Thursday, April 5, 2007

kugenggam tanganmu...



ditulis berdasarkan true story katanya...
really touched my heart

-Ia tak pernah melepaskan tanganku, dan aku pun tak akan melepaskan
genggamannya-

Aku dan istriku mulai berpacaran saat kami sama-sama kuliah di
universitas negeri di Jawa Tengah. Ia tergabung dalam kelompok
mahasiswa pencinta alam yang aktif mengadakan kegiatan outdoor,
seperti arung jeram, hiking atau mendaki gunung. Istriku adalah tipe
wanita yang tangguh, kuat dan gemar bertualang. Ia memiliki kulit
sawo matang, tubuh atletis, rambut ikal sebahu, mata jernih dan
senyum hangat. Ia juga ketua senat mahasiswa saat aku semester
lima . Di sanalah kami bertemu. Aku jatuh cinta kepadanya. Memang
bukan pada pandangan pertama, tapi tak perlu waktu lama bagiku untuk
memutuskan bergabung dengan kelompok pencinta alam yang sama, dan
mengikuti upacara pelantikan yang dilakukan dengan mendaki Gunung
Slamet.

Rasanya tidak gombal-gombal amat kalau aku bilang, demi cintaku,
gunung kan kudaki, lembah kan kuturuni dan sungai kuseberangi.
Karena berbeda dengan istriku, badanku tinggi kurus, berkulit pucat,
tidak jago olahraga apapun, dan menderita asma kambuhan. Tapi aku
nekat mengikuti upacara pelantikan itu dengan memalsukan surat
dokter yang menyatakan bahwa aku baik-baik saja. Kupikir, karena
kami pemula dan tidak benar-benar melakukan pendakian sampai puncak,
tidak akan ada kesulitan yang berarti.

Sialnya, hari itu turun kabut. Udara tiba-tiba menjadi sangat dingin
dan tingkat kelembaban meningkat. Napasku sesak sekali hingga aku
tak sanggup berjalan. Aku sengaja tidak membawa obatku untuk
membuktikan bahwa aku sehat. Aku panik. Aku berusaha teriak, tapi
hanya bisa megap-megap seperti ikan mas koki kekurangan air.

Aku tertinggal. Kabut yang tebal membutakan pandangan. Tak
seorangpun menyadari aku terpisah dari kelompok. Aku pun berjongkok
dengan badan yang kaku dan tersengal-sengal kehabisan napas. Mungkin
karena kabut makin tebal, kelompokku juga ikut berhenti, tapi mereka
berdua terlalu jauh dari jangkauanku. Saat itulah istriku turun
untuk menyisir. Awalnya aku tak tahu bahwa itu dirinya. Aku hanya
sempat melihat jaket plastik kuning cerahnya bergerak mendekat. Lalu
pandanganku mulai kabur.

Entah bagaimana ia melihatku. Yang jelas, aku merasakan tangannya
menggenggam tanganku. Ia berbicara, tapi tak kumengerti. Aku tak
ingat juga berapa lama kami berada disitu, diam, berpegangan tangan,
menunggu kabut menipis. Yang kuingat, beberapa orang kemudian
mengangkatku ke atas tandu dan menggotongku turun. Saat obat sudah
kuminum, baru perlahan-lahan aku mendengarnya berkata, "Tak apa-apa,
aku masih menggandeng tanganmu."

Dan benar, ia menungguiku, tak pernah melepaskan tangannya. Saat itu
aku tahu bahwa aku sudah menemukan teman hidupku.

Kami menjalin hubungan yang sangat erat sepanjang masa kuliah, dan
menikah tak lama setelah lulus kuliah. Masa awal pernikahan tidaklah
mulus. Aku berganti-ganti pekerjaan, dan kami sering kekurangan uang
untku membayar kontrakan rumah. Istriku yang semula diam dirumah
mengurus empat anak kami yang masih kecil-kecil, terpaksa turun
tangan dengan membuka usaha kecil-kecilan.

Nah, sudah kubilang bahwa ia wanita yang ulet dan tangguh. Usahanya
mulai berkembang, dan aku pun berhenti dari pekerjaanku untuk
membantunya. Lambat laun usaha itu menunjukkan hasil. Mulailah kami
bisa merasa tenang dengan perekonomian keluarga kami.

