Saturday, November 29, 2008

Jangan Takut Terbang (1)


Catatan berbagi untuk yang punya gejala aviophobia.
(cerita lain tentang terbang)

SEUMUR HIDUP sampai saat ini, saya punya dua pengalaman terbang yang cukup berkesan. Pertama saat terbang menggunakan pesawat kargo Antonov punya Rusia. Kedua, saat jadi “co-pilot gadungan” yang terbang menggunakan pesawat “kertas” bermesin tempel. Dua-duanya sama-sama berkesan karena modal yang saya punya cuma tekad yang bulat dan satu lagi, nekad!

Jadi berkesan juga karena penerbangan yang saya lakukan bukan penerbangan komersil menggunakan pesawat berbayar. Saya melakukannya secara gratis. Jadi, seandainya saat melakukannya terjadi hal-hal yang tidak diingini, nyawa saya dipastikan akan ikut “terbang” secara gratis. Tidak ada perusahaan asuransi yang akan membayarnya! Kok nekad? Ya itu tadi, karena gratis….

Rusia-Rusia di Antonov

Pengalaman pertama, saya lakukan saat masa-masa krismon dulu. Maklum, harga-harga sedang tinggi saat itu. Termasuk juga tiket penerbangan. Saya yang sebelumnya bisa ongkang-ongkang kaki naik pesawat pulang pergi Jakarta-Batam, harus mau bersusah payah pakai Kapal Pelni untuk pulang ke Batam saban liburan semester kuliah tiba. Kelas ekonomi lagi…


Pucuk dicinta, ulam tiba. Saat akan kembali ke Jakarta dari Batam, mendadak ada kenalan yang menawarkan untuk berangkat menggunakan pesawat gratis. Tapi, saya harus maklum karena pesawatnya bukan pesawat komersil atau pesawat tentara dengan fasilitas pesawat komersil yang sering juga saya tumpangi. Ini pesawat kargo punya Rusia. Jenisnya Antonov yang punya badan pesawat cukup lebar..

Ah yang penting naik pesawat,” pikir saya. Saya langsung membayangkan beban penderitaan jika harus berangkat menggunakan kapal Pelni lagi. Apalagi di kelas ekonomi. Satu hari satu malam harus berada di laut dengan fasilitas yang seadanya sekali. Zaman segitu, sangat sulit bisa mendapatkan fasilitas kelas ekonomi yang punya tempat tidur kecuali mau berdesak-desakkan dan berburu cepat dengan yang lain. Maklum, biaya transportasi yang tinggi saat itu memaksa banyak masyarakat kita yang beralih menggunakan moda transportasi laut untuk bepergian ke daerah lain.

Di hari H, saya sudah siap sejak pukul 05.00 pagi. Maklum, jadwal keberangkatan pesawat “khusus saya” adalah pukul 06.00. tidak perlu waktu lama untuk sampai ke Hang Nadim Airport karena tempat tinggal saya masih di lingkungan bandara itu. Begitu bergegas menuju apron, saya langsung melihat pesawat Antonov yang akan saya tumpangi. Besar, gagah dan sangat mungkin sekali akan nyaman di dalamnya, hem…..

Beberapa kru Antonov berkewarganegaraan Rusia, saya lihat sedang memeriksa mesin dan tekanan ban pesawat. Santai saja dengan baju hem putih dan celana pendek gantung. Beberapa lainnya malah hanya mengenakan kaus oblong dan berolahraga kecil senam di landasan apron.

Oleh sang kenalan, saya langsung dikenalkan dengan seorang agen pesawat kargo tersebut yang berkewarganegaraan Indonesia. Dijelaskan juga bahwa saya akan menumpang pesawat ini hingga ke Soekarno Hatta.

“Ok mas, silahkan ikut dengan penerbangan ini. Tapi mohon maklum dengan fasilitasnya ya”’ ujar sang agen pada saya.

“Oh, tidak masalah mas,” ujar saya. Dalam hati saya meneruskan :

Mohon maklum bagaimana?, tongkrongannya keren begini…..

Dan ternyata, saya adalah satu-satunya penumpang untuk pesawat berbadan besar tersebut pagi hari itu. 10 menit kemudian, seorang Rusia berkepala botak, membuka sebuah pintu yang terletak dekat roda depan dari dalam pesawat. Ia berbicara dalam bahasa Rusia dengan rekan-rekannya yang masih ada di luar. Walau tidak mengerti, saya dapat menangkap maksudnya : its time to go now….

Seorang Rusia lainnya memberi kode kepada saya untuk segera naik.

