Wednesday, May 20, 2009

Simpatik


RASA SIMPATIK biasanya selalu menghasilkan sesuatu yang positif. Sikap simpatik bisa muncul karena ketertarikan fisik, kharisma seseorang, sikap hidupnya, kebijakan populis yang digulirkan atau karena keramahan yang terpancarkan. Kita juga bisa bersimpati pada seseorang yang teraniaya atau orang yang terus menerus disudutkan karena situasi.

Saya pikir, SBY bersama Partai Demokrat-nya pintar memanfaatkan syarat-syarat di atas untuk memunculkan sikap simpatik publik. Hasilnya, pemilu 2009 ini adalah milik mereka! Paling tidak sesuai gambaran hasil survey cepat yang digelar beberapa lembaga survey nasional baru-baru ini. Tekanan-tekanan yang dilancarkan lawan politiknya, malah berbalik jadi senjata paling ampuh untuk meraih simpati massa. Tidak hanya itu saja. Harus diakui SBY memiliki wibawa dan kharisma yang tinggi dengan sikap kenegarawannya yang menyiratkan sebagai orang yang bijaksana. Bicara dan sikap tubuhnya diatur sehingga memunculkan kesan simpati bagi orang yang melihat.

Walau besar dari lingkungan militer, sosok SBY menurut saya adalah orang yang demokrat. Ia menghargai perbedaan sikap, prinsip dan pandangan. Sesuatu yang sulit diperoleh publik pada masa pemimpin-pemimpin sebelumnya. Termasuk di awal-awal era reformasi. Baik itu di zaman kepemimpinan Gusdur atau Megawati.

Menjelang pelaksanaan pemilu legislatif beberapa bulan lalu, Partai Demokrat bersama SBY sempat dituding memanfaatkan kebijakannya untuk meraih simpati masyarakat. Mulai dari program BLT hingga penurunan harga BBM yang hingga tiga kali dalam satu bulan. Tudingan itu sepertinya juga tidak salah. Kebijakan yang digulirkan memang populis. Orang gampang menebak bahwa itu dilakukan untuk meraih simpati massa menjelang pemilu. Tapi orang yang berseberangan dengannya mungkin lupa. Kebijakan seperti itulah yang sebenarnya diinginkan masyarakat. Terutama soal kebijakan penurunan harga BBM. Persetan apa yang dilakukan sebenarnya adalah strategi untuk meraih simpati. Masyarakat memang sedang butuh kebijakan-kebijakan yang berpihak pada mereka. Di sisi ini SBY meraih simpati besar dari publik.

Tekanan-rekanan yang dilancarkan lawan politik terhadap kebijakan yang digulirkan, secara tidak langsung juga menjadi senjata paling ampuh untuk meraih simpati publik. SBY tidak melawan dengan melakukan tekanan politis seperti zaman orde baru. Ia membalasnya dengan kebijakan yang sifatnya nyata. Jurus itu terbukti ampuh untuk semakin memperbesar dukungan simpatik terhadapnya.

Sebuah jajak pendapat yang digelar sebuah stasiun televisi baru-baru ini terhadap 483 responden yang dipilih secara acak dari seluruh Indonesia, menempatkan SBY di urutan kedua sebagai tokoh dunia paling simpatik. Ia hanya berada satu urutan saja di bawah presiden kulit hitam AS pertama, Barrack Obama. Untuk ukuran dunia, jajak pendapat yang dilakukan itu, ukurannya tentu masih absurd sekali karena seluruh responden berasal dari dalam negeri. Tapi cukup bisa untuk diperhitungkan mengingat responden kita menempatkan sosok sang presiden di urutan tertinggi kedua. Jauh di atas ketenaran sosok Sukarno (5), Suharto (7) atau salah satu negarawan peraih nobel, Yaser Arafat (10). Sosok SBY juga dianggap masih lebih simpatik daripada Paus Johanes Paulus II (9) atau mantan presiden AS Bill Clinton (3).

Dengan sikap simpatiknya juga pada pemilu pilpres 2004 lalu, SBY berhasil meraih kepercayaan masyarakat. Saat itu SBY menempatkan diri atau ditempatkan (?) sebagai sosok yang teraniaya, orang yang terus menerus disudutkan oleh presiden sebelumnya, Megawati Sukarnoputri. Ia maju sebagai calon presiden walau perolehan suara partainya hanya sekitar 3 persen saja dari total suara partai secara nasional. SBY mampu meyakinkan partai Golkar yang saat itu jadi pemenang pemilu untuk mendukungnya. Hasilnya, SBY Berhasil!!