Bila ada orang yang menanyakan resep sukses keluarga kami yang
menikah di usia muda tanpa bekal harta, tapi anak-anak kami bisa
kuliah di universitas negeri, aku akan menjawab, "Aku dan istriku,
kami selalu berpegangan tangan."

Itu benar. Ia memegang tanganku bila aku kehilangan pekerjaanku. Ia
memegang tanganku bila kami kekurangan uang. Aku memegang tangannya
bia ia merasa sulit tidur. Aku memegang tangannya ketika ia
kesakitan saat melahirkan anak-anak kami.

Kami selalu berpegangan tangan. Anak-anak kami pun melakukannya. Ini
semacam ritual keluarga. Pegang tanganku berarti, aku akan
bersamamu. Pegang tanganku selama kau memerlukanku. Jangan khawatir.

Aku juga memegang tangannya ketika ia divonis mengidap kanker leher
rahim. Aku memegang tangannya ketika badannya mulai mengurus. Aku
memegang tangannya ketika wajahnya menjadi sangat pucat karena
pendarahan terus-menerus. Aku memegang tangannya ketika ia tidak
bisa lagi mengontrol pembuangan air besar dan air kecil akibat
terapi sinar. Aku memegang tangannya saat ia kesakitan. Aku memegang
tangannya saat satu-satunya obat yang dimasukkan ke tubuhnya adalah
morfin.

Aku masih memegang tangannya saat kami berdua berkumpul di sekitar
ranjangnya, dan berdoa rosario . Aku masih memeganga tangannya saat
pastur mengoleskan minyak ke dahinya, mengucapkan kata-kata yang
bagiku hanya seperti dengungan lebah-lebah madu. Aku masih memegang
tangannya saat pegangannya melemah seolah ia tak mau lagi bersamaku.
Aku masih memegang tangannya saat hymne requim dinyanyikan,
mengiringi tubuhnya yang beku...

Aku menarik diri sesudahnya. Tidak keluar kamar, tidak bekerja,
tidak bercukur. Aku mulai jarang mandi. Entah kapan terakhir kali
aku makan nasi. Anak-anakku datang silih berganti. Berbicara ini-
itu, dan membujukku begini-begitu. Terakhir mereka mendatangkan
psikiater dan perawat yang tinggal setiap hari hanya untuk
melayaniku. Tiap malam, menu ku sebelum tidur adalah obat-obat
penenang seperti clobazam dan terkadang diazepam.

Hari berganti hari, minggu berganti minggu. Mungkin dua bulan sudah
berlalu. Tapi buatku, seolah aku sudah berumur seratus tahun. Tua
dan lelah. Saat ulang tahun perkawinan kami yang ketiga puluh lima ,
aku nyaris seperti mayat hidup. Rasanya aku tidak sanggup menghadapi
hari esok. Anak-anakku datang untuk memaksaku tinggal bersama
mereka. Tanpa menunggu persetujuanku mereka mengangkuti barang-
barangku.

Aku cuma diam. Ketika mereka membongkar kamar, sehelai foto terjatuh
dari album lama. Foto di Gunung Slamet. Tak apa-apa, aku masih
menggandeng tanganmu. Itu adalah ucapan yang dulu ia katakan. Air
mataku jatuh bercucuran. Istriku masih menggandeng tanganku hingga
kini. Aku merasakan sentuhan tangannya hangat mengaliri jiwaku. Aku
bersyukur pada Tuhan atas cinta yang ia tumbuhkan dia antara kami.
Pada waktu itu aku mengerti. Cinta bukan untuk ditangisi, melainkan
untuk memberi arti pada hidup, lalu untuk melanjutkannya kembali.

Aku kembali ke rumah kami yang lama. Aku mengajar anak-anak sekolah
Minggu. Anak-anakku masih sering datang ebrkunjung. Dan kami masih
selalu berpegangan tangan.

(Seperti diceritakan kepada Andrew K. Penulis tinggal di Semarang)



1 comment:

noesaja said...

CUKUP MENYENTUH...