SAYA bisa bolak balik dari rumah ke kantor dua hingga tiga kali
sehari. Itu belum termasuk harus mondar-mandir dari rumah ke sekolah
anak. Frekuensinya bisa tambah jika ada urusan lain yang mendesak.
Maklum, selain sebagai karyawan, saya juga masih
nyambi sebagai supir pribadi untuk anak dan istri. Gaji saya nggak cukup untuk punya supir sendiri,
hehehe
Di jalan, biasanya ada saja yang membuat sebal. Pengendara (
maaf, bukan menggeneralisir, pen)
roda dua, misalnya. Jalanan Batam makin terasa sesak saja sejak
beberapa tahun terakhir. Pertambahan kendaraan roda duanya luar biasa.
Orang yang dulu mengandalkan transportasi umum, sekarang bisa dengan
mudah membawa pulang sepeda motor dari
dealer dengan beberapa
juta rupiah saja. Belum lagi yg roda empat. Pengendara yg dulu membawa
sepeda motor, mulai beralih pakai mobil. Tawaran DP murah yg
menggiurkan, membuat banyak yg tergoda.
Saya harus membiasakan diri ekstra hati-hati. Pengendara sekarang dan biasanya yang roda dua (
sekali lagi maaf, tidak bermaksud menggeneralisir, pen)
bisa saja menyalip saya dari kiri atau kanan jalan. Tergantung lajur
mana yang kira-kira memungkinkan bagi mereka. Jurus yg sama juga perlu
saya terapkan saat akan berusaha menyalip sebuah kendaraan lain. Saya
juga perlu ekstra hati-hati untuk itu. Rasanya, kok kadar etika
pengendara kita di jalan makin luntur saja.
Walaupun sudah mengambil posisi benar, menyalip dari sisi kanan, bisa saja ada pengendara roda dua yang
nyelonong ikut
nyalip persis di tengah-tengah pada saat kendaraan saya dan kendaraan yang akan saya salip berada dalam posisi sejajar!
Ini mengerikan. Bukan hanya bagi saya. Tapi juga bagi pengendara yang
melakukan hal seperti itu. Saya pernah hampir melindas kepala
pengendara roda dua yang melakukan aksi salip begitu. Mungkin niatnya
ingin seperti
Valentino Rossi. Tapi naas, justru
terpental persis di depan saya setelah sebelumnya menubruk bagian
belakang sebuah taksi yg berjalan di depannya. Beruntung saya sigap
banting setir. Kendaraan saya akhirnya cuma melindas kendaraannya saja
yang keburu melintang di tengah jalan.
Untuk kecerobohannya itu, saya harus merogoh kocek Rp. 1,5 juta.
Bemper samping kendaraan saya rusak akibat terpaksa melindas
kendaraannya!
Saya sebenarnya juga pernah mencoba memposisikan diri sebagai
pengendara roda dua di jalan. Pikir saya, ini akan membuat perjalanan
jadi lebih ringkas dan gesit. Tapi, akhirnya saya lebih pilih mengalah
begitu berbaur dengan ratusan pemotor yang bergerak seperti konvoi
mengejar waktu di pagi hari. Kecepatan sepeda motor hanya saya
geber sebatas 40 KM per jam. Itu pun dengan memilih berkendara di sisi pinggir jalan,
hehe
——————————————-
KEBIJAKAN pemerintah memberi lampu hijau bagi perusahaan otomotif ATPM
untuk menjual produknya secara besar-besaran beberapa tahun lalu,
benar-benar membuat revolusi di ruas-ruas jalan kita saat ini. Hampir di
seluruh ruas jalan kota-kota besar Indonesia menghadapi persoalan yg
sama. Peningkatan jumlah kendaraan di jalan-jalan dan juga kemacetan!
Jangan lagi bicara bagaimana kondisi ruas jalan Jakarta. Rasanya,
warga ibukota sudah harus dipaksa terbiasa dengan kondisi kemacetan yg
ada. Seorang kenalan malah sudah sampai pada keputusan mengakhiri
kariernya di sebuah perusahaan perkapalan asal Jepang yg ber-
home base di Jakarta. Padahal kariernya sudah dirintis sejak bertahun- tahun lalu di sana.