Soal sikap simpatik ini, bisa dilihat juga dari perjalanan partai Golkar. Partai besar yang dihujat habis-habisan pada era awal reformasi. Partai itu sempat dianggap sebagai penyebab hancurnya tatanan negara dan suburnya praktek KKN selama masa orde baru. Saat itu, Golkar benar-benar berada pada posisi yang tersudutkan. Gelombang dan nada-nada protes untuk membubarkan partai itu, bahkan sampai membuat banyak kader dan fungsionarisnya kocar-kacir cari selamat sendiri-sendiri. Ada yang mendirikan partai baru dan berharap bisa cuci tangan. Ada juga yang nyebrang ke partai lain agar bisa masuk dalam jajaran partai yang disebut sebagai partai reformis…

Ketua umum-nya saat itu, Akbar Tanjung bahkan sampai harus berjuang habis-habisan untuk membuat Golkar bisa terus eksis. Salah satunya dengan merubahnya jadi partai politik dengan nama partai Golkar. Saat itu, Golkar atau partai Golkar benar-benar berada dalam posisi yang tersudutkan/ teraniaya. Prediksi banyak kalangan politisi, partai Golkar bakal “habis” dalam pemilu 1999. Tapi apa yang terjadi? Partai Golkar ternyata mampu bertahan dan menjadi partai nomor dua tertinggi yang meraih dukungan publik. Mereka meraih 18 % (kalo gak salah ingat J ) suara di bawah PDIP yang sedang “terang-terang”-nya saat itu dengan 30 % suara secara nasional!!

Kenapa bisa begitu? Salah satu jawabannya karena partai Golkar mampu dengan “sukses” menempatkan diri sebagai partai yang teraniaya dan meraih simpati publik. Kondisi seperti itu terus berlanjut dalam pemilu 2004. Partai Golkar yang masih terus disudutkan oleh rezim pemerintahan Megawati, malah meraih simpati publik yang berlipat. Saat itu, publik juga sudah mulai gerah dengan jalannya pemerintahan di bawah Megawati yang cenderung tidak berpihak pada mereka.Kebijakan-kebijakan yang diambil cenderung membuat orang lapisan bawah tambah susah. Apalagi masa krisis ekonomi belum kunjung reda. Partai Golkar mendapat simpati karena tekanan-tekanan pemerintah saat itu dan harapan akan stabilitas ekonomi seperti yang pernah dirasakan rakyat Indonesia zaman orde baru lalu. Hasilnya, Mereka muncul sebagai pemenang pemilu dengan perolehan suara mencapai hampir 23 % secara nasional!! Fantastik? Mungkin saja, inilah kehebatan sikap simpatik!!

Tahun 2009 ini, rasa simpatk itu jugalah yang menggusur partai Golkar dari singgasana uruitan pertama parpol peraih suara terbanyak. Ramalan tentang hasil pemilu ini, sebenarnya sudah berkali-kali dilansir oleh berbagai lembaga survey yang hanya menempatkan partai Golkar di urutan kedua dan ketiga secara nasional dalam pemilu 2009. Kenapa?

Ada beberapa faktor yang menyebabkannya. Salah satunya, rasa kepercayaan masayarakat terhadap wakil-wakil rakyat mereka yang bernaung di bawah partai Golkar mulai luntur. Gencarnya pengusutan dan penyidikan yang dilakukan KPK terhadap wakil-wakil rakyat di lembaga legislatif, secara tidak langsung ikut mengurangi rasa simpatik dan harapan keperayaan masyarakat tentang perubahan yang bisa dilakukan melalui suara wakil rakyat di DPR, termasuk partai Golkar.

Faktor lainnya, penggalangan rasa simpatik publik yang terlambat dilakukan. Beberapa isu besar dan kebijakan populis pemerintah sudah diklaim sebagai milik partai lain sebagai keberhasilan mereka. Kinerja para kader Golkar di pemerintahan juga tertutup oleh selimut kharisma SBY yang begitu besar di mata masyarakat. Sebagai partai koalisi pemerintah, performa partai Golkar 5 tahun belakangan ini juga tersamar oleh bayang-bayang partai demokrat yang mulai menjelma jadi partai besar. Hasilnya gampang ditebak seperti juga jajak-jajak pendapat yang digelar sebelum pemilu legislatif digelar ; perolehan suara partai Golkar merosot..

Rasa simpati sebenarnya merupakan sesuatu hal yang muncul secara naluriah dan alami. Sama halnya dengan rasa suka kita terhadap suatu barang atau orang lain. Rasa itu bisa muncul karena ketertarikan fisik, kharisma seseorang, sikap hidup, kebijakan yang digulirkan atau keramahan yang terpancarkan… Namun, rasa simpati yang naluriah dan alami itu, dapat juga dimunculkan dengan upaya yang sengaja dibuat. Untuk hal yang satu ini, SBY dan partai Demokrat memang sedang berhasil menggalang simpati masyarakat Indonesia…` (bintoro suryo)

No comments: