Saturday, July 7, 2007

nanar saja..


“Siang ini, aku hanya bisa menatap nanar apa yang terhidang di meja makan. Harga BBM yang melambung tinggi benar-benar membuatku harus berpikir keras untuk ikhtiar mencari tambahan uang dapur…”

Hari ini, istriku Murni hanya menyediakan satu piring nasi putih, empat potong tempe goreng dan daun singkong rebus untuk makan kami berdua. Tidak lebih… Tak terasa ada buliran hangat yang mengalir di pipi. Hasil kerja mengais sampah sehari-hari, rasanya memang cukup sulit untuk menghadapi kenyataan BBM naik!! Apalagi harus memikirkan usia kandungan Murni yang kini memasuki bulan ketujuh. Rasanya mau pecah kepalaku!!

Hartoyo, juragan penampung barang-barang bekas tempat sandaran hidup selama ini, selalu mematok harga pasti yang jauh dari menyenangkan hati. Aku bukan tidak ingin berontak. Tapi resikonya, barang -barang bekasku jadi sulit terjual. Hartoyo memang satu-satunya juragan barang bekas di lokasi tempat tinggalku ini. Berpindah ke lain juragan, hampir mustahil dengan ekonomi sulit seperti ini. Ongkos transport mungkin lebih mahal dari dagangan barang bekas milikku. Mengelola sendiri, lagi-lagi terbentur dengan kucuran modal yang tidak sedikit.


Dari kamar di gubuk kecilku, kulihat Murni rebah. Entah tidur atau melamun. Tapi yang jelas, santap siangnya belum terjamah karena menungguku pulang. Setengah berjingkat, kudekati dia. Tertidur… Hanya raut wajah kosong dengan perut yang semakin hari semakin membesar yang terlihat. Aku memandang lama perut besar Murni yang berisi jabang bayi benihku. Pria atau wanita aku tidak peduli. Kondisi memang membuatku begitu. Mendeteksi kelamin lewat USG adalah suatu hal yang tidak pernah terbayang. Aku percaya Tuhan akan memberikan yang terbaik bagiku sebagai penerus kehidupan dan keturunan.

“Abang sudah pulang?” teguran halus Murni membuyarkankan pikiranku yang seperti meneropong isi dalam perutnya.Tidak ada yang keluar dari bibirku, selain seulas senyum. Dengan menggapai tangan wanita yang kusayang, aku hanya memberi isyarat untuk menemani makan siang…



“ Ini pinjaman terakhir yang bisa kuberikan. Hutangmu sudah terlalu banyak Bur”.. ucapan setengah menghardik juragan Hartoyo, benar-benar menyengat emosi. Tapi apa yang bisa kulakukan karena padanyalah selama ini aku bergantung hidup. Memang susah jadi seorang pengais barang bekas sepertiku. Akhirnya aku hanya bisa mengiyakan saja sembari berlalu. Satu lembaran lima puluh ribu dari si tua Hartoyo, rencananya akan kugunakan untuk ongkos urut Murni pada bu Sri, dukun beranak yang tersohor di sini. Belakangan Murni memang mengeluhkan sesuatu yang aneh pada kandungannya. Ketika dibawa ke Bu Sri, ada kecenderungan istriku mengalami kehamilan sungsang. Rencananya, malam ini adalah kedatangan kedua kami ke rumah dukun beranak Sri.

Gunungan sampah, jadi pemandangan lumrah yang menemani perjalananku ke rumah sore ini. Kondisinya hampir tidak berubah seperti tiga tahun lalu, saat aku memutuskan kehidupan baru bersama Murni di kota ini. Kota yang menurut orang-orang di kampungku bisa menyulap kehidupan jadi lebih baik. Tapi kenyataannya, di sini aku hanya sebagai seorang pemulung. Ijazah SMA milikku hampir tidak ada harganya di tengah kerasnya persaingan hidup.

Dari kejauhan kulihat bang Horman, pemulung lama di sini berteriak-teriak sambil melambaikan tangan ke arahku. Sepertinya ada sesuatu yang ingin diperlihatkan. Aku segera lari mendekat.

“Bur, kau lihatlah itu..lihat” ujung telunjuk bang Horman terus menunjuk-nunjuk ke arah sesuatu yang sepertinya kepala bayi. Saat kudekati dan kusingkap menggunakan kayu ranting, ternyata memang kepala bayi. Bukan hanya kepala!!. Saat kusingkap lagi sampah yang berada di atasnya, terlihat wujud yang masih lengkap. Tapi sayang, sudah tanpa nyawa!!

Entah sudah yang ke berapa kali kami para pemulung menemukan mayat bayi di tumpukan gunung sampah di TPA ini. Nyawa orok-orok tersebut seperti sudah tidak ada artinya. Entah kenapa dibuang dan mengapa begitu tega.. aku jadi teringat sendiri dengan janin milikku yang kini dikandung Murni. Sekonyong-konyong, ingin rasanya cepat sampai ke rumah. Memandang dan meraba dengan sepenuh hati calon bayiku di perut Murni. Mengabarinya agar tidak lagi gusar karena kini aku sudah mengantongi uang untuk ongkos ke dukun beranak Sri. Ah… kenapa lagi-lagi ada orang yang tega berbuat seperti ini??