“Apa? Naik? Bagaimana caranya, tidak ada tangga?” ujar saya dengan mimik muka bingung.

Up… up…”, si Rusia memberi tahu caranya. Ia langsung melakukan gerakan hang up dan masuk ke dalam pesawat. Persis seperti orang yang akan naik bak belakang sebuah truk besar.

Rusia lain yang ada di samping saya memberi kode agar saya melepas ransel yang saya bawa. Ia kemudian mengangkatnya dan melempar ke dalam pesawat melalui bagian pintu yang tadi dibuka oleh si Rusia Botak. Saya akhirnya mengikuti gerakan Rusia pertama yang masuk dengan cara hang up. Saya harus melakukannya dengan ekstra usaha karena tinggi badan yang jauh berbeda dengan mereka, sementara posisi pintu lumayan tinggi.

Begitu di dalam, saya lebih bingung lagi. Kabin penerbang yang terdiri dari dua bagian, benar-benar kacau. Kaleng-kaleng bekas bir berserakan di lantai dan meja bersama bungkus-bungkus makanan instant. Di salah satu sudut ruangan, saya malah melihat seorang Rusia lagi yang belum saya lihat dari tadi sedang tertidur pulas menggunakan sebuah Hammock! Ujung-ujung Hammock diikatkan sembarangan saja di sisi pesawat.

“Ini ruangan kru, bukan ruang penumpang.” Pikir saya. Saya langsung bergegas menuju ke arah belakang, Ke kabin yang saya kira sebagai ruangan untuk penumpang dan hanya diberi sekat tirai hitam besar. Begitu disibak, saya jadi kaget sendiri. Ruang kabin sebesar itu ternyata blong tanpa kursi. Isinya peti-peti besar kargo…

No, no, you not there…. Here .. here …. “, ujar Rusia berkepala botak yang tadi membuka pintu pesawat. Bahasa inggrisnya patah-patah. Ia membuka sebuah kursi yang terlipat menyatu dengan dinding samping pesawat di kabin penerbang, kemudian membukanya.

Dari dekat saya bisa melihat ternyata ia mengenakan pakaian penerbang dengan pangkat di sisi bahu kiri kanan. Cuma, celananya pendek!! Beberapa menit berikutnya saya juga tahu ternyata Rusia botak itu adalah pilot dalam penerbangan kami!!

Welcome to our fly, enjoy with us, he he he…”, sapa Rusia lainnya yang tadi melempar ransel saya ke dalam. Ia ternyata juga sudah berada di kabin penerbang. Ia tersenyum dan mungkin bisa menebak kebingungan saya saat itu.

“Oh Tuhan, saya naik pesawat atau truk besar saat ini”, ujar saya dalam hati. Tidak ada prosedur penerbangan yang lazim saya dapatkan sebelum pesawat lepas landas. Tidak ada juga pramugari cantik yang siap melayani penumpang. Yang ada hanya 4 orang Rusia slenge’an yang siap menerbangkan pesawat tujuan BTH – JKT bersama seorang Indonesia yang kebingungan dan awalnya separuh tidak yakin dengan penerbangan ini dan itu adalah saya….. saya jadi ingat lagi ucapan sang agen yang tadi sempat saya temui sebelum berangkat… Kami akhirnya take off dari Hang Nadim. Tidak bisa dikatakan mulus karena rasanya seperti naik pesawat yang buru-buru akan berangkat perang.

Lima belas menit di udara, saya mulai terbiasa dengan gaya para Rusia itu. saya juga sudah tidak sungkan-sungkan mengeluarkan rokok Djie Sam Soe kretek untuk dihisap di dalam kabin penerbang. Walau berbeda bahasa, kami tetap bisa ngobrol. Bukan dengan bahasa inggris. Rusia-Rusia itu ternyata juga punya kemampuan bahasa inggris yang payah, sama dengan saya. Kami lebih banyak ngobrol dengan bahasa masing-masing ditambah bahasa isyarat untuk menjelaskan maksud….

@&%+$!dfv …?” Tanya seorang Rusia yang tadi tidur. Nama-nya Sergey seperti yang tercantum di bajunya.

“apa?” Tanya saya. Sergey kemudian menunjuk ke arah Rokok yang saya hisap.

Cannabis, heh?” ujarnya sambil tersenyum..

No.. no.. kretek… this is kretek cigarettes… no cannabis?” jawab saya.

