Thursday, September 18, 2008

Kesetiaan Sampai Mati

Di kaki gunung Raung (3332 meter dpl), perbatasan Situbondo - Banyuwangi, pernah hidup seorang wanita tua. Tanpa air, saudara atau tetangga. Orang desa yang tinggal di jarak 10 kilometer dari tempatnya, menyebut wanita itu sebagai kuncen gunung Raung. Wanita tua yang hidup menyendiri bersama makam suaminya.

Namanya memang tidak setenar mbah Marijan yang jadi kuncen gunung Merapi. Keberaniannya juga tidak pernah teruji seperti mbah Marijan yang jumawa menantang letusan gunung saat Merapi meletus. Tapi kebulatan tekadnya pada kesetiaan sempat membuat hati saya terenyuh.

Mbah Serani. Seorang wanita berusia 78 tahun. Itu adalah usia saat saya berkunjung ke kediamannya yang sangat sederhana 12 tahun lalu. Orang-orang desa yang bernama Sumber Wringin, sering menyebut lokasi tempat tinggal mbah Serani sebagai pondok motor. Maksudnya, di sinilah lokasi terakhir kendaraan roda dua bisa digunakan di jalan makadam (bebatuan, red) yang mendaki. Selanjutnya adalah jalan setapak kecil yang hanya bisa dilalui dengan berjalan kaki.

Tidak ada sumber mata air di sana, termasuk sumur. Air memang sesuatu yang langka bagi warga yang tinggal di kaki gunung tersebut. Untuk mendapatkan air, warga harus “turun” hingga ke desa tetangganya. Termasuk juga mbah Serani. Sekali waktu ia “turun” untuk mengambil persediaan air. Namun, tak jarang ada juga warga yang berbaik hati mengantarkan persediaan air untuknya. Apa yang dilakukan si-mbah di tempat terpencil seperti itu? Ia mengaku punya tugas menjaga gunung Raung bersama suaminya. Pun, saat sang suami sudah meninggal. Oh ya, saya hampir lupa mengatakan bahwa si-mbah tidak bisa berbahasa Indonesia. Ia cuma kenal satu bahasa, bahasa Madura.

Ada cerita yang membuat saya trenyuh. Suatu saat seorang warga yang cukup berbaik hati, datang menyambangi mbah Serani dan suaminya sambil membawa persediaan air dan bahan makanan ala kadarnya. Beberapa waktu kemudian, ia datang lagi. Tapi yang ditemui cuma si-mbah sendiri. Saat ditanyakan kemana suaminya, si-mbah menjawab sedang beristirahat sambil menunjuk gundukan tanah persis di depan pondok rumahnya. Makam sang suami! Ia ternyata menggali sendiri lubang makam saat suaminya meninggal, kemudian mengebumikannya di sana.

Saat berada di sana, saya jadi tahu. mbah Serani ternyata tidak pernah mengganggap suaminya meninggal. Beberapa kali, di tengah aktifitasnya menyapu halaman atau mencari kayu bakar, ia mendatangi makam suaminya. Mengajak berbicara kemudian menepuk-nepuk gundukan tanah yang sudah keras tersebut. Begitu terus, berkali-kali.

Melalui jasa seorang warga setempat yang saya bawa sebagai penerjemah bahasa Madura, saya sempat ngobrol bersamanya. Ada dua hal yang membuat ia tetap tinggal menyendiri di sana. Pertama, “tanggung jawab”-nya untuk menjaga gunung Raung. Kedua, keinginannya untuk tidak mau berpisah dengan sang suami.

Kalau ingat beliau, kadang saya juga jadi ingat film Dantes Peak. Film yang dibintangi Pierce Brosnan tentang letusan gunung berapi di sebuah kota kecil di Amerika Serikat. Walikota daerah kecil yang terletak persis di kaki gunung tersebut, punya ibu yang tinggal menyendiri. Persis di kaki menuju puncaknya. Pierce Brosnan adalah seorang ahli vulkanologi yang bisa mendeteksi dengan tepat bahwa gunung tersebut akan segera meletus. Saat letusan gunung terjadi, ibu tua tersebut ternyata tetap tidak mau meninggalkan kediamannya. Alasannya sederhana. Ia tidak ingin meninggalkan kenangan yang sudah dibangun bersama almarhum suaminya.

Rada mirip, tapi beda. Walau sama-sama tinggal di gunung yang masih aktif, mbah Serani mungkin belum pernah merasakan letusan yang terjadi di gunung Raung. Satu lagi, yang satu adalah kisah fiksi ilmiah bertema disaster. Sementara yang di gunung Raung adalah nyata. (bintoro suryo)

Contact person :
noe_saja@yahoo.co.id

No comments: