereka meninggal.
“Demam tinggi, kena malaria”, kata Asui.
Pakiang sempat begitu trauma dengan kematian anak buah hatinya
bersama Asui. Karena terbatasnya pengetahuan, wanita itu selalu saja
menyangka terserang malaria saat menderita sakit dengan gejala panas
tinggi. Kalau sudah begitu, Pakiang biasanya minta buru-buru diantar
oleh sang suami ke perkampungan rakyat terdekat di daerah Dapur 6
Barelang.
Untuk sampai ke sana, butuh waktu perjalanan 45 menit hingga 1 jam
menggunakan perahu bermesin tempel. Sementara bila menggunakan perahu
mereka yang hanya menggunakan kayuh, waktu tempuhnya bisa mencapai dua
kali lipatnya. Di daerah dapur 6 itu jugalah, pasangan ini biasanya
berbelanja untuk mencukupi kebutuhan hidup.
———***———
“Asui sudah mati. Kepalanya masuk ke laut, badannya masih di sampan.
Ada orang yang menemukan mayatnya beberapa bulan lalu”, kata teman saya
Saufa J. Tan.
Kami bertemu pertengahan Ramadhan kemarin di salah satu acara buka
puasa bersama. Karena sama-sama sibuk, sudah beberapa tahun ini kami
memang tidak pernah bertemu. Komunikasi biasanya hanya dilakukan melalui
Sms atau ponsel. Itu pun hanya untuk sekedar menanyakan kabar
masing-masing.
Saat bertemu, kami membicarakan banyak hal nostalgia. Salah satunya adalah tentang pasangan Asui dan Pakiang Liem tersebut. Saufa yang sekarang jadi wakil ketua Pengurus Persatuan Sosial Marga
Tionghoa Indonesia di (PSMTI) Batam itu adalah satu-satunya orang yang
dikenal pasangan Asui-Pakiang Liem selama ini. Kesenangannya menjelajah
perairan di Kepri dengan kapal-kapal sewaan untuk memancing, membuatnya
kenal dengan pasangan itu bertahun-tahun lalu. Melalui Saufa jugalah
saya mengunjungi pasangan Asui dan Pakiang Liem sekitar empat tahun
lalu.
“Tidak tahu kenapa. Orang-orang ketemu mayatnya sudah dalam posisi
begitu di laut”, lanjut Saufa yang ternyata masih rutin mengunjungi
keduanya sampai peristiwa penemuan mayat Asui di laut.
“Trus, gimana dengan istrinya? Pasti sangat kehilangan sekali”, tanya saya.
Duh, padahal saya sangat ingin sekali bertemu mereka lagi. Mereka
orang-orang bersahaja yang rasanya sangat tidak perduli dengan hiruk
pikuk kehidupan di luar. Dunia mereka adalah mereka berdua saja dan
pulau seluas 16 hektar itu.
Saya senang berlama-lama berada di pondokan mereka. Walaupun pada
awalnya harus menghadapi tatapan curiga pasangan suami istri tersebut,
mereka ternyata orang-orang yang polos dan benar-benar bersahaja.
Kondisi alam dan keterasinganlah yang membuat mereka menjadi tidak
terbiasa menghadapi orang luar.
“Pakiang sempat stres dan hanya berdiam sendiri di pulau itu.
Beberapa kali warga yang tinggal di pulau terdekat, sempat mengajaknya
untuk pindah ke tempat yang lebih ramai. Tapi dia hanya diam saja.” Kata
Saufa.
“Kata orang-orang, dia hanya mau bicara dengan Opa. Orang bingung
karena tidak tau siapa Opa. Opa itu ya saya”, lanjut Saufa lagi.
“Trus…”, tanya saya lagi.
“Ya, saya datang ke sana, membujuknya agar mau pindah. Akhirnya mau.
Sekarang Pakiang dibawa keluarganya dan menetap di Tanjung Pinang”, kata
Saufa.
“Oh ya, ngomong-ngomong tentang anaknya yang dulu sempat tidak mengakui dia, bagaimana sekarang?” Tanya saya.
“Lina? Sakit keras. Kasihan, kena kanker dan hanya bisa terbaring di rumah.”
“Oh, sejak kapan?”
“Setahun terakhir ini. Tapi masih tetap keras. Kasihan orang tuanya”,
Saufa menunduk. Seperti coba membayangkan kondisi Pakiang sekarang.
“Gimana dengan pulau itu?” Tanya saya.
“Kosong. Lahannya yang seluas 16 hektar itu akhirnya dijual. Cuma Rp 8 juta”.
“Hah, 8 juta? Siapa yang beli?”
“Orang yang mengaku kerabatnya. Sekarang katanya mau dijual lagi. Tapi harganya sudah tidak segitu lagi”.
“Ya, dan kisah mereka berdua di pulau itu juga sudah selesai
sekarang, pak. Beberapa tahun lagi, mungkin kita tidak bisa menyaksikan
kondisi alamnya yang seperti dulu. Mungkin sudah ada resort mewah dengan
tawaran wisata alam yang memang indah di sana”, kata saya. (***)
Diambil dari rak otak lelaki : noesaja.wordpress.com
Posted with WordPress for BlackBerry.
No comments:
Post a Comment