Sergey tertawa : “Good, good… no cannabis here… beer yes, $%@&Vx^, ha ha ha… ia kemudian membuka kulkas kecil dan mengambil beberapa kaleng Heineken hijau. Satu diberikan ke saya, satu diberikan ke Rusia yang tadi melemparkan ransel saya dan satu lagi diberikan kepada si Rusia botak yang sedang nyetir pesawat….

Saya senyum-senyum sendiri kemudian mengisap rokok dalam dalam. Apa semua kru pesawat kargo kelakuannya begini? Mudah-mudahan cuma 4 Rusia ini saja dan semoga juga mereka tidak pindah tugas jadi menerbangkan pesawat komersil, pikir saya.

Saya akhirnya memang tiba dengan selamat di Soekarno Hatta satu jam lima belas menit kemudian. Sama dengan saat berangkat, proses landing juga tidak bisa dikatakan mulus seperti naik pesawat penumpang komersil. Rasanya seperti naik pesawat yang baru selesai perang dan perlu mendarat segera karena ada anggotanya yang terluka… Oh ya, berhubung ini bukan penerbangan komersil, pesawat yang saya tumpangi juga tidak menuju ke terminal penumpang, melainkan terminal kargo. Ini memang bukan penerbangan yang safety bagi orang sipil biasa seperti saya. tapi rasanya jadi berkesan buat saya karena saya menikmatinya.
(bintoro suryo)


Friday, November 28, 2008

Babah & Bunda, Biar Nggak Manja

Saya mencari cari pola keterkaitan antara sapaan anak untuk orang tua dengan perkembangan mental psikologi-nya. Untuk anak kami… Walau belum menemukan riset, penelitian atau apa-lah namanya untuk menjelaskan pola keterkaitan itu, saya bersama istri tetap yakin, pasti ada hubungannya selain pola ajar dan pengasuhan sejak dini yang ditanamkan pada sang anak.

Sejak anak masih dalam kandungan, kami berdua sudah menderetkan beberapa sapaan orang tua untuk dipilih. Mulai bapak – ibu; ayah – ibu; papa – mama; papi – mami atau ayah – bunda. Istri saya juga sempat mengusulkan untuk mencari sapaan yang unik lainnya. Mungkin bisa diambil dari istilah suku bangsa di belahan negara lain yang masih asing digunakan di Indonesia.


Tapi, sampai akhirnya anak kami lahir, sapaan itu belum ditentukan. Bingung? Iya juga. Beberapa teman yang datang mengunjungi kami saat anak lahir, sempat bertanya :

“ Jadi panggilannya apa?”

Kami berdua cuma bisa menjawab sambil senyum :

“Belum, masih dicari”.

Saat proses mencari, istri saya mengusulkan panggilan Bunda.

“ Sudahlah, bunda saja biar nggak manja.”

Saya langsung setuju usulnya. Benar, bunda saja biar nggak manja. Kami memang menginginkan anak lelaki kami jadi orang yang kuat, mandiri dan tidak gampang menyerah. Untuk itu juga saya memberinya penggalan nama sebuah gunung : Krakatau.
Panggilan bunda rasanya juga cocok untuk disandingkan dengan panggilan abah. Panggilan yang sudah saya inginkan sejak masih kuliah dulu… Tapi saat pasangan nama itu : abah dan bunda saya sampaikan, istri saya malah tidak setuju.

Abah itu seperti aki-aki, kesannya tua. Yang lain saja”. Katanya.

Tapi penolakannya saya abaikan dulu. Untuk menguatkan pilihan, saya akhirnya melakukan pengamatan kecil-kecilan terhadap 45 keluarga saudara, teman atau kenalan dengan masa perkawinan antara 2 - 20 tahun. Mencari tahu apa sapaan anak untuk mereka dan bagaimana pola kecenderungan perkembangan mental anak-anak mereka. Saya tidak tahu metode statistic apa yang saya gunakan untuk pengamatan itu. Random Sampling? Ah, mungkin lebih tepat dikatakan Random Ngawur. Yang jelas, rasa penasaran saya harus terpuaskan! Dan, hasilnya :

- 51 % keluarga yang punya sapaan ayah dan bunda atau bapak dan ibu atau ayah dan ibu, memiliki anak yang lebih bisa mandiri dan cenderung tidak manja.
- 36 % keluarga yang punya sapaan papa dan mama memiliki anak yang lebih bisa mandiri dan cenderung tidak manja. Dan yang terakhir,
- 17 % keluarga yang memiliki sapaan papi dan mami memiliki anak yang lebih bisa mandiri dan cenderung tidak manja.