.


Aku sudah bergegas kembali menuju rumah. Bang Horman sudah mengabari petugas TPA dan polisi untuk penemuannya. Rasanya sudah tidak sabar lagi melihat wajah berseri-seri Murni yang tentu gembira dengan lembar lima puluh ribuan yang kubawa. Sakit di perutnya akibat jabang bayi yang sungsang, mungkin sudah bisa teratasi malam ini. Aku harap Murni bisa tidur nyenyak setelah diurut bu Sri. Tapi…

“auu!!”…. Sebuah paku 8 inchi menembus sandal jepit bututku. Akibat terburu-buru, aku menginjak kayu broti bekas yang memiliki banyak paku. Darah terlihat keluar dari tumit kakiku. Cukup nyeri dan perih rasanya. Kududukkan saja pantatku di atas tumpukan sampah di pinggir jalan. Darah segera kuseka dan kusumbat menggunakan sebuah kertas bekas yang masih lumayan putih dan bersih. Seraya bergumam bahwa ini adalah rezeki tambahanku hari ini selain hasil menjual barang bekas ke juragan Hartoyo, dan selembar lima puluh ribuan pinjaman. Walau nanar memandangi luka, aku cukup ikhlas mendapat “rezeki” tambahan ini... Jalanku sekarang memang agak terpincang-pincang. Tapi hatiku tetap gembira karena membawa kabar baik buat istriku, Murni.


Aku hampir tiba di rumah. Tapi kulihat Rosma, istri tetanggaku histeris. Sambil berlari, ia berusaha mengabari setiap orang yang ditemuinya di jalan dengan satu kabar, KEBAKARAN!!!

“Kebakaran dimana Ros? Rumah siapa yang terbakar?” Teriakku menjawab kabar Rosma.
Rumahmu Bur, rumahmu!! Istrimu masih di dalam terkurung api!!

Astagfirullah... Kebakaran di rumahku. Walau terseok karena luka di tumit, aku berusaha lari sekencang-kencangnya. Yang terpikirkan hanya satu. Murni dan bayi yang dikandungnya. Mudah-mudahan semua belum terlambat…

Dengan nafas tersengal-sengal, aku sudah berada di depan rumah. Kulihat api begitu mudahnya membakar dinding-dinding rumahku yang memang terbuat dari potongan kayu palet bekas dan triplek sisa bangunan. Aku dengar suara Murni terus berteriak-teriak dari dalam rumah. Tapi, api tidak mau kompromi. Terus membesar dan memakan hampir seluruh bagian rumah. Beberapa tetangga kulihat berusaha membantu dengan menyiramkan air dari sumur umum yang terletak di samping rumah. Semua berusaha membantu memadamkan nyala api yang terus menggila. Tapi, Murni masih di dalam saat ini!!

“Jangan nekad Bur.. sabar”, sebuah rangkulan keras menahan keinginanku menerobos masuk ke dalam nyala api yang membesar. Bang Horman ternyata sudah ada di sini dan berusaha menahan langkahku.

“Tahan sebentar lagi Bur, Pardi dan Fuad sedang berusaha membuka jalan dari samping rumah. Mudahan-mudahan Murni masih bisa diselamatkan” ucapan bang Horman sedikit menahan emosiku untuk nekad menerobos masuk. Aku tidak menjawabnya. Hanya melihat nanar saja amuk api yang terus menghabisi rumah tinggalku. Mungkin juga Murni dan calon jabang bayiku…


Sore menjelang magrib, aku hanya bisa tepekur dalam. Di depanku ada jasad Murni setengah terbakar. Pardi dan Fuad memang berhasil mengeluarkannya dari dalam rumah. Tapi sudah tanpa nyawa. Murni meninggal akibat kesulitan bernafas. Sebagian luka bakarnya akibat tertimpa tiang broti penyangga atap. Rumah gubuk yang selama tiga tahun terakhir kami diami bersama, ludes bersama kepergiannya.

Seperti tadi siang, aku masih melihat perut Murni yang mengandung janin bayiku. Masih sama besarnya. Hanya, aku tidak merasakan lagi gerakan-gerakan dari dalam perutnya, yang selama ini selalu membuatku bangga karena akan jadi seorang ayah…. Tanpa sadar, aku merogoh kantung celana kumalku. Ada lembaran lima puluh ribu di sana. Kulirik sekilas dan yang terlihat hanya nanar saja. Kuyakinkan diri bahwa Tuhan sayang pada Murni dan calon anakku. Ia tidak ingin melihat mereka terus menanggung beban kesulitan hidupku yang belakangan ini terasa makin berat saja… (bintoro suryo)


No comments: