Monday, October 5, 2009

Mata Rantai Yang Hampir Hilang



AH, PENGETAHUAN saya tentang negara-negara di dunia ternyata masih payah. Saya baru tahu ada negara bernama Tuvalu beberapa waktu lalu.

Suatu hari bulan April, seorang rekan kerja saya, Nur Eka Devi menyerahkan laporan peliputan tentang penangkapan sebuah kapal penyelundup oleh jajaran Direktorat Polair Polda Kepri. Kapal itu berbendera Tuvalu.

“ Emang ada negara Tuvalu?” Tanya saya saat itu

“Ada mas, kata polisinya emang Tuvalu,” jawab Devi sekenanya.

“ Ah yang benar.. bukannya Panama, Honduras, Bahama atau Thailand?”

“Nggak mas, benar kok Tuvalu”, jawabnya lagi.

“Emang Tuvalu itu negara dari benua mana sih” Tanya saya penasaran.

“ Nah itu dia, aku juga baru dengar masalahnya”, jawab Devi malu-malu.

“Gini aja, coba kita searching dulu di google, Tuvalu itu beneran sebuah negara atau tidak. Trus kalau benar negara, adanya di benua mana?” ujar saya mencoba cari jalan tengah.

Saya dan Devi kemudian sama-sama mencari informasi tentang Tuvalu menggunakan search engine google. Terus terang, nama Tuvalu bagi saya terasa begitu asing ,aneh tapi juga bikin penasaran.

“Ok, benar Tuvalu itu sebuah negara. Posisinya di sekitar samudra Pasifik. Negara kecil rupanya ya”, kata saya begitu mendapat sebuah artikel yang menjelaskan tentang kata kunci Tuvalu yang saya masukkan di search engine.

Tidak banyak informasi yang saya peroleh tentang Tuvalu di artikel itu, tapi cukup untuk menjelaskan bahwa Tuvalu adalah benar-benar sebuah negara. Negara itu masuk dalam persemakmuran Inggris Raya. Luasnya hanya 26 kilometer persegi (10 mil ²). Dilihat dari peta, posisinya berada di sebelah timur ke arah atas negara Papua Nugini. Sementara benderanya, sepintas mirip dengan bendera negara Australia, tapi ada sembilan bintang yang merepresentasikan jumlah pulau yang dimiliki mereka.

Tuvalu masih masuk negara kategori miskin. Hampir tidak ada sumber daya alam yang bisa dimanfaatkan di sana kecuali pariwisatanya. Salah satu penghasilan terbesarnya juga baru bisa diraih di era internet. Tuvalu yang punya kode internasional tv, cukup pintar memanfaatkan peluang bisnis. Saat ini, hampir semua situs dunia yag berakhiran dot tv, sudah pasti membayar ke negara itu.

Sejak 1999, Tuvalu telah mampu menghasilkan lebih dari beberapa juta dolar setahun untuk pemasaran internet dengan nama domain melalui perusahaan Amerika, TV Corporation. Seperti alamat www.nbc4.tv ; www.china.tv yang telah terjual selama jutaan dolar. Pendapatan lain Negara itu adalah dari sewa guna usaha kode area “900″ -nya.

****

Rasa penasaran pada Tuvalu masih terus ada. Saya jadi membayangkan bagaimana rasanya hidup di negara yang berada di tengah-tengah samudra luas. Apakah penduduk di sana juga bisa hidup normal? Bagaimana pemenuhan kebutuhan hidup mereka yang tidak bisa dilakukan secara mandiri di negara itu. Bagaimana juga infrastrukturnya untuk akses hubungan dengan negara tetangga? Ya, banyak pertanyaan yang ada di kepala saya. Apalagi, Negara tersebut tergolong aneh bila dilihat dari peta. Bentuknya hanya serupa rangkaian rantai yang agak berbelok. Untuk memenuhi rasa puas, akhirnya saya cari lagi artikel-artikel tentang negara itu.termasuk serangkaian penelitian ilmiah yang dilakukan beberapa ahli untuk menjelaskan tentang kondisi geografis di sana.

Tuvalu, sebelumnya dikenal sebagai Kepulauan Ellice. Sebuah negara kepulauan Polinesia yang terletak di Samudra Pasifik tengah antara Hawaii dan Australia. Para tetangga terdekatnya adalah Kiribati, Samoa dan Fiji. Negara itu terdiri dari 4 pulau karang atol dan 5 pulau atol kecil lainnya . Bentuk negaranya melengkung kea rah barat laut-tenggara dalam rantai panjang 676 km terletak di tepi barat luar Polinesia. Negara kecil itu memiliki total luas tanah hanya 26 kilometer persegi (10 mil ²). Penduduk pada bulan Juli 2005 diperkirakan 10.441 dengan 5.394 tinggal di Funafuti, Ibukota Tuvalu.

Tanah di kepulauan Tuvalu sangat rendah. Posisinya seperti berbaring dengan atol karang yang sempit. Tanah di sana hampir tidak dapat digunakan untuk pertanian. Hampir tidak ada juga pasokan yang dapat diandalkan untuk air minum. Sementara puncak tertingginya hanya lima meter (16 kaki) di atas permukaan laut. Funafuti adalah atol terbesar dari sembilan pulau-pulau dan atol karang yang membentuk pulau vulkanik ini dalam bentuk menyerupai rantai.