“Sudah
nggak sehat mas. Masuk kantor pukul 08.00 Wib, berarti kita harus sudah
start dari rumah subuh. Pulang sore dari kantor, kita sampai di rumah sudah malam. Begitu terus setiap hari”, katanya.
Ia akhirnya memutuskan bergabung dengan salah satu perusahaan sejenis
di Batam. Menurutnya Batam walau mulai macet, tapi masih lebih
manusiawi dibanding Jakarta.
Ya, masih manusiawi. Tapi sedang mengarah menuju tidak manusiawi jika tidak diatasi. Begitu pikir saya.
Di Manado, kota yang notabene hampir sama dengan Batam, saya harus
buru-buru ke bandara pukul 05.00 Wib untuk mengejar keberangkatan pukul
08.00 Wib. Beberapa rekan menyarankan begitu untuk menghindari kemacetan
yang biasanya terjadi pada pagi hari di sana. Pada kenyataannya, saya
memang bisa sampai di bandara dengan cepat. Cuma pesawatnya yang
delay hingga pukul 11.00 Wib siang, hehe.
Pesawat yang akan saya naiki mengalami keterlambatan kedatangan
karena juga melayani penerbangan di rute-rute lainnya. Ternyata, jumlah
konsumen penerbangan di Indonesia sudah semakin banyak sekarang ini.
Orang-orang juga semakin menginginkan yg cepat untuk bisa sampai ke
daerah tujuan.
——————————————–
BOOMING telepon pintar lima tahun terakhir ini, bikin perubahan
besar terhadap cara orang berkomunikasi dan mengakses informasi.
Semuanya serba cepat. Secara tidak langsung ini juga membiasakan kita
untuk jadi cepat. Fasilitas memungkinkan untuk itu dan sepertinya memang
dirancang begitu. Sadar atau tidak, kita sedang menjalani revolusi
dalam kehidupan.
Saking ingin cepatnya, saya juga harus mulai terbiasa di-PING
berkali-kali oleh beberapa rekan. Mungkin karena menganggap saya lambat
membalas
private message yang mereka kirimkan, hehe.
Atau, ada rekan yang begitu bertemu langsung menyampaikan sumpah
serapahnya ke saya. Gara-garanya, panggilan teleponnya yang masuk
berkali-kali ke ponsel saya tidak terangkat!
Sejak era telepon pintar ini, saya sebenarnya justru jadi jarang
menenteng atau membawa-bawa ponsel saat di kantor atau rumah. Ukurannya
yang relatif lebih besar dibanding ponsel generasi sebelumnya, membuat
rasa tidak nyaman saat dikantongi atau digenggam kemana-mana. Saya lebih
senang meletakkannya di laci meja saat di kantor. Atau, di atas
televisi saat di rumah. Sialnya, notifikasi atau dering pemberitahuan
juga sering tidak terdengar jika sedang asyik mengerjakan sesuatu!
Era telepon pintar ini secara tidak langsung, kadang bisa membuat
karut marut informasi jika kita tidak bijak. Budaya ingin cepat, kadang
juga sering membuat filter kita dalam menyaring informasi yang masuk ke
ponsel jadi berkurang. Saya sering ketemu dengan orang yang sudah
langsung membuat kesimpulan sendiri terhadap informasi yang masuk atau
diakses dari telepon pintarnya. Tapi sialnya, kesimpulannya justru
salah!
Ini rentan menimbulkan konflik sosial baru. Konflik yang muncul
karena kesalahan kita dalam mengadaptasi perubahan teknologi. Konflik
yang muncul karena budaya
instant!
—————–
KANTONG masyarakat kita relatif sudah lebih tebal sekarang. Data BPS,
tahun 2012 lalu, Pendapatan kotor per kapita tiap orang Indonesia berada
di level US$ 3751,38 per tahun. Bandingkan dengan tahun 2000 yang hanya
sekitar US$ 2200.