Nah, saya sekarang sudah punya pegangan untuk menjatuhkan pilihan. Tapi masalahnya, tidak ada satu pun keluarga yang saya jadikan sampel pengamatan memiliki panggilan orang tua lelaki = abah. Itu juga yang menguatkan istri saya untuk menolak usul abah sebagai panggilan saya untuk anak kami. Katanya, daripada abah mendingan bapak atau ayah..

Saya ambil jalan tengah. Usul saya panggilannya adalah Babah, perpaduan antara bapak dan abah. Pokoknya masih ada sisa bah-nya, pikir saya. Babah, wah kayaknya cocok juga dan terkesan unik. Beda dari yang lain. Saya memang senang sesuatu yang berbeda. Sesuatu yang tidak biasa dan bukan pasaran.

Hampir semua pilihan yang saya ambil atau putuskan biasanya memang berbeda dari yang lain. Saya tidak begitu peduli atau mau ambil pusing dengan komentar orang. Misalnya yang menyebut saya ini orang aneh, nyeleneh, kampungan atau sulit ditebak.

Eh, tapi saya sebenarnya bukan orang yang suka sesuatu yang benar-benar beda. Soal keputusan penyebutan Babah untuk saya misalnya. Terus terang, ini juga terinspirasi dari seorang teman ayah. Orang keturunan Melayu campuran Arab. Saat kecil dulu, kami sempat bertetangga. Hubungan kami dekat sudah seperti saudara sendiri. Saya menyebutnya om Abu. Nama panjangnya Abu Bakar MC. Tapi, sampai sekarang saya tidak pernah tahu apa kepanjangan MC itu. Dulu, saya sempat mengira itu sebuah gelar pendidikan, seperti SH, SE, MM atau Msc Tapi dari ayah, akhirnya saya tahu itu adalah singkatan nama ayahnya. Ia senang menggunakannya selain untuk menghormati sang ayah, juga karena ada kesan gagah...

Anaknya tiga, perempuan semua. Ia membiasakan panggilan untuk dirinya Babah. Saya tidak tahu apa latar belakangnya. Tapi terkesan unik dan gagah. Yang lebih membuat terkesan adalah pola ajarnya untuk ketiga anak-anaknya itu. ia tidak pernah memanjakan, tegas dan disiplin. Tapi sikapnya tidak membuatnya jauh dari ketiga buah hatinya. Di dalam keluarganya, Babah Abu tahu kapan bersikap tegas dan menerapkan aturan berdisiplin untuk anak-anaknya. Pernah suatu kali saya melihat Babah Abu memarahi anak-anaknya karena enggan belajar. Untuk membuat anak-anaknya patuh, ada sebuah gesper kulit yang dipegangnya. Di lain waktu, saya juga sering mendengar Babah Abu bersenandung untuk anak-anaknya di kala malam untuk mengantar mereka tidur. Bertahun-tahun kemudian, saya menyaksikan ketiga anaknya tumbuh jadi tiga gadis cantik yang mandiri. Berhasil dalam pendidikan hingga ke jenjang sarjana. Mereka juga jadi anak-anak yang begitu menyayangi orang tuanya yang sudah mulai renta.

Dari buku karangan Abdul Chaer – Pengantar Semantik Bahasa Indonesia - saya dapat masukan bahwa penamaan atau panggilan adalah merupakan sebuah perlambangan suatu konsep untuk mengacu pada referensi di luar bahasa. Mengingat bahasa merupakan sistem lambang bunyi yang bersifat arbitrer, maka penamaan jadi suatu kesatuan kebahasaan menurut lambang.

Sementara sebuah makalah bahasa yang ditulis oleh Wasiyati Kristina – Refrensi, Makna dan Denotasi - menyebutkan bahwa penyebutan nama merupakan fungsi semantik dasar dari kata-kata. Nama memiliki dua fungsi karakteristik yaitu referensial dan vokatif. Nama biasanya digunakan untuk menarik perhatian atas kehadiran seseorang yang diberi nama itu atau untuk mengingatkan relevansi orang yang diberi nama.

Inspirasi Babah Abu, akhirnya memang jadi alasan pilihan saya untuk penyebutan sapaan bagi anak kami. Secara karakteristik ini memang cocok untuk saya dan secara vokatif juga sangat mudah dalam penyebutan. Rasanya, Anak saya juga tidak perlu belepotan menyebutkannya walaupun masih dalam tahap belajar bicara. Saya yakin, selain pola ajar dan cara pengasuhan sejak dini yang ditanamkan pada anak, pemilihan sapaan untuk orang tua juga menjadi faktor lain yang juga perlu untuk diperhatikan. Seperti “perlambangan” kita baginya. (bintoro suryo)