Karena ketinggian yang rendah, pulau-pulau yang membentuk kepulauan itu terancam oleh kenaikan permukaan laut di masa mendatang. Sebagai akibat pemanasan global, penetrasi panas ke laut mengarah ke ekspansi termal air; efek ini, ditambah dengan pencairan gletser dan lembaran es, mengakibatkan kenaikan permukaan laut. Kenaikan permukaan laut tidak seragam secara global tetapi akan bervariasi dengan faktor-faktor seperti arus, angin, dan pasang-dan juga dengan tingkat pemanasan yang berbeda, efisiensi sirkulasi laut, dan atmosfer regional dan lokal (misalnya, tektonik dan tekanan) efek . Negara kecil ini mulai melihat hasil dari eefcts dipercepat kenaikan permukaan laut; efek ini termasuk erosi pantai, intrusi garam, dan laut banjir. Penduduk di sini kemungkinan akan mengevakuasi Negara tetangganya seperti Selandia Baru, Niue atau pulau Fiji Kioa.

Shuichi Endo, seorang aktivis lingkungan Jepang telah memotret 10.000 bagian-bagian geografisTuvalu di hampir seluruh daerah yang didiami populasi manusia. Hal itu dilakukannya sebagai upaya untuk menarik perhatian dunia terhadap ancaman pemanasan global di Tuvalu.

Begini Kata Endo :

“Jika negara-negara industri seperti Jepang dan Amerika Serikat tidak memotong emisi gas rumah kaca, Tuvalu adalah salah satu bagian pertama di bumi ini yang akan menerima dampaknya. Warganya tidak akan lagi bisa tinggal di sini. Budaya mereka akan hilang, itu akan sangat menyedihkan. Di sini, orang tinggal selaras dengan lingkungan alam. Mereka tidak memancarkan karbon. Mereka hanya dampak, padahal kita dapat belajar banyak dari mereka. “

Tidak seorang pun benar-benar tahu, kemana warga Tuvalu akan pergi jika pulau-pulau mereka menghilang. Sebuah studi mengatakan : “Hilangnya kepulauan Tuvalu bisa terjadi dalam 50 tahun ini”.

Yang bisa diharapkan mungkin Selandia Baru. Negara itu punya kuota untuk menerima 75 orang warga Tuvalu per tahun di bawah kuota imigrasi daerah. Tetapi yang harus diingat, mereka tidak memiliki kebijakan yang eksplisit untuk menerima orang-orang kepulauan Tuvalu itu bila terjadi perubahan iklim yang ekstrim sehingga menghilangkan negara tempat tinggal penduduk di sana dalam waktu singkat!

****

Pernah baca buku “state of Fear karya penulis fiksi Michael Crichton? Kalau anda pernah baca dan percaya bahwa rangkaian fiksi yang dibalut dengan sangat baik sekali oleh Crichton, anda jelas bukan orang yang percaya tentang bahaya pemanasan global. Menurut saya, popularitas novel tersebut benar-benar hebat dan bisa berpengaruh besar terhadap pemahaman manusia dalam mengerti tentang bahaya pemanasan global. Biar fiksi, gaya tulisannya yang menggabungkan data ilmiah, bisa menghipnotis pembacanya sehingga mengganggap sebagai sesuatu yang nyata. Sama seperti saat kita membaca novel Dan Brown – Da Vinci Code.

Novel Crichton menantang konsensus yang banyak diyakini para ilmuwan bahwa pemanasan global terjadi akibat antropogenik dari dilepaskannya gas rumah kaca ke atmosfer. Jadi, apa penyebab pemanasan global versi Crichton? Pemanasan global dalam versi penulis fiksi tersebut merupakan buah konspirasi besar organisasi lingkungan di dunia yang memanipulasi isu global warming untuk mendapat kucuran dana internasional. Tapi pada kenyataannya, ancaman itu sendiri dianggap tidak pernah ada. Tapi, untuk membuktikan bahwa pemanasan global merupakan sebuah ‘realitas’, sebuah konspirasi disusun oleh organisasi lingkungan dunia dengan cara meledakkan bom nuklir yang punya daya ledak sangat besar sehingga mampu menghasilkan sebuah bencana tsunami!

Tapi, untuk mengerti tentang kondisi bumi yang rentan serta serta situasi yang bisa jadi penyebab pemanasan global, tak ada salahnya bila anda menyimak buku “the Weather Makers”. Saya sebenarnya tidak sedang berpromosi atau membuat sebuah resensi. Tapi menurut saya buku itu memang bagus.

Anda yang sudah membacanya, mungkin sudah banyak mendapat gambaran tentang apa dan bagaimana ancaman pemanasan global. Bagi yang belum, saya pikir tidak ada salahnya membaca buku karya Tim Flannely, seorang ilmuwan asal Australia tersebut.

Beberapa poin yang penting dalam buku itu seperti misalnya tentang inisiatif yang telah dijalankan manusia untuk mengatasi pemanasan global. Yang paling terkenal tentu saja Protokol Kyoto yang merupakan upaya kolektif terbesar sebagai wujud penentangan terhadap beberapa negara penghasil gas rumah kaca terbesar di dunia.

Flannery memang mengakui bahwa Protokol tersebut memang memiliki sejumlah kelemahan, termasuk di dalamnya target yang keterlaluan rendahnya untuk mengatasi masalah sebesar pemanasan global. Penolakan atas Protokol tersebut dijelaskan sebagai akibat dari ketakutan berlebih dari perusahaan-perusahaan multinasional atas dampak pemberlakuannya.

Dalam konteks Negara Tuvalu, warga di sana ternyata sangat gencar untuk terus mengkampanyekan hasil-hasil perundingan yang termuat dalam protocol Kyoto, walaupun masih ada beberapa poin yang dianggap sebagai kelemahan untuk mendesak negara-negara penghasil emisi terbesar di dunia untuk mau berpikir dan berbuat lebih banyak untuk masalah itu. Saya pikir itu wajar. Kita juga akan berlaku sama bila mendapati kondisi serupa dengan yang terjadi di Tuvalu. (****)