Memang ada perlambatan di tahun 2015 ini. Kondisi ekonomi memang
sedang tidak bagus. Relatif turun jika dikonversikan ke dollar AS yang
trend-nya sedang menggila. Tapi
toh, belum secara otomatis membuat perekonomian kita jadi jatuh terlalu parah,
kan? Paling tidak hingga Oktober 2015 ini.
Jalan-jalan masih saja ramai dipenuhi kendaraan-kendaraan keluaran
baru. Baik itu yang roda dua atau empat. Telepon-telepon pintar keluaran
mutakhir juga masih akrab di tangan orang-orang dan terus gencar
dipromosikan. Padahal, harganya tidak bisa dibilang murah.
Secara ekonomi, mungkin kita lebih baik dibanding sepuluh atau lima
belas tahun lalu. Atau saat krisis moneter melanda tahun 1998. Tapi
sayang, saya melihat energinya kok cenderung mengarah ke konsumtif?
Secara pendapatan kotor tiap warga negara, kita sebenarnya masih
kalah dibanding Malaysia. Tapi soal konsumtif, sepertinya kita unggul,
hehe.
Di Malaysia,
euforia membeli kendaraan-kendaraan keluaran
baru, rasanya tidak sedramatis di Indonesia. Di ruas-ruas jalan
Malaysia, masih lumrah kita temui sepeda motor merk
Honda Astrea Star atau
Prima buatan tahun 1986 dan 1989. Atau ini ; mobil-mobil tua seperti
Proton Saga,
Perodua dan hingga
Kancil
buatan tahun 1990-an masih banyak berseliweran di jalan-jalan utama
negara itu. Saya sendiri sampai heran. Kendaraan-kendaraan tersebut
ternyata juga masih terawat baik!
—————————————
“MASYARAKAT kelas menengah kita cenderung lebih banyak sekarang”, kata
Dahlan Iskan, Menteri negara BUMN era Presiden SBY. Saya ketemu di
Surabaya dalam sebuah acara dua tahun lalu.
Menurut Dahlan, kondisi itu tentu saja menggembirakan. Tapi, ada yang
perlu diwaspadai. Masyarakat kelas menengah kita sekarang hidup di
zaman modern yang serba
instant.
“Ciri-cirinya mereka masih muda, tidak sabar dan maunya yang
instant–
instant saja”, kata Dahlan.
Kenapa orang mulai banyak yang bertindak
instant? Ya, bisa
karena tuntutan hidup, persaingan dan juga cepatnya perubahan. Padahal
orang punya keterbatasan kapasitas. Misalnya dalam mengolah informasi,
mereview tindakan yang sudah dilakukan atau saat beradaptasi. Cara
instant biasanya dipilih dan dianggap hal yang paling masuk akal di saat kita tidak mampu mengimbangi serbuan perubahan tersebut.
Sebenarnya, dengan jumlah kelas menengah yang lebih banyak saat ini, ditambah dengan fakta bahwa kita segera memasuki fase ‘
bonus demografi‘, kondisinya bisa jadi menguntungkan. Tapi, bisa juga malah membahayakan.
Secara populasi, Indonesia akan diisi oleh masyarakat usia produktif
di rentang usia 15-65 tahun. Prosentasenya akan mencapai 70 persen pada
2020-2035. Masih dari data BPS, tahun 2012 lalu saja, jumlah warga
negara kita yang berusia produktif sudah mencapai 49,7 persen.
Ini sebuah kesempatan langka untuk mendongkrak perekonomian negara.
Negara akan lebih banyak diisi oleh warga negara berusia produktif.
Tapi, jika salah penanganan, justru bisa jadi bencana. Bayangkan jika 70
persen warga negara kita yang berusia produktif itu berpikir dan
bekerja
instant–
instant saja, punya budaya konsumtif yang berlebihan dan maunya asal cepat serta mengabaikan alur proses dalam mencapai tujuan?
Selain menyebalkan, juga akan jadi masalah, bukan? (*)
Foto : Istri dan anak